Piala Presiden Ikut Putar Roda Ekonomi Rakyat
Supriadi tersenyum puas saat menyaksikan laga pertama semifinal Piala Presiden antara Persebaya Surabaya dan Madura United, Rabu (3/4/2019), di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur. Dia bukan hanya senang melihat permainan yang menawan, melainkan juga karena dagangan di keranjangnya ludes terjual.
“Untunglah sudah ludes sebelum bubar,” kata Supriadi. Lumpia itu memang bukan dibuat sendiri oleh Supriadi melainkan dipasok produsen. Biasanya, satu pengusaha lumpia mendistribusikan kepada 10-20 pengecer penganan tradisional itu.
Pedagang berusia 40 tahun itu mengaku bersyukur karena 100 penganan tradisional yang dibawanya dalam nampan, ludes terjual. Sebelum laga, satu lumpia dijual Rp 5.000. Namun, saat pertandingan, harga turun menjadi Rp 2.500 per kudapan. Seusai laga, nilai jual lumpia jatuh hingga Rp 1.000 per buah.
Supriadi, ayah dua anak itu, mengatakan, telah bertahun-tahun menjadi penjual lumpia di pertandingan “Green Force”, julukan Persebaya. Saat tidak ada laga, Supriadi mendapatkan penghasilan dari pekerjaan tak tentu. Terkadang menjadi buruh bongkar muat, buruh proyek bangunan, tukang becak, juru parkir, atau pengamanan kegiatan.
“Jualan lumpia sekalian hiburan lihat Persebaya main,” kata Supriadi yang mengaku lahir dan besar di Kota Pahlawan, julukan Surabaya. Berjualan lumpia bukan sekadar mencari penghasilan melainkan ekspresi kecintaan terhadap “tanah tumpah darah” sekaligus Persebaya.
Berapa keuntungan yang didapat dari berjualan lumpia? Dengan malu-malu, Supriadi mengatakan, berkisar Rp 200.000-Rp 250.000. Keuntungan itu bersih atau di luar setoran kepada produsen lumpia. Jumlah yang lumayan untuk menyambung hidup setidaknya dua-tiga hari.
Setiap pengasong makanan dan minuman jika dagangan laris mampu mengantongi omzet rata-rata Rp 250.000 per laga. Untuk pedagang kaki lima yang berjualan makanan dan minuman atau cendera mata, omzet bisa menembus Rp 3 juta.
Dengan jumlah pedagang asongan dan pedagang kaki lima mencapai sekitar 1.500 pedagang, maka perputaran uang dalam laga Persebaya dan Madura United diperkirakan bisa mencapai Rp 1 miliar.
Padahal, itu belum menghitung pengeluaran penonton yang datang dengan menyewa kendaraan atau naik angkutan umum.
Piala Presiden 2019 diikuti oleh 20 tim Liga 1 dan Liga 2. Jumlah pertandingan 38 laga. Jika setiap laga diasumsikan terjadi perputaran uang Rp 1 miliar, roda ekonomi kerakyatan diperkirakan menggelinding dalam kisaran Rp 38 miliar.
Perputaran uang pada turnamen pramusim terbesar di Indonesia itu juga ada pada sisi pemasukan tiket. Pada laga di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, sebagai contoh, sebanyak 50.000 penonton hadir dan pemasukan dari tiket mencapai Rp 2,5 miliar.
Perputaran uang
Angka-angka tadi belum termasuk perputaran uang untuk pelaksanaan turnamen. Fase penyisihan Piala Presiden 2019 diadakan di lima lokasi sesuai dengan jumlah grup. Tuan rumah grup yakni Persib Bandung, Bhayangkara FC, PSIS Semarang, PSS Sleman, dan Arema FC mendapat subsidi Rp 800 juta. Sebanyak 13 tim tamu mendapat subsidi perjalanan Rp 100 juta sementara Persipura Jayapura dan Perseru Serui dari Papua menerima Rp 125 juta.
Di setiap laga, tim yang menang menerima Rp 125 juta. Yang kalah Rp 75 juta. Jika pertandingan berakhir seri, kedua tim menerima Rp 100 juta. Juara turnamen diguyur uang Rp 3,3 miliar. Finalis menerima Rp 2,2 miliar. Tim semi finalis mendapat Rp 750 juta.
Baca juga : Balas Dendam Ajax Menghadapi Doping Bernama Ronaldo
Final dalam dua leg mempertemukan Persebaya dan Arema FC. Sebelum ke final, Persebaya melakoni enam pertandingan dengan hasil lima kemenangan dan satu imbang. Sampai sebelum laga pamungkas, Persebaya mengantongi Rp 825 juta. Arema FC mendapat Rp 1,5 miliar. Padahal, keduanya sudah menggenggam setidaknya Rp 2,2 miliar sebagai finalis.
Pencetak gol terbanyak memperoleh Rp 150 juta, pemain terbaik Rp 250 juta, pemain muda terbaik Rp 150 juta, dan wasit terbaik Rp 50 juta. Dari sana bisa diperkirakan bahwa biaya pelaksanaan turnamen bisa menembus Rp 50 miliar. Jumlah ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan turnamen pada 2017 dan 2018 yang menurut PSSI menelan Rp 47 miliar.
Pengamat ekonomi INDEF Bhima Yudistira mengatakan, turnamen sepak bola berskala besar seperti Piala Presiden berdampak bagus bagi peningkatan ekonomi rakyat. Banyak aktivitas ekonomi mikro dan kecil, baik yang dadakan maupun yang berkelanjutan, mendapat keuntungan dari turnamen ini.
“Pedagang makanan, minuman, rokok, pakaian, atribut tim, sampai pengusaha angkutan bus dan truk, serta ojek daring ikut mendapat keuntungan. Jika ditarik ke belakang, usaha mereka juga menggerakkan industri bahan baku. Jumlahnya mungkin terlihat kecil pada satu ajang penyelenggaraan, tetapi jika diakumulasikan bakal ikut berdampak pada perekonomian daerah,” kata Bhima.
Baca juga : Enam Tersangka Pengatur Skor Segera Disidangkan
Menurutnya, jika pertandingan sepak bola digelar dengan rutin dan konsisten, perputaran uang di tingkat ekonomi rakyat juga bakal membesar.
Pertandingan olah raga yang mengundang banyak penonton, selain sepak bola, juga perlu digelar dalam frekuensi yang sering agar roda ekonomi rakyat terus bergairah.
“Ikut menggerakkan ekonomi rakyat adalah salah satu tujuan dari penyelenggaraan Piala Presiden. Kami berharap, turnamen ini bermanfaat bagi banyak orang dan menggairahkan ekonomi mikro di daerah,” kata Maruarar Sirait, ketua panitia pengarah Piala Presiden.