Akhir pekan lalu, Komite Ekonomi dan Industri Nasional mengeluarkan pernyataan resmi yang intinya Indonesia siap go nuclear. Hal itu bukan soal persenjataan, melainkan untuk ketenagalistrikan yang memanfaatkan tenaga nuklir sebagai energi primer mesin pembangkit listrik.
Benarkah kita siap memanfaatkan nuklir untuk pembangkit listrik?
Dalam pernyataan resminya, Ketua Kelompok Kerja Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Zulnahar Usman menyebutkan, nuklir dapat dimanfaatkan untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Teknologi nuklir kian canggih dengan tingkat keamanan yang terus membaik. Pengalaman itu didapat dari kunjungan kerja KEIN ke Jepang, Maret lalu.
Selain mencermati keberhasilan Jepang yang memulai proses pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dari awal sampai dioperasikannya pembangkit tersebut, hal yang tak kalah penting adalah sosialisasi. Sosialisasi kepada masyarakat mengenai rencana pembangunan PLTN, khususnya di Indonesia, tidak kalah penting dengan penguasaan teknologi nuklir itu sendiri.
Nuklir memang bukan barang yang dilarang untuk sumber tenaga listrik dalam perundang-undangan RI. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, peluang nuklir untuk dibangun masih terbuka. Namun, ada catatan untuk pembangunan PLTN di Indonesia, yaitu menjadi opsi terakhir dan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat.
Bahkan, dalam buku Outlook Energi Indonesia 2018 yang diterbitkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, nuklir berpotensi sebagai substitusi energi fosil dan akan memperkaya sumber energi baru terbarukan di Indonesia. Nuklir, yang masuk sebagai kategori energi baru (tetapi tak terbarukan), dipercaya mampu menggantikan peran energi fosil yang suatu saat cadangannya pasti habis. Energi fosil itu adalah minyak, gas bumi, dan batubara.
Kembali ke soal sosialisasi, ada sindrom populer terkait rencana pembangunan PLTN. Sindrom itu dikenal dengan istilah not in my backyard (tidak di halaman belakang saya). Dalam sebuah kesempatan, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, tidak mudah untuk mendapat lokasi yang bersedia dijadikan tempat pembangunan PLTN di Indonesia. Ingat pengalaman rencana pembangunan PLTN di Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Rencana itu ditolak keras oleh masyarakat pada 2007, yang berakhir dengan ketidakjelasan sampai kini. Ketakutan bahaya radiasi nuklir, seperti kasus di Chernobyl, Ukraina, menjadi alasan penolakan waktu itu.
Indonesia memang bukan negara seperti Jepang yang sangat bergantung terhadap impor minyak, gas bumi, dan batubara. Untuk ketiga jenis energi fosil itu, potensi dan sumber dayanya di Indonesia masih melimpah kendati tidak bisa disebut sangat melimpah. Indonesia juga diberkahi sumber daya energi terbarukan, seperti tenaga hidro, bayu, surya, dan jenis bahan bakar nabati.
Persoalan yang tengah dihadapi Indonesia adalah cadangan energi fosil terbatas dan suatu saat nanti bakal habis dan tak terbarukan. Sejak 2004, Indonesia sudah menjadi negara pengimpor bersih minyak lantaran produksi minyak di dalam negeri jauh di bawah konsumsi harian nasional. Begitu pula batubara, yang porsinya masih 60 persen dalam bauran energi pembangkit listrik dalam negeri, suatu waktu nanti akan lenyap. Apa penggantinya?
Sumber energi terbarukan, kendati jumlahnya melimpah, belum tangguh untuk kebutuhan berskala besar atau untuk kepentingan industri. Pengembangannya di dalam negeri pun belum sengotot upaya pemerintah mengembangkan pembangkit listrik tenaga uap (batubara).
Tugas berat mengenai sosialisasi PLTN di Indonesia harus dituntaskan terlebih dahulu. Begitu pula peta jalan pengembangan nuklir di Indonesia.