Organisasi Masyarakat Sipil Masih Was-was Kecolongan RUU Perkelapasawitan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Diskusi Publik "Logika Sempit RUU Kelapa Sawit", Rabu (10/4/2019) di Jakarta, menghadirkan pembicara (dari kiri) Sandrayati Moniaga (Komisioner Komnas HAM), Andi Muttaqien (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM), Rahayu Saraswati (Anggota DPR), Irfan Bakhtiar (Team Leader Sustainable Palm Oil Program Yayasan Keanekaragaman Hayati/tak tampak), dan Muhammad Teguh Surya (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan).
JAKARTA, KOMPAS – Di tahun 2019, Rancangan Undang-undang Perkelapasawitan bukan bagian dari lima target perundangan yang akan diselesaikan anggota legislatif periode 2014-2019. Meski demikian, sejumlah organisasi masyarakat sipil masih membuka telinga dan mata lebar-lebar agar tidak tiba-tiba RUU yang dikhawatirkan menimbulkan kompleksitas penyelesaian masalah sawit ini maju ke Sidang Paripurna.
Pengalaman revisi UU Perkebunan pada 2014 serta kemunculan sisipan ayat misterius pada sejumlah perundangan lain menjadi dasar kekhawatiran mereka. “Khawatir kecolongan iya. Banyak RUU, inpres, maupun peraturan menteri terbit di masa libur dan mendekati hari raya. Itu embedded-lah,” kata Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Rabu (10/4/2019) sore di Jakarta, dalam diskusi publik Logika Sempit RUU Kelapa Sawit.
Diskusi tersebut menghadirkan Sandrayati Moniaga (Komisioner Komnas HAM), Rahayu Saraswati (anggota DPR), Andi Muttaqien (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM), dan Irfan Bakhtiar (Team Leader Sustainable Palm Oil Program Yayasan Keanekaragaman Hayati). Pihak pemerintah, yaitu Kedeputian Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian, tak hadir dan tak mewakilkan.
Andi Muttaqien mengatakan, DPR pada Oktober 2018 menetapkan 55 RUU dalam program legislasi nasional (prolegnas). Namun, daftar ini direduksi menjadi lima RUU – termasuk RUU Perkelapasawitan - pada Januari 2019. Perkembangan terakhir, pada Februari 2019, RUU Perkelapasawitan dikeluarkan dari daftar lima RUU dalam target penetapan tahun ini.
“Namun RUU Perkelapasawitan masih masuk dalam daftar 55 RUU dalam prolegnas. Jadi tahun depan masih bisa naik (dibahas) lagi,” kata dia.
RUU Perkelapasawitan masih masuk dalam daftar 55 RUU dalam prolegnas.
Sikap pemerintah hingga tahun 2017 dalam dua kali pernyataan resmi menolak pembahasan RUU Perkelapasawitan. Alasannya antara lain, RUU dianggap bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan serta lebih melindungi kepentingan korporasi.
Rahayu Saraswati mengatakan pembahasan RUU Perkelapasawitan yang masih dalam tahap panitia kerja dalam Badan Legislatif DPR menunjukkan proses masih sangat jauh untuk sampai Sidang Paripurna. Antara lain, harus masuk dalam pembahasan komisi yang akan membutuhkan sikap fraksi.
Sikap fraksi ini pun membutuhkan “arahan” dari partai politiknya. Selanjutnya, terdapat rapat pembahasan Daftar Isian Masalah (DIM) dan pembahasan dengan eksekutif/pemerintah.
“Jadi saya sangat tidak yakin ini akan selesai dan akan ada keputusan di rapat tingkat tertinggi yaitu paripurna, apalagi pemerintah menolak,” kata dia.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Diskusi Publik "Logika Sempit RUU Kelapa Sawit", Rabu (10/4/2019) di Jakarta, yang digelar Yayasan Madani Berkelanjutan, WikiDPR.org, dan Change.org. Tampak para narasumber berfoto (dari kiri) Desmarita Murni (Change.org), Andi Muttaqien (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM), Sandrayati Moniaga (Komisioner Komnas HAM), Irfan Bakhtiar (Team Leader Sustainable Palm Oil Program Yayasan Keanekaragaman Hayati), dan Muhammad Teguh Surya (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan). Tak tampak Rahayu Saraswati (Anggota DPR) karena meninggalkan acara terlebih dulu.
Tak perlu
Teguh Surya menyatakan setuju dengan alasan pemerintah yang menolak pembahasan RUU Perkelapasawitan karena lebih memberikan perlindungan bagi korporasi. Meski pun dalih awalnya RUU akan memberikan perlindungan bagi petani kecil, dalam kajian menunjukkan hanya satu dari 115 pasal yang terdapat kata petani.
Teguh Surya menyatakan setuju dengan alasan pemerintah yang menolak pembahasan RUU Perkelapasawitan karena lebih memberikan perlindungan bagi korporasi.
Andi Muttaqien mengatakan RUU berpotensi menciptakan konflik norma karena hendak menyelesaikan persoalan sawit di kawasan hutan dan gambut. Itu bersinggungan dengan Undang-undang Kehutanan, UU Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ia curiga undang-undang ini justru menjadi instrumen untuk “memutihkan” atau memberikan pengampunan bagi pelanggaran-pelanggaran. Apalagi ini terjadi akan menambah kompleksitas penyelesaian ketelanjuran kebun sawit di kawasan hutan dan gambut.
Dari segi partisipasi publik, kata dia, sejak tahun 2016 masuk dalam prolegnas, pembahasan RUU Perkelapasawitan minim masukan publik. Terutama masukan dari pihak yang menolak kehadiran RUU ini.
Sejak tahun 2016 masuk dalam prolegnas, pembahasan RUU Perkelapasawitan minim masukan publik.
Rapat-rapat yang dilakukan dinilai lebih mendengarkan pihak-pihak yang diuntungkan dari kebun sawit. Pihak tersebut di antaranya Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang dinilai Andi berafiliasi dengan korporasi.
“Jadi kalau Greenpeace, Forest Watch Indonesia, dan Madani itu teriak-teriak, tidak pernah diajak atau diminta masukannya,” kata Andi Muttaqien.
Sandrayati Moniaga mengungkapkan dari 50 komunitas yang dilakukan Inkuiri Nasional oleh Komnas HAM, sejumlah 40 di antaranya bermasalah dengan perkebunan sawit. Pelanggaran hak bukan hanya pada aspek tenurial atau hak properti tetapi paling tidak juga menyentuh hak atas rasa aman dan hak untuk hidup.
Ia tak melihat RUU Perkelapasawitan sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Karena itu, ia meminta agar para pihak melihat Ketetapan MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
“Di situ jelas bahwa salah satu persoalan kita adalah tumpang tindih peraturan perundangan, lalu tumpang tindih hak, lalu ada proses pemiskinan. Pertanyaannya apakah RUU Sawit ini sejalan dengan Tap MPR 9/2001?” kata dia.