John Mayer yang Manis
Berhati-hatilah ketika John Clayton Mayer berada di atas panggung, dan memegang gitar. Dengan raungan cengkok blues yang padat, suara yang manis, juga interaksi panggung yang memikat, ia meracik penampilan yang mampu membuat pendengarnya belingsatan.
”Love you too,” sahut John Mayer meningkahi teriakan para penonton yang terus mengulang-ulang namanya meski ia telah tampil lebih dari 1 jam. Pada Jumat (5/4/2019) malam, untuk pertama kali ia datang ke Indonesia dan tampil di depan sekitar 10.000 penggemar dan pendengarnya di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, Banten.
Lagu yang mengantarnya meraih Grammy pertama saat masih berumur 25 tahun, ”Your Body is Wonderland”, baru kelar ia mainkan secara solo. Tepuk tangan dan teriakan masih silih bergantian datang dari berbagai sudut ruangan.
Mayer memainkan sebentar gitar akustiknya, lalu menggantinya dengan gitar akustik lain. Penyanyi yang tahun ini menginjak usia 42 tahun itu kemudian menyetem gitar, lalu mulai memetik nada dalam intro panjang. Lagu ”Neon” mengalun penuh, dan penonton kembali bergelora.
Masih dari album penuh pertamanya, Room For Square, lagu ”Neon” yang ia tampilkan malam itu serupa menjadi jembatan melihat ”wujud” asli Mayer. Di pertengahan lagu, ia memanjangkan melodi. Tangan kirinya merajang nada, berlari dari satu titik ke titik nada lain, dari satu senar berpadu dengan senar lain.
Sementara itu, jemari tangan kanannya memberi nada diam, menahan, lalu dengan cepat kembali memetik senar. John Mayer Bounce adalah sebutan untuk petikan atau slap khas Mayer saat menggunakan jempolnya untuk menahan nada sebelum memetik senar. Tekniknya ini menciptakan sebuah vibrasi yang tercekat sebelum ia membetot senar kembali.
Melodinya di lagu ini terdengar manis-manis manja, sesekali miris, ditingkahi lirik yang juga ngenes. ”She comes and goes and comes and goes. Like no one can. She comes and goes and no one knows. She’s slipping through my hand,” begitu penggalan lirik Neon. Jangan suka datang dan pergi, cuma PHP (pemberi harapan palsu), begitu mungkin maksud Mayer dalam lagunya.
Ia lalu melanjutkan aksi solo akustiknya dengan lagu ”In Your Atmosphere”. Tiga buah lagu ia mainkan seorang diri, sebelum band pengiring kembali masuk ke atas panggung. Lagu-lagu dari ketujuh album Mayer semakin terdengar menyentak dari atas panggung.
Petikan khas
Petikan khas blues yang meliuk-liuk dan meraung terdengar mengalun tenang di repertoarnya. Melodinya sekilas menyiratkan nada-nada dari empu blues, seperti Stevie Ray Vaughan, atau B.B King, dua orang yang paling berpengaruh dalam irama bermusik Mayer.
Namun, tidak mengambil penuh, ia memberi ramuan nada tambahan dan memasak iramanya sendiri. Ia memadukan raungan blues dengan irama jazz, folk, atau pop rock. Racikan tone suara efek gitar menjadi ciri khasnya.
Ia memainkan gitar serupa koki berpredikat terbaik mengolah bumbu. Majalah Rolling Stones bahkan dengan berani menobatkan ”bocah” ini sebagai salah satu dewa gitar pada 2007 lalu.
Modal pemenang tujuh Grammy ini memang bukan tampang semata. Ia penampil dengan kemampuan permainan gitar yang apik, juga ditunjang kemampuan vokal yang renyah dan tidak bertele-tele. Meski pernah melakukan operasi pengangkatan granuloma di pita suaranya, ia tetap mampu bermain aman selama hampir 3 jam bernyanyi.
Beberapa falseto tipis mampu ia sajikan. Mungkin karena alasan itu pada konsernya kali ini ia mengambil jeda setengah jam setelah melibas 11 lagu, sebelum melanjutkan dengan belasan lagu lainnya. Hal yang sama ia lakukan di tiap negara yang ia singgahi.
Hal ini tentunya tidak mengurangi seluruh tampilan Mayer malam itu. Sebab, ia masih mempunyai kemampuan memikat lainnya, yaitu kekuatan lirik lagunya. Ia memang pengarang lagu yang patut diacungi jempol.
Mayer mampu merangkai kisah cinta yang tragis dalam kalimat sederhana. Ia membikin lirik galau, tapi terasa tak menye-menye, tak picisan. Kisah cintanya yang sering kandas berperan besar dalam rumus Mayer mencipta lagu.
Mayer mulai mengarang lagu pada umur belasan tahun. Lagu pertamanya tercipta ketika ia dirawat di rumah sakit karena sakit jantung, terus memberi warna dalam lagu-lagu ciptaannya. Dari ”Why Georgia”, ”Daughters”, ”Stop This Train”, atau ”Slow Dancing in Burning Room” ia tampilkan malam itu. Lagu dengan lirik yang bermartabat.
Kekuatan lirik ini membawanya tampil dari bar kecil di pelosok Georgia, hingga tampil di seluruh dunia dengan penjualan album jutaan kopi. Ia juga terlibat aktif memimpin produksi album-albumnya. Kemampuan musikalitas anak dari pasangan guru ini adalah sebuah paket lengkap yang jarang ditemui pada musisi muda masa kini.
Kesan dalam
Indonesia memang bukan negara pertama yang disinggahi Mayer pada tur dunia ini. Di Asia, ia telah menyinggahi Singapura, juga Thailand. Sebelumnya, ia tampil beberapa kali di Australia dalam waktu cukup berdekatan. Meski begitu, kesan manis sepertinya membekas selama ia tampil selama lebih kurang 3 jam di pinggiran Jakarta ini.
Tepat pukul delapan malam, Mayer mengawali penampilannya di panggung. Lagu ”Belief”, dari album Continuum, album penasbih corak blues dalam karyanya, menjadi menu pembuka. Gemuruh dan loncatan penonton yang belingsatan melihat penyanyi jagoannya membuat lantai ruangan konser bergetar. Hal ini terjadi juga saat lagu ”Helpless” atau ”Love On The Weekend” yang dibawakan berturut-turut tanpa jeda.
”Halo Jakarta, apa kabar? Terima kasih telah menjadi bagian penuh cinta hingga kita ada di sini,” ucapnya. Memakai gitar bercat emas, dan tingkah yang sesekali memancing riuh, Mayer menyulam setiap lagu menjadi sebuah aksi yang menyenangkan.
Ia seperti memikirkan baik-baik kapan harus tersenyum, memejamkan mata saat menggelar melodi panjang, atau sekadar menyapa penonton. Ia adalah penampil yang presisi.
Seorang perempuan muda selalu berteriak histeris saat wajah Mayer yang lumayan cocok menjadi model iklan kalender tampil penuh di layar besar yang terpasang di kiri dan kanan panggung. Padahal, selama konser, tampilannya hanya bermodal kaus hijau yang seperti baru diambil dari binatu, jins belel, dan sebuah bandana.
Modal lainnya di atas panggung yaitu sedikitnya tujuh buah gitar yang bergantian ia mainkan. Tidak lupa jam tangan yang terlihat mencolok terpasang di tangan kolektor jam mewah ini. ”Sangat senang berada di sini bersama kalian. Kali ini saya akan membawakan lagu pilihan kalian. Ada 51 persen orang yang akan sangat senang, dan 49 orang yang kemungkinan kecewa,” lanjutnya.
Sebelum konser, Mayer mengunggah polling memilih lagu di akun Instagram-nya. Dua lagu yang dipilih adalah ”Edge of Desire” atau ”Dreaming With A Broken Heart”. Dalam beberapa waktu, ia merilis hasil polling yang memilih ”Edge of Desire”, dari album Battle Studies.
Namun, penonton sepertinya tidak ada yang kecewa dengan pilihan lagu itu. Mereka kembali