Perlawanan Kaum Urban terhadap Erdogan
Kekalahan AKP dalam pemilu lokal di kota-kota besar, 31 Maret lalu, memberi pesan adanya gerakan pemberontakan kaum urban kelas menengah di Turki terhadap AKP dan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Kekalahan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan di kota-kota besar, seperti Istanbul, Ankara, Izmir, Antalya, dan Adana, pada pemilu lokal, Minggu (31/3/2019), merupakan lampu kuning bagi masa depan AKP dan Erdogan.
Kekalahan di kota-kota besar itu merupakan awal berakhirnya monopoli politik AKP dan Erdogan di Turki yang berlangsung sejak tahun 2002. Pascapemilu lokal tersebut, kekuasaan di Turki kini semakin terbagi antara AKP dan kubu oposisi. AKP menguasai pemerintah pusat, sedangkan kubu oposisi kini menguasai pemerintahan kota-kota besar.
Maka, peta politik Turki pascapemilu lokal itu berubah cukup signifikan. Hasil pemilu lokal tersebut sesungguhnya menunjukkan adanya tren kuat di Turki saat ini tentang gerakan kaum urban melawan AKP dan Erdogan.
Kota-kota besar itu merupakan basis kaum urban kelas menengah Turki. Kota-kota besar tersebut juga tempat konsentrasi industri Turki di berbagai sektor, seperti perdagangan, pariwisata, budaya, dan politik. Penggerak industri Turki adalah kaum urban kelas menengah. Secara politik, kaum urban kelas menengah Turki selama hampir 20 tahun terakhir menjadi pendukung kuat AKP.
Beralihnya orientasi dukungan politik kaum urban Turki ke arah AKP pada awal tahun 2000 merupakan reaksi terhadap krisis ekonomi Turki pada tahun 2000-2001. Kaum urban memberi sanksi terhadap partai-partai sekuler yang dianggap bertanggung jawab atas krisis ekonomi Turki pada tahun 2000-2001.
Maka, pada pemilu parlemen 2002, AKP yang berbasis ideologi Islamis untuk pertama kalinya sejak negara Turki modern berdiri pada tahun 1923 berhasil mengalahkan partai sekuler, yakni Partai Rakyat Republik (CHP). CHP didirikan pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk. AKP pada pemilu parlemen 2002 meraih 34,28 persen suara berbanding 19,39 persen suara yang diperoleh CHP.
Sekuel referendum
Namun, setelah hampir 20 tahun kemudian, kaum urban Turki kembali beralih lebih mendukung CHP daripada AKP. Hal itu disebabkan tekad Erdogan mengubah sistem politik Turki dari parlementer ke presidensial. Kaum urban Turki menolak keras perubahan sistem politik Turki tersebut karena hanya akan lebih mengarah terciptanya monopoli kekuasaan di tangan presiden, dan sekaligus mereduksi nilai-nilai demokrasi di negara itu.
Kekalahan AKP di kota-kota besar sudah terlihat sejak referendum atas amandemen konstitusi untuk mengubah sistem politik Turki dari parlementer ke presidensial pada 16 April 2017.
Aspirasi kaum menengah urban di Turki, yaitu terciptanya nilai-nilai Islam modern dalam semua aspek kehidupan. Islam yang tetap menjunjung nilai-nilai demokrasi, HAM, moderat, inklusif, dan ekonomi kapitalis.
Karena itu, kekalahan AKP di kota-kota besar sudah terlihat sejak referendum atas amandemen konstitusi untuk mengubah sistem politik Turki dari parlementer ke presidensial pada 16 April 2017.
Menurut hasil referendum di kota Istanbul, 51,35 persen menolak berbanding 48,65 persen setuju amandemen konstitusi. Di Ankara, 51,15 persen menolak berbanding 48,65 persen suara setuju. Di kota wisata Antalya, 59,08 persen menolak, sedangkan 40,92 persen setuju.
