JAKARTA, KOMPAS -- Jumlah pengaduan yang masuk ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional atau BPKN sepanjang triwulan pertama 2019 meningkat dibanding periode sama tahun sebelumnya. Permasalahan terkait hunian mendominasi aduan tersebut.
BPKN mencatat, jumlah aduan yang masuk sepanjang triwulan I 2019 mencapai 154 aduan atau naik 54 persen dibanding tahun sebelumnya pada periode yang sama. "Dengan tren triwulan I 2019 yang seperti ini, kami perkirakan, jumlah aduan hingga akhir tahun akan meningkat dibandingkan 2018," kata Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN Arief Safari saat konferensi pers di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Sepanjang 2018, BPKN menerima 402 aduan secara keseluruhan. Arief memperkirakan, hingga akhir 2019, jumlahnya akan meningkat hingga menjadi 600 aduan.
Dari seluruh aduan yang masuk pada triwulan I 2019, sebanyak 129 aduan atau 83,76 persen dari total aduan berupa permasalahan hunian konsumen. Arief mengatakan, aduan di sektor hunian meningkat 40 persen dibanding tahun lalu. Konsumen yang mengadu terkait hunian ini mayoritas berusia 30 - 45 tahun dari kelompok Sosial Ekonomi Status (SES) A dan SES B.
Dari seluruh aduan yang masuk pada triwulan I 2019, sebanyak 129 aduan atau 83,76 persennya berupa permasalahan hunian konsumen
Secara terperinci, Komisiener BPKN Rizal E Halim mengatakan, aduan di sektor hunian meliputi rumah tapak dan rumah susun dengan proporsi yang nyaris berimbang. Dia mencontohkan, hunian yang banyak diadukan berada di Lenteng Agung, Jakarta; Cikarang, Jawa Barat; dan Parung, Jawa Barat.
Dalam rumah tapak, Rizal menyebutkan, aduan yang muncul berkaitan dengan ketidakpastian umum terkait hak atas sertifikat hak milik. Serah terima sertifikat antarpemilik pertama dan kedua juga menjadi keluhan.
Berdasarkan penelusuran BPKN, aduan tersebut bersumber dari ketidakjelasan status tanah hunian serta dokumen-dokumen hukum terkait. Selain itu, iklan dari pihak pengembang yang tidak mencantumkan informasi secara lengkap. Contohnya, promosi dengan pembayaran secara tunai namun tidak menyertakan perjanjian kejelasan serah terima kavling tanah.
Untuk rumah susun atau hunian vertikal, Rizal mengatakan, konsumen mengadu seputar iuran serta fasilitas umum dan area yang dapat dimanfaatkan oleh penghuni secara bersama-sama. "Akar masalahnya ialah keberadaan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) di hunian vertikal tersebut," katanya.
Oleh sebab itu, BPKN meminta pemerintah pusat dan daerah untuk menegakkan dan mengawasi penerapan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 23 Tahun 2018 tentang P3SRS. Rizal berpendapat, ketidakjelasan status P3SRS di kawasan hunian vertikal menyebabkan persengketaan pengelolaan antara penghuni dan pengembang.
Menurut Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia Paulus Totok Lusida, transparansi menjadi kunci dari pengelolaan hunian vertikal. Laporan keuangan dan dasar pertimbangan iuran mesti terbuka bagi semua pihak.
Dalam menjalankan P3SRS, Totok berpendapat, pengembang perlu ambil andil. "Apalagi jika hunian vertikal itu mayoritas belum terisi. Pengembang mesti tetap bertanggung jawab terhadap pelaksanaan rencana bisnis dan pengelolaan hunian tersebut," tuturnya saat dihubungi secara terpisah.
Apalagi, Totok menggarisbawahi, hunian vertikal juga memiliki area komersial, bukan hanya tempat tinggal. Oleh sebab itu, secara menyeluruh, pengembang terlibat dalam perencanaan, investasi, pemasaran, pembangunan, dan perawatan hunian vertikal.