JAKARTA, KOMPAS – Industri penyamakan kulit nasional belum dianggap sebagai industri utama sehingga pengembangannya masih stagnan. Hal itu menyebabkan daya saing industri kulit nasional turut terpengaruh, baik di ranah lokal, apalagi global.
Padahal pasar kulit di Tanah Air sangat besar terutama untuk industri produk-produk dari kulit seperti alas kaki dan fesyen. Badan Pusat Statistik mencatat, industri produk dari kulit tumbuh 18,78 persen pada 2018, yang merupakan pertumbuhan tertinggi di antara sektor-sektor manufaktur. Kontribusi industri produk dari kulit terhadap pertumbuhan industri manufaktur sebesar 1,59 persen.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang dikutip Kompas, Rabu (10/4/2019), kebutuhan industri produk dari kulit nasional pada 2018 mencapai 115,84 juta square feet atau setara 10,76 juta meter persegi. Adapun pasokan dari industri penyamakan kulit dalam negeri hanya sebesar 55 juta square feet 5,1 juta dengan 5,9 juta square feet atau 548.127 meter persegi langsung diekspor.
Maka, untuk memenuhi kebutuhan kulit, industri produk dari kulit harus mengimpor hingga 66,74 juta square feet atau setara 6,2 juta meter persegi.
“Kulit masih dianggap hanya sebagai industri sampingan dari hewan ternak, bukan sebagai industri utama,” kata Vice Secretary General Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Arifin Kustiawan saat dihubungi Kompas.
Kondisi ini juga terlihat dari belum adanya pemrosesan bahan baku kulit yang terintegrasi. Menurut Arifin, kulit sapi pasca-penyembelihan mendapat perlakuan yang berbeda karena diserap pengepul yang berbeda-beda. Akibatnya, tidak semua kulit sapi terjamin kualitasnya sebab ada yang mendapat proses pengawetan secara baik dan ada yang tidak.
Kulit masih dianggap hanya sebagai industri sampingan dari hewan ternak, bukan sebagai industri utama (Vice Secretary General APKI Arifin Kustiawan)
Data APKI turut memperlihatkan tren penurunan kualitas kulit sapi lokal. Sebelum 1990, komposisi kulit sapi lokal berkualitas di atas 70 persen dari jumlah bahan baku yang diperoleh dari pemotongan jagal maupun rumah pemotongan hewan. Namun, komposisi kulit yang berkualitas saat ini hanya berkisar 20 persen.
Arifin melanjutkan, kebutuhan bahan baku kulit baru terpenuhi ketika penyembelihan sapi dilakukan dalam skala besar pada waktu khusus, misalnya Idul Adha. Ia mencontohkan, tren ini berbeda dengan Australia yang menyembelih sapi dalam skala besar untuk pemenuhan kebutuhan industri.
Hal senada dikatakan Kepala Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia Heru Budi Susanto. Pemotongan hewan ternak pada hari raya dapat memenuhi kebutuhan bahan baku hingga tiga bulan. “Namun, pada hari biasa hanya 40-50 persen kebutuhan yang terpenuhi,” ujarnya.
Menurut Heru, industri alas kaki merupakan penyerap bahan baku kulit terbesar. Sektor lain yang juga menyerap bahan baku kulit, antara lain otomotif untuk jok mobil, fesyen, kerajinan tangan, dan furnitur.
Dengan demikian, jumlah produksi kulit terpengaruh dari jumlah dan pola pemotongan hewan ternak nasional, seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing.
Arifin melanjutkan, pengembangan industri kulit yang belum maksimal membuat harga kulit lokal kalah bersaing dengan kulit impor. Misalnya, harga kulit sapi lokal berkisar Rp 20.000 per kilogram (kg) atau 1,41 dollar AS per kg (dengan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate Rp 14.155 per dollar AS). Sementara kulit sapi impor hanya 0,7 dollar AS per kg.
“Dengan harga seperti itu, para pelaku industri yang memerlukan bahan baku kulit akan lebih memilih kulit sapi impor agar biaya produksi pun menjadi lebih terjangkau,” ujar Arifin.
Ia menuturkan, masih rendahnya kualitas dan kuantitas produksi kulit membutuhkan kerja sama lintas sektoral. Oleh karena itu, APKI berharap agar pemerintah menyadari pentingnya rantai pemrosesan industri kulit, mulai dari peternakan, penyembelihan, pengawetan, sampai masuk ke pabrik penyamakan kulit.
Kurangnya bahan baku serta rendahnya kualitas kulit nasional, salah satunya dirasakan oleh Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo). Menurut Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri, hampir semua bahan baku kulit untuk sepatu menggunakan kulit impor.
“Bahkan, untuk memenuhi segmen pasar lokal dengan kualitas premium pun, para pelaku industri persepatuan menggunakan bahan baku kulit impor,” ujarnya.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, konsumsi kulit jadi (finished leather) untuk industri dalam negeri baru dapat dipenuhi sebesar 40-50 persen oleh industri kulit nasional. Pemenuhan kebutuhan industri dalam negeri dilakukan dengan cara mengimpor kulit dari 66 negara yang sudah dinyatakan bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) oleh Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE).
Persaingan Global
Sigit menambahkan, daya saing industri kulit nasional di dunia internasional juga belum kuat. Mengutip data Trademap, Indonesia berada pada peringkat ke-44 sebagai eksportir kulit dunia pada 2018. Eksportir kulit dunia terbesar adalah Italia, Amerika Serikat, Brazil, China, Jerman, India dan Australia.
Kurangnya daya saing industri kulit setidaknya dirasakan oleh Aprisindo. Menurut Firman Bakri, meski ekspor alas kaki nasional meningkat, dari 4,91 miliar dollar AS pada 2017 menjadi 5,11 miliar dollar AS pada 2018, namun masih kalah dengan negara-negara lain.
Indonesia berada pada peringkat ke-44 sebagai eksportir kulit dunia pada 2018. Eksportir kulit dunia terbesar adalah Italia, Amerika Serikat, Brazil, China, Jerman, India dan Australia.
Hal ini dapat dilihat dari sisi penguasaan pasar global. Berdasarkan kawasan benua, tujuan terbesar ekspor alas kaki Indonesia, yaitu ke negara-negara Eropa, khususnya kawasan Eropa Barat (32 persen) dan Amerika Utara (29 persen).
Namun, Indonesia hanya menguasai 4 persen dari pasar negara-negara Uni Eropa, lebih kecil dari China (62 persen) dan Vietnam (12 persen). Keadaan yang sama juga terjadi di pasar Amerika Serikat, yaitu Indonesia hanya menguasai 6 persen dari total pasar Amerika Serikat, kalah dari China (56 persen) dan Vietnam (21 persen).
“Vietnam memang telah menjadi pesaing utama sejak 2001. Secara rata-rata, pertumbuhan ekspor produk alas kaki Indonesia dari 1999 hingga 2018 sebesar 8,47 persen, sementara dalam periode yang sama, pertumbuhan di Vietnam mencapai 15,96 persen,” ujar Firman.