Negara Penghasil Sawit Bahas Kebijakan Diskriminatif Uni Eropa
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
BRUSSELS, SELASA — Negara-negara penghasil minyak sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) berkumpul di Brussels, Belgia, 8-9 April 2019, untuk membahas langkah-langkah diskriminatif Uni Eropa membatasi penggunaan minyak kelapa sawit untuk biofuel. Kebijakan diskriminatif Uni Eropa itu mengancam jutaan masyarakat yang sumber penghasilannya bergantung pada produksi kelapa sawit.
Di Indonesia saja, diperkirakan 20 juta orang bekerja di perkebunan kelapa sawit dan industri turunan produk minyak sawit. CPOPC menganggap, kebijakan diskriminatif Uni Eropa (UE) bakal mengurangi lapangan kerja, menghambat pengentasan rakyat dari kemiskinan, dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya.
”Kami sangat menentang ’Renewable Energy Directive II, Delegated Act’, yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai produk yang tidak memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan,” demikian tertulis pernyataan tertulis CPOPC, Selasa (9/4/2019).
Kebijakan UE menganggap produksi kelapa sawit tidak ramah lingkungan atau tidak berkelanjutan karena perubahan penggunaan lahan secara tak langsung (ILUC) yang ”berisiko tinggi”. Artinya, produksi kelapa sawit dianggap sebagai penyebab deforestasi.
”Minyak kelapa sawit sengaja difokuskan sebagai penyebab deforestasi. Kriteria yang digunakan dalam undang-undang itu tidak berdasarkan metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujar CPOPC.
Bagi negara anggota CPOPC, undang-undang UE yang antikelapa sawit merupakan bagian dari politik proteksionisme UE yang berupaya untuk memberikan lebih banyak peluang terhadap produk minyak nabati yang berasal dari bunga matahari, rapeseed, dan kedelai. Tanaman itu ditanam di wilayah UE.
”Komisi UE menyimpulkan bahwa minyak kedelai dari sumber selektif telah dikategorikan sebagaj produk ILUC dengan risiko rendah. Padahal, penelitian internal UE sendiri menyimpulkan bahwa kedelai lebih bertanggung jawab terhadap deforestasi,” ungkap CPOPC.
Diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit tidak hanya merugikan negara produsen minyak kelapa sawit, tetapi juga korporasi pengguna minyak kelapa sawit di UE. Selain itu, mereka dinyatakan telah melakukan investasi besar terhadap pengembangan bahan bakar hayati atau biofuel demi mengurangi, bahkan, menggantikan penggunaan bahan bakar berbasis fosil yang tidak ramah lingkungan.
”Kebijakan UE bertentangan dengan Konstitusi UE dan konvensi internasional di bidang ekonomi dan hak sosial,” seperti tertulis dalam pernyataan CPOPC. Mereka berharap UE dapat membuka jalan terhadap solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Indonesia dan Malaysia merupakan negara utama produsen minyak kelapa sawit. Produksi dari kedua negara itu mencapai 85 persen dari total produksi minyak kelapa sawit sedunia. Sekitar 10-15 persen produksi itu diekspor ke Eropa.
Kunjungan negara anggota CPOPC pekan ini di Brussels merupakan tindak lanjut dari keputusan yang disepakati dalam Pertemuan Tingkat Menteri Ke-6 CPOPC yang diadakan pada 28 Februari 2019 di Jakarta. Mereka sepakat untuk bersama membahas kebijakan diskriminatif UE yang membatasi penggunaan minyak kelapa sawit untuk biofuel dan menggelar dialog dengan unsur pimpinan UE.
Pada pertemuan pekan ini di Brussels, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution memimpin delegasi Indonesia, sedangkan Malaysia dipimpin Tan Yew Chong, Sekretaris Jenderal Kementerian Industri Primer Malaysia. Kolombia yang bertindak sebagai negara pengamat diwakili oleh Felipe Garcia Echeverri, Duta Besar Kolombia untuk Kerajaan Belgia yang juga menjabat sebagai Kepala Misi Kolombia untuk UE.