Beban penanggulangan tuberkulosis di Indonesia mencapai 842.000 kasus baru pada 2017. Jumlah itu menjadi yang terbesar ketiga setelah India dan China. Waktu pengobatan yang cukup panjang membuat penderitanya membutuhkan dukungan keluarga agar konsisten menjalani proses penyembuhan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Beban penanggulangan tuberkulosis di Indonesia mencapai 842.000 kasus baru pada 2017. Jumlah itu menjadi yang terbesar ketiga setelah India dan China. Waktu pengobatan yang cukup panjang membuat penderitanya membutuhkan dukungan keluarga agar konsisten menjalani proses penyembuhan.
Penyembuhan tuberkulosis setidaknya membutuhkan waktu enam bulan. Bahkan, untuk penderita tuberkulosis yang resisten obat, bisa memakan waktu 18-24 bulan.
Dewi Wulan (36), mantan pasien tuberkulosis, bercerita tentang perjuangannya sembuh dari penyakit itu. Dia merasakan beberapa efek samping selama pengobatan, seperti mual, sakit kepala, gangguan pendengaran, dan nyeri sendi. Bahkan, terkadang juga merasakan halusinasi.
“Saya terkadang menangis pada malam hari. Padahal tidak merasa sedih,” ujarnya dalam peluncuran Rencana Aksi Daerah Tuberkulosis Jawa Barat di Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (8/4/2019).
Dewi mengetahui menderita tuberkulosis pada 2007. Ketika itu dia mengalami batuk berdarah saat hendak berangkat bekerja.
Saya terkadang menangis pada malam hari. Padahal tidak merasa sedih
Sebelumnya, Dewi sudah mengalami batuk lebih dari dua pekan. Berat badannya juga turun drastis. Namun, minimnya pengetahuan tentang tuberkulosis membuatnya menganggap hal itu hanya batuk biasa.
Setelah diperiksa dokter, Dewi dinyatakan positif menderita tuberkulosis. Dia menjalani pengobatan rutin selama enam bulan, namun tidak sembuh.
“Lanjut pengobatan kategori dua, namun tetap tidak sembuh. Padahal saat itu sudah disuntik setiap hari selama dua bulan,” ujarnya.
Dewi kembali memeriksakan diri ke dokter. Ternyata dia menderita tuberkulosis resisten obat. Bakteri yang menyerang paru-parunya sudah kebal terhadap obat yang dikonsumsinya.
Dokter menyarankan menjalani pengobatan lanjutan dengan dirujuk ke salah satu rumah sakit di Jakarta. Namun, karena keterbatasan biaya, dia tidak mengikuti saran itu.
“Saya tidak mempunyai saudara di Jakarta. Tentu butuh biaya untuk penginapan. Belum lagi biaya transportasi karena harus setiap hari ke rumah sakit,” ujarnya.
Merusak ginjal
Dewi memutuskan tidak melanjutkan pengobatan. Dia juga tak lagi meminum obat-obat sebelumnya. Selain sudah tidak mempan, mengonsumsi obat dalam waktu lama juga berpotensi merusak ginjal.
Saya tidak mempunyai saudara di Jakarta. Tentu butuh biaya untuk penginapan. Belum lagi biaya transportasi karena harus setiap hari ke rumah sakit
Di tengah perjuangan untuk sembuh, Dewi justru bercerai dengan suaminya. Kondisi itu membuatnya hampir frustasi. Namun, orangtua dan adik-adiknya terus meyakinkannya berjuang untuk sembuh.
“Saya diusir dari rumah. Mungkin dia (mantan suami) takut tertular. Padahal keluarga sudah menjelaskan kalau saat itu pengobatannya belum ada di Bandung,” ujarnya.
Pada 2012, Dewi melanjutkan pengobatannya di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Rumah sakit tersebut sudah dapat menangani pasien tuberkulosis dengan resisten obat.
Di tengah perjuangan untuk sembuh, Dewi justru bercerai dengan suaminya. Kondisi itu membuatnya hampir frustasi
Akan tetapi, Dewi masih dipusingkan biaya transportasi ke rumah sakit. Sebab, dia harus mengalami pengobatan panjang selama dua tahun.
Lama menderita tuberkulosis membuat Dewi tak bisa bekerja. Untuk menafkahi diri sendiri pun dia kesulitan. Biaya pengobatan memang gratis. Namun, tetap butuh dana transportasi ke rumah sakit dan biaya hidup sehari-hari.
Keluarga kembali menopangnya. Adik-adiknya menanggung biaya trasnportasi untuk berobat ke rumah sakit. Selain itu, keluarga tak pernah abai menyemangati Dewi agar tak menyerah berjuang untuk sembuh.
Dukungan luar biasa
“Setelah menuntaskan pengobatan selama dua tahun, saya sembuh. Ini berkat dukungan keluarga yang luar biasa,” ujarnya.
Sebelum menderita tuberkulosis, Dewi bekerja sebagai kasir di salah satu pusat perbelanjaan di Bandung. Dia bekerja dari pagi hingga malam. Waktu kerja yang terkadang lebih dari 10 jam berpotensi membuatnya mudah lelah sehingga daya tahan tubuh menurun.
“Sebagai kasir, saya bertemu banyak orang setiap hari. Mungkin di situ terjadi penularan tuberkulosis ketika saya sedang tidak fit,” ujarnya.
Dokter sepesialis penyakit dalam di RSHS, Hendarsyah Suryadinata, mengatakan, tuberkulosis membutuhkan pengobatan yang konsisten. Oleh sebab itu, peran keluarga sangat penting. Tidak hanya dalam mendampingi pasien, tetapi juga mengingatkan untuk berobat sampai sembuh.
“Penyakit ini bisa menyerang siapa saja. Namun, tuberkulosis juga bisa disembuhkan. Ini perlu terus diingatkan agar pasien termotivasi untuk sembuh,” ujarnya.
Jabar merupakan provinsi dengan penderita tuberkulosis terbanyak di Indonesia. Pada 2017 jumlahnya mencapai 127.000 kasus baru.
Untuk menekan angka itu, Pemerintah Provinsi Jabar menyususn Rencana Aksi Daerah (RAD) penanganan Tuberkulosis. Hal itu sebagai upaya terpadu untuk mencegah, mendeteksi dini, dan mengobati tuberkulosis.
Sekretaris Daerah Jabar Iwa Karniwa mengatakan, 5 dari 27 kabupaten/kota di Jabar sudah menyusun RAD Tuberkulosis. Sejumlah 22 daerah lainnya ditargetkan merampungkannya pada Juni mendatang.
“Dari 127.000 kasus tuberkulosis di Jabar, baru sekitar 50 persen yang diobati. Sisanya belum tertangani dengan baik. Oleh sebab itu dibutuhkan rencana aksi bersama agar Jabar bisa terbebas dari tuberkulosis,” ujarnya.