Cerita dari ”Rumah” Adrian
”Ini ruang keluarga, tempat anak gue main. Di situ ruang tamu. Di ujung sana ruang tidur, tempat melepas lelah. Seperti inilah rumah gue, rumah yang bersahaja,” kata penyanyi/penulis lagu Adrian Yunan menunjuk ke arah samping kirinya. Ucapan itu ada di bagian awal pertunjukan tunggal Akrabi Adrian Yunan, Selasa (26/3/2019).
Dia tidak sedang ada di rumah sungguhannya di daerah Rempoa, Tangerang Selatan. Mantan pemain bas grup Efek Rumah Kaca (ERK) ini ada di panggung rendah di iCan Studio Live, Jakarta Selatan. Dekorasi panggungnya ditata menyerupai ruang-ruang yang ia sebut tadi.
Ada deretan lemari berisi perlengkapan audio dan buku-buku di sisi belakang. Titik tengah panggung adalah sofa berwarna merah menyala. Lampu baca menaungi sofa merah itu. Di sisi kanan sofa itu ada gantungan baju—dengan piyama yang tersampir seolah mewakili kesan kamar tidur.
Ketika puluhan penonton memasuki ruangan studio itu, Adrian dan musisi pengiringnya sudah siap di panggung. Adrian duduk ada di sisi kiri, sisi ”ruang keluarga”, memangku gitar hitam akustiknya. Rasanya benar-benar seperti diundang bertamu dan tuan rumahnya sudah menanti.
Sebelum memulai pertunjukan itu, Adrian menyebut nama teman-teman lamanya yang hadir. Dia menyapa pula istri dan anaknya yang duduk di barisan depan bersama penonton. Dia juga menyambut ibundanya, yang dia sebut kini berumur 70-an tahun. ”Wah, bahagianya udah enggak bisa disebut lagi,” ujarnya.
Reza Ryan, yang wajahnya kerap ditimpa bayangan itu, mulai membunyikan gema dari efek gitar elektrik. Ketika bunyi gaung dari gesekan senar dengan stik yang dimainkan Reza menguat, Adrian menimpali dengan petikan berulang-ulang pada gitarnya. Mengalunlah lagu ”Mikrofon”, yang lantas dirangkai dengan ”Lari”.
Urutan dua lagu itu sama persis dengan urutan di album Sintas yang beredar sejak Juni 2017. Semua lagu di album yang diproduksi mandiri itu diciptakan di rumahnya. Makanya, set panggung malam itu dibuat seperti rumah. Selepas rangkaian dua lagu itu, Adrian memulai ceritanya.
”Latar belakangnya (acara ini) adalah album Sintas yang rilis 2017. Semua lagunya dibuat ketika masa rehat di rumah. (Waktu itu) di tengah aktivitas panggung ERK yang lagi memuncak, gue tiba-tiba harus rehat lima tahun,” katanya.
Dia istirahat dari band itu karena penglihatannya mulai menyempit sejak 2008, dan buta pada 2010. Belakangan, dia didiagnosis mengidap retinitis pigmentosa.
Aktivitas manggungnya berhenti total. Dia berupaya mengakhiri masa jeda kreativitasnya dengan kembali menulis lagu dan ”belajar lagi” memainkan gitar.
Cerita yang ia tuturkan di panggung sama sekali tidak terkesan mencari simpati. Sebaliknya, dia justru mengajak penonton melihat lebih dekat sosoknya yang baru, juga menyimak refleksinya atas kebutaan itu. Adrian membuka dirinya, sehangat dia menyambut tetamunya.
Pada saat berganti set, dari ”ruang keluarga” ke ”kamar tidur”, Adrian berganti pakaian di panggung. Dia cuek melepas celana panjang menyisakan celana pendek. Dia juga memakai sendiri kemeja piyama. Kru panggung membantu mendekatkan gitar dan mencolokkan kabelnya.
Penutup mata
Pada set ”kamar tidur” yang dia sebut sebagai ruang ”yang identik dengan kesendirian” itu, Adrian melantunkan lagu ”Ruang yang Sama”. Dia mau berbagi pengalaman kehilangan indera penglihatan kepada penonton.
”Banyak orang yang tanya, ’Detik pertama lu enggak lihat, apa rasanya?’. Itu susah diceritain. Sebenarnya kehilangan penglihatan itu dikurangi, tapi ditambah. Indera penglihatannya dikurangi, tapi (sensitivitas) indera lainnya ditambah, yaitu pendengaran. Gue menceritakannya bingung. Sekarang silakan menutup mata,” pinta Adrian.
Penonton serempak memasang kain hitam di mata masing-masing yang sebelumnya dibagikan di pintu masuk. Gelap tentu saja menyergap, walau bukan tanpa rencana.
Bebunyian mengawang pada lagu ”Ruang yang Sama” jadi seperti lebih nyaring. Bunyi-bunyi itu dengan sempurna mengiringi larik ”karena melihat tak hanya mata/dunia adalah serat yang diraba/karena mendengar tak hanya telinga/suara adalah getar yang dirasa//”
Dari kamar tidur, set berpindah ke ruang tamu. Di situ, dia menerima tamu, tentu saja. Tamu pertama adalah Elda Suryani, penyanyi dari duo Stars and Rabbit. Elda adalah vokalis tamu di album Sintas pada lagu ”Komedi Situasi”. Layaknya tamu, mereka ngobrol-ngobrol terlebih dulu.
”Waktu diajak nyanyi (untuk rekaman), aku iyain aja dulu. Begitu dengar lagunya semua nada-nadanya sangat asing. Pengambilan notasinya itu adalah kesulitan another level,” celetuk Elda dalam bahasa campur aduk.
”Oooh, gitu. Bikin lagu enggak mikir risikonya,” timpal Adrian. Lucu.
Selepas duet yang menampilkan suara falseto unik Elda itu, datanglah tamu berikutnya. Kali ini adalah Nastasha Abigail dari grup Pandai Besi. Abigail bernyanyi lagu ”Tak Ada Histeria” yang terkesan suram, tetapi bernada ceria. ”Lagu ini penting. Liriknya jadi mantra dan terapi,” ujarnya.
Tamu yang tak kalah istimewa adalah dua pelajar SMU bernama Khansa Novrianda dan Alifah Diva Cantika. Masing-masing adalah keponakan dan tetangga Adrian. Mereka menyanyi lagu teranyar Adrian berjudul ”Mencar”, juga ”Di Sekolah-sekolah” yang bertema antikorupsi.
Cerita lain yang ia tuturkan lewat lagu adalah kesukaannya pada film. Dia memainkan lagu ”Semusim” dari film Badai Pasti Berlalu, dan ”Mengenang Kasino” yang ia garap bareng trio Rental Video. Dia juga mengenalkan lagu ”Tembang Rakyat” yang bersumber dari keresahannya atas Rancangan Undang-undang Permusikan.
Adrian memainkan 17 lagu, dengan durasi pertunjukan hampir dua jam. Semua lagu di album perdananya telah ia suguhkan lewat pertunjukan khusus itu. Dia kini hendak merampungkan album kedua. Para pembeli tiket pertunjukan yang mengabaikan hujan pada malam itu bakal dicatat sebagai produser eksekutif album baru nanti.