Warga Kepulauan Yapen diajak membuka wisata selam dan ”snorkeling” di Sarawandori. Hal itu sebagai alternatif penghasilan bagi warga agar tidak merambah kayu hutan.
JAYAPURA, KOMPAS —Kesatuan Pengelola Hutan Produksi Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, menggandeng masyarakat adat untuk membuka destinasi ekowisata di Kampung Sarawandori sejak tahun 2018. Destinasi ini efektif mengurangi masalah perambahan kayu hutan untuk kebutuhan lokal masyarakat yang sangat tinggi.
Kepala Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Kabupaten Kepulauan Yapen Ottow Maker mengatakan hal itu di Jayapura, Senin (8/4/2019).
Ottow memaparkan, ekowisata di Sarawandori meliputi wisata menyelam dan snorkeling di Teluk Mioka serta tempat swafoto dengan latar belakang laut biru jernih di teluk. Ia menuturkan, KPHP Kepulauan Yapen dengan anggaran dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membeli 35 peralatan selam.
”Sebelum membuka destinasi ekowisata Sarawandori, kami membawa 13 warga untuk studi banding destinasi ekowisata hutan pinus di Yogyakarta. Tujuannya, mereka bisa mereplikasi cara pengelolaan ekowisata yang baik,” kata Ottow.
Tekan perambahan
Destinasi ekowisata Sarawandori masuk dalam blok pemanfaatan jasa lingkungan di wilayah kerja KPHP Yapen seluas 95.638 hektar.
”Ekowisata itu diharapkan dapat menekan pengambilan kayu yang mencapai sekitar 2.000 meter kubik per tahun. Caranya, memanfaatkan hutan untuk jasa lingkungan seperti pariwisata,” ujarnya.
Ottow menambahkan, fasilitas tersebut berdampak besar dalam meningkatkan kemampuan ekonomi dua kelompok masyarakat di Sarawandori yang berjumlah sekitar 100 keluarga.
Pengelola ekowisata Sarawandori, Leo Arubaba, mengatakan, sekitar 1.000 wisatawan lokal dan mancanegara mengunjungi destinasi ekowisata itu per bulan.
Murah
Biaya berwisata terhitung murah. Untuk menyelam dan snorkeling selama dua jam di Teluk Mioka bagi tiga hingga lima wisatawan dikenakan biaya Rp 350.000.
Teluk Mioka berair jernih dengan terumbu karang yang masih terjaga baik dan dipenuhi aneka jenis ikan hias. Untuk mengunjungi empat tempat swafoto di areal seluas 40 meter persegi di Sarawandori hanya dikenakan biaya Rp 10.000 untuk per orang.
”Kami ingin menunjukkan bahwa ekowisata di Sarawandori bisa menghidupi masyarakat tanpa harus menebang kayu merbau di hutan,” kata Leo.
Direktur WWF Indonesia Program Papua Benja Mambay mengatakan, pihaknya akan menerjunkan tim ke Kepulauan Yapen untuk menganalisis potensi ekowisata di Sarawandori.
Kepulauan Yapen termasuk salah satu lokasi pelaksanaan program pengelolaan hutan rendah emisi selain Biak Numfor dan Supiori. WWF Indonesia Program Papua melaksanakan program tersebut sejak awal tahun ini.
”Setelah ada analisis, barulah kami akan menerjunkan tim untuk mendampingi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata di Sarawandori yang bisa mendatangkan banyak wisatawan dan berkelanjutan,” ucap Benja. (FLO)