Industri Penyamakan Kulit Hadapi Tantangan
JAKARTA, KOMPAS - Neraca perdagangan industri kulit dan produk kulit terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Namun, peningkatan tersebut tidak diikuti peningkatan kapasitas produksi industri penyamakan kulit.
Berdasarkan data Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI) yang dikutip Kompas Rabu (10/4/2019), nilai ekspor komoditas kulit dan produk dari kulit pada 2018 sebesar 3,36 miliar dollar AS atau setara Rp 47,54 triliun pada 2018.
Nilai ekpsor itu naik dibandingkan 2017 dan 2016 yang masing-masing senilai 3,09 miliar dollar AS dan 2,7 miliar dollar AS. Kenaikan nilai ekspor diikuti dengan kenaikan nilai impor.
Pada 2018 nilai impor komoditas kulit dan produk dari kulit sebesar 1,04 miliar dollar AS. Jumlah itu lebih tinggi dari 2017 yang sebesar 901,23 juta dollar AS dan 2016 yang sebesar 747,98 juta dollar AS.
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, kendati kondisi industri kulit dan produk dari kulit secara umum baik, produksi penyamakan kulit menurun selama beberapa tahun terakhir.
“Penurunan produksi itu terjadi karena permintaan pasar selama beberapa tahun terakhir turun. Permintaan itu turun karena ada perubahan perilaku konsumen. Konsumen mulai bersifat praktis sehingga melirik produk dengan bahan yang murah,” kata Gati.
Kendati kondisi industri kulit dan produk dari kulit secara umum baik, produksi penyamakan kulit menurun selama beberapa tahun terakhir.
Kementerian Perindustrian mencatat, defisit neraca perdagangan komoditas kulit (bukanproduk dari kulit) pada 2013 hingga 2018 secara berturut-turut sebesar 287,44 juta dollar AS, 385 juta dollar AS, 366,27 juta dollar AS, 353,7 juta dollar AS, 377,66 juta dollar AS, dan 384,36 juta dollar AS.
Defisit tersebut terjadi karena ekspor komoditas kulit semakin surut, sedangkan impor komoditas kulit membengkak secara perlahan. Pada 2013 misalnya, ekspor komoditas kulit senilai 140,09 juta dollar AS atau setara Rp 1,98 triliun (dengan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate Rp 14.155 per dollar AS). Adapun nilai impornya 427,53 juta dollar AS.
Kemudian pada 2018, nilai ekspor komoditas kulit mencapai 83,32 juta dollar AS dan nilai impornya 467,68 juta dollar AS. Dengan demikian, defisit neraca perdagangan mencapai 384,36 juta dollar AS.
Vice Secretary General Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) Arifin Kustiawan mengemukakan, defisit tersebut juga terjadi karena harga kulit sapi lokal yang tidak kompetitif. Harga kulit sapi lokal, yaitu berkisar Rp 20.000 per kilogram (kg) atau 1,41 dollar AS per kg. Sementara kulit sapi impor hanya 0,7 dollar AS per kg.
“Dengan harga seperti itu, para pelaku industri yang memerlukan bahan baku kulit akan lebih memilih kulit sapi impor agar biaya produksi pun menjadi lebih terjangkau,” ujar Arifin.
Permintaan yang turun berimbas pada berkurangnya jumlah pabrik penyamak kulit. APKI menyebutkan, jumlah pabrik penyamak kulit besar dan menengah selama 1986-1998 mencapai 112 pabrik, sementara 2017-2018 hanya 42 pabrik.
Lihat juga: Sentra Penyamakan Kulit Sapi
Produksi riil industri penyamakan kulit turun selama beberapa dekade terakhir. Produksi industri penyamakan kulit terakhir sebesar 110 juta feet per tahun atau setara 33,53 juta meter per tahun pada 2017-2018. Pada 1986-1998, produksi riil industri penyamakan kulit mencapai 210 juta feet per tahun atau 64 juta meter per tahun.
Permintaan yang turun berimbas pada berkurangnya jumlah pabrik penyamak kulit. Jumlah pabrik penyamak kulit besar dan menengah selama 1986-1998 mencapai 112 pabrik, sementara 2017-2018 hanya 42 pabrik.
Berebut bahan baku
Arifin melanjutkan, produksi bahan baku kulit yang semakin menurun diperparah dengan adanya persaingan merebut bahan baku dengan industri makanan, khususnya krecek dan kerupuk. Menurut dia, persaingan ini sudah dirasakan sejak tiga tahun lalu.
“Kami memang belum punya data valid secara eksplisit dalam angka. Namun, bagi kami ini merupakan persaingan yang sangat kental. Ketika para pelaku industri penyamak kulit ingin membeli di pengepul kulit, kulit sudah habis dibeli para pelaku industri makanan,” tutur Arifin.
Dalam ranah bisnis, Arifin menilai, wajar bagi pengepul kulit lebih memilih menjual kepada industri makanan. Sebab, industri makanan tidak memberlakukan persyaratan seperti yang diterapkan industri penyamak kulit, sehingga memudahkan bagi keduanya.
“Pengepul kulit yang ingin menyuplai ke pabrik kulit, misalnya, kulitnya tidak berlubang. Secara pengawetan juga harus dilakukan secara baik. Kalau di industri makanan, mereka menerima apapun jenis kulit sapi yang dijual pengepul,” katanya.
Tak hanya itu, industri makanan pun berani membeli dengan harga lebih tinggi dari industri penyamak kulit. Menurut Arifin, jika harga kulit sapi mentah dijual Rp 20.000 per kg, industri makanan berani membeli dengan harga yang lebih tinggi, yaitu Rp 21.000-Rp 22.000 per kg.
Pasar menjanjikan
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri menyampaikan, industri kulit masih cukup menjanjikan jika dilihat dari permintaan pasar.
Nilai ekspor alas kaki, seperti sepatu formal, kasual, dan olahraga, berbahan kulit masih mendominasi. Dilihat dari komposisi, sekitar 50 persen ekspor alas kaki berbahan baku kulit.
Baca juga: Agar Tanggulangin Bisa Bersaing di Industri Model Global
Aprisindo mencatat, nilai ekspor alas kaki nasional meningkat 4,13 persen, yaitu dari 4,91 miliar dollar AS pada 2017 menjadi 5,11 miliar dollar AS pada 2018. Secara rata-rata, pertumbuhan ekspor produk alas kaki Indonesia dari 1999 hingga 2018 sebesar 8,47 persen.
Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki menjadi sektor dengan pertumbuhan paling tinggi pada 2018, yaitu sebesar 18,78 persen secara tahunan. Kontribusi industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki terhadap pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang sebesar 1,59 persen.
Pemenuhan bahan baku kulit sebagian besar berasal dari impor.
Sayangnya, Firman mengatakan, pemenuhan bahan baku kulit sebagian besar berasal dari impor. “Secara kualitas, sebenarnya kulit sapi lokal ada yang memenuhi standar ekspor, tetapi tidak dijaga secara konsisten. Ini sering dipertanyakan para pelaku industri,” katanya.