Baca juga: Pemilu Lokal Hasilkan Pukulan bagi Erdogan
Hasil pemilu lokal pada 31 Maret lalu sangat mirip dengan hasil referendum dua tahun lalu, atau semacam kelanjutan atau sekuel dari hasil referendum.
Pada pemilu lokal, kubu oposisi kembali menang di kota-kota besar. Kandidat wali kota metropolitan (gubernur) untuk kota Istanbul dari CHP, Ekrem Imamoglu, menang tipis atas kandidat dari AKP, Binili Yildirim. Imamoglu meraih 48,80 persen suara berbanding 48,55 persen suara yang diraih Yildirim.
Di ibu kota Ankara, kandidat dari CHP, Mansur Yavas, meraih 50,93 persen suara berbanding 47,12 persen suara yang diraih kandidat dari AKP, Mehmet Ozhaseki. Di kota Izmir, kandidat dari CHP, Mustafa Tunc Soyer, meraih 58,10 persen suara berbanding 38,69 persen suara yang diraih kandidat dari AKP, Nihat Zeybekci.
Harian Turki, Hurriyet, menyebut, hasil referendum 2017 dan pemilu lokal tahun 2019 memberi pesan tentang adanya gerakan pemberontakan kaum urban kelas menengah terhadap Erdogan dan AKP. Beberapa analis mengatakan, Erdogan dan AKP telah gagal menangkap pesan hasil referendum tahun 2017 karena tidak segera mengatasi faktor-faktor kekalahan pro-perubahan sistem politik dari parlementer ke presidensial di kota-kota besar saat itu.
Bahkan, AKP dan Erdogan tampak masih percaya diri dan mengabaikan hasil referendum tahun 2017. Hal ini berakibat pada terulangnya kekalahan di kota-kota besar pada pemilu lokal 2019.
Menurut para analis, AKP pada pemilu lokal lalu hanya menang secara kuantitas, tetapi kalah secara kualitas akibat kekalahan di kota-kota besar yang notabene berpenduduk kaum urban kelas menengah.
Adapun AKP hanya menang di kota-kota wilayah pedalaman Anatolia dan pesisir Laut Hitam yang berpenduduk kelas menengah bawah. Pukulan paling telak bagi AKP dan Erdogan adalah kekalahan di kota Istanbul dan Ankara yang selama ini dikenal basis AKP.
Meski secara nasional AKP menang, yakni meraih 44,32 persen berbanding 30,11 yang diraih CHP, secara psikologis AKP seperti merasa kalah akibat kekalahan di Istanbul dan Ankara.
Krisis ekonomi
Di Turki ada anekdot: siapa yang menang di Istanbul, kemenangan itu akan membuka jalan untuk menang di tingkat nasional. Erdogan sendiri memulai kemenangan dari kota Istanbul pada tahun 1990-an, kemudian berhasil menduduki kursi perdana menteri dan kini presiden.
Selain itu, Turki sejak awal 2018 diterpa krisis ekonomi yang membuat posisi politik AKP dan Erdogan semakin lemah. Pihak yang paling terpukul akibat krisis ekonomi itu, tentu saja, adalah kaum urban kelas menengah yang mengendalikan industri Turki di kota-kota besar.
Angka pengangguran di Turki kini mencapai 13 persen, inflasi mencapai 20 persen, dan nilai mata uang lira turun drastis hingga 40 persen. Pada Juni 2018, 1 dollar AS sama dengan 4 lira, kini pada awal April ini 1 dollar AS setara dengan sekitar 5,57 lira.
Faktor lain yang berandil atas kekalahan AKP di kota-kota besar adalah kasus jaringan Fethullah Gulen yang ditetapkan Turki sebagai organisasi teroris pasca-gagalnya upaya kudeta pada Juli 2016. Fethullah Gulen dikenal memiliki basis kuat di kalangan kaum urban.
Sangat wajar kalau tidak sedikit warga kaum urban melancarkan perlawanan terhadap AKP melalui pemilu. Mereka menolak kebijakan AKP saat ini terhadap ulama berpengaruh Fethullah Gulen.