Menempuh Perjalanan Sertifikasi
Untuk memenangi persaingan di dunia kerja yang kian ketat, pekerja berupaya meningkatkan daya saing. Salah satu caranya adalah lolos uji sertifikasi. Pekerja yang memenuhi syarat kompetensi bisa memiliki sertifikat profesi. Sertifikat ini menambah rasa percaya diri....
Tujuh jam perjalanan ditempuh Riduan Silalahi (34) dari rumahnya di Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, ke Medan. Berangkat tengah malam, Riduan dan beberapa kawannya tiba di Pardede Hall, Medan, pukul 07.00. Tujuannya satu, menggenggam sertifikat tenaga kerja konstruksi.
Baca Juga: Sertifikasi untuk Mengejar Kebutuhan Pasar
Riduan adalah satu dari 5.531 peserta uji sertifikasi tenaga kerja konstruksi yang dipusatkan di Medan, Senin (18/3/2019). Setelah 15 tahun bekerja sebagai tukang di Toba Samosir, baru kali iini Riduan ikut uji sertifikasi khusus di bidang sipil. Biayanya, gratis.
”Semoga saya bisa kerja terus karena sertifikat tenaga kerja ini seperti SIM (surat izin mengemudi),” katanya.
Bagi Posman Herbet Silitonga (35), uji sertifikasi tenaga kerja konstruksi menjadi harapan baru. Sebelumnya, laki-laki asal Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, ini bertani. Baru sekitar 5 tahun terakhir dia semakin sering bekerja di sektor konstruksi, seperti membangun rumah atau infrastruktur desa. Posman berharap bisa kembali ke desanya dan bekerja membangun desa.
Sertifikasi bagi pekerja konstruksi hanyalah sebagian dari sertifikasi pekerja. Ada bidang lain yang juga tengah didorong agar pekerjanya menempuh uji sertifikasi. Dengan memiliki sertifikat profesi, daya saing dan kompetensi pekerja tersebut diharapkan meningkat.
Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Kunjung Masehat menyebutkan, target sertifikasi profesi pada tahun ini, sesuai anggaran BNSP, sebanyak 179.092 orang. Jumlah ini terdiri dari 174.100 pekerja lokal dan 4.992 calon pekerja migran Indonesia.
BNSP, tambah Masehat, juga diamanatkan untuk menjalankan sertifikasi pekerja program magang nasional, lulusan balai latihan kerja (BLK) serta instruktur lembaga pelatihan milik pemerintah ataupun swasta. Dari program magang nasional, ditargetkan 210.000 orang menjalani uji sertifikasi.
Mesti diakui, uji sertifikasi adalah jalan nan panjang.
Menurut Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin, dari 8,3 juta tenaga kerja konstruksi, baru 616.000 orang atau 7,4 persen yang memiliki sertifikat kompetensi.
”Sebagian besar merupakan tenaga terampil. Mereka memiliki keterampilan karena ikut kerja di konstruksi mulai dari bawah, lalu pelan-pelan menguasainya. Oleh karena itu, bagi yang sudah terampil tidak perlu dilatih lagi, tetapi langsung diuji kompetensinya,” kata Syarif.
Sertifikasi tenaga kerja konstruksi diwajibkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Baik pengguna jasa konstruksi maupun penyedia jasa konstruksi wajib menggunakan tenaga kerja yang telah tersertifikasi. Selain sebagai pengakuan atas kompetensi pekerja, sertifikasi tenaga kerja konstruksi juga untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan seseorang.
Hal itulah yang dilakukan Javen Hutasoit (55), tenaga kerja konstruksi dari Kabupaten Dairi, Sumut. Ayah dari 11 anak ini baru masuk ke dunia konstruksi dalam 5 tahun terakhir.
Sekitar 3 tahun lalu, dia ikut uji sertifikasi tenaga kerja konstruksi sebagai tukang batu. Javen mesti bisa menjelaskan perbandingan adonan untuk mengecor, untuk tembok, dan penggunaan besi. Kini, Javen mengikuti uji sertifikasi sebagai tukang cat.
”Kalau nanti ada (proyek menggunakan) dana desa, saya sudah punya keterampilan. Saya bisa menunjukkan kalau saya bisa bekerja,” katanya.
Saya bisa menunjukkan kalau saya bisa bekerja.
Transformasi
Tenaga Ahli Menteri Pariwisata Bidang Strategic Marketing Priyantono Rudito menyampaikan, Kementerian Pariwisata telah menetapkan program Wonderful Indonesia Digital Transformation atau WIDT 4.0. Sasarannya, antara lain, transformasi sumber daya manusia.
Kementerian Pariwisata (Kemenpar) melihat kecenderungan turis mancanegara semakin lekat dengan internet. Wisatawan mancanegara (wisman) selalu menggunakan internet untuk memenuhi kebutuhan mereka, mulai dari mencari inspirasi wisata, memesan keperluan wisata, hingga mengunggah perjalanan ke media sosial. Sekitar 37 persen wisman tergolong konsumen digital.
Melihat tren ini, industri pariwisata dunia berbenah, termasuk Indonesia. Transformasi untuk mengikuti tren ini diawali dari sumber daya manusia.
”Transformasi yang dimulai dari manusia mampu memaksimalkan perolehan nilai tambah industri pariwisata 4.0. Kebijakan ini sejalan dengan pemikiran Organisasi Pariwisata Dunia,” ujar Priyantono.
Terkait program itu, strategi yang digarap Kemenpar antara lain standardisasi kompetensi digital dan pengembangan talenta digital dalam industri pariwisata. Salah satu inisiatifnya, menghubungkan institusi pendidikan dan industri agar masalah link and match kompetensi tuntas.
Satu demi satu strategi itu diterapkan Kemenpar. Misalnya, pada 29 Maret mendatang Kemenpar menandatangani nota kesepahaman dengan Universitas Victoria, Australia, untuk menjalankan kelas internasional. Pada tahap awal, kelas internasional akan dibuka di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung dan Sekolah Tinggi Pariwisata Bali.
Program lain adalah bekerja sama dengan dua asosiasi manajer umum di Indonesia untuk melatih siswa-siswi sekolah menengah kejuruan (SMK). Dari pelatihan itu, SMK menyempurnakan kurikulum agar sesuai kebutuhan industri.
”SMK yang ikut program ini harus mempunyai lembaga sertifikasi profesi,” kata Priyantono.
Hasrat meningkatkan kompetensi bersanding dengan keinginan kian berdaya saing. Uji sertifikasi menjadi jembatannya. (NAD/MED)