Puluhan Orang Jadi Korban Serangan Pemberontak di Tripoli
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
TRIPOLI, SENIN — Serangan pasukan pemberontak yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar di bagian selatan Tripoli, ibu kota Libya, Minggu (7/4/2019) waktu setempat, telah menyebabkan 21 korban tewas dan 27 korban luka. Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta diadakannya gencatan senjata selama 2 jam agar korban dan warga sipil dapat dievakuasi.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo juga menyerukan agar pertempuran segera dihentikan dan mendesak agar diskusi di antara pihak terkait digelar. Meskipun demikian, pertempuran terus berlanjut hingga Minggu malam atau Senin (8/4/2019) pagi WIB.
”Amerika Serikat sangat prihatin dengan pertempuran yang terjadi di dekat Tripoli. Serangan terhadap Tripoli ini membahayakan warga sipil dan merusak prospek masa depan yang lebih baik bagi semua rakyat Libya” kata Pompeo dalam pernyataan tertulis, seperti dikutip BBC.
Sejak Kamis (4/4/2019), kelompok pemberontak Pasukan Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Haftar itu mulai maju ke arah Tripoli, basis Pemerintah Libya yang diakui secara internasional. Sehari setelahnya, mereka mencapai pinggiran selatan Tripoli dan mengklaim telah menguasai Bandara Internasional Tripoli.
”Pasukan angkatan udara ikut serta untuk pertama kali dalam operasi militer ini. Mereka dapat mengamankan jalur dari bandara (ke pusat kota),” kata juru bicara LNA, Ahmed Mismari.
Pada Sabtu (6/4/2019), Pasukan Persatuan Nasional Pemerintah (GNA) yang didukung PBB menyerang LNA dengan serangan udara. Pada Minggu kemarin, seorang juru bicara GNA menegaskan kepada televisi Al-Jazeera, GNA bertekad ”membersihkan” seluruh negara.
Di antara korban tewas, terdapat seorang dokter dari organisasi kemanusiaan Bulan Sabit Merah. Ada pula 14 korban jiwa dari kelompok pemberontak LNA.
Evakuasi
Komando Afrika-AS yang bertanggung jawab atas operasi militer dan penghubung AS di Afrika mengatakan, pihaknya telah merelokasi rombongan pasukan AS untuk sementara.
Menteri Luar Negeri India Sushma Swaraj menyatakan telah mengevakuasi 15 pasukan cadangan penjaga perdamaian dari Tripoli akibat situasi di sana yang tiba-tiba memburuk di Libya bagian selatan.
Krisis terbaru di Tripoli ini juga memaksa perusahaan minyak dan gas multinasional asal Italia, yaitu Eni, mengevakuasi semua pekerja atau pegawainya dari Libya. Warga Tripoli juga dilaporkan mulai meningkatkan persediaan makanan dan bahan bakar.
Editor Urusan Arab BBC, Sebastian Usher, mengatakan, sejumlah besar warga masih berada di dekat lokasi pertempuran dan menetap di dalam rumah. Mereka takut keluar rumah atau khawatir barangnya dirampas apabila pergi.
Konflik sejak 2011
Sejak penguasa lama Libya, Moammar Khadafy, digulingkan dan dibunuh pada 2011, Libya dilanda aksi kekerasan dan ketidakstabilan politik. Banyak kelompok bersenjata beroperasi di negara itu, terutama lagi bagian selatan.
Wilayah selatan Libya menjadi sorotan karena telah berkembang menjadi ”pusat” kekuasaan kelompok-kelompok bersenjata yang datang dari negara-negara tetangga, seperti dari Chad dan Sudan.
Akhir-akhir ini, ada kelompok bersenjata yang bersekutu dengan GNA yang didukung PBB dan berbasis di Tripoli, atau bersekutu dengan kelompok pemberontak LNA, yang dikomandoi Haftar.
Haftar adalah sosok anti-Islam yang memiliki dukungan dari Mesir, Uni Emirat Arab, dan Libya bagian timur. Pada 1969, ia membantu Khadafy merebut kekuasaan di Libya. GNA sementara itu dibentuk pada 2015 dan masih berjuang untuk memperoleh kontrol nasional.
Perdana Menteri Libya Fayez al-Serraj, Sabtu lalu, mengatakan, pihaknya bersumpah untuk terus mempertahankan ibu kota Tripoli. Ia juga mengatakan telah menawarkan konsesi kepada Haftar demi menghindari pertumpahan darah. Namun, ia malah ”ditusuk dari belakang”.
PBB dijadwalkan menggelar konferensi pada 14-16 April 2019 di kota Ghadames, Libya. Pertemuan itu bertujuan membahas pelaksanaan pemilihan umum sebagai salah satu solusi untuk menangani konflik yang telah berlangsung selama delapan tahun. Belum ada konfirmasi mengenai siapa saja yang akan hadir. (REUTERS/AFP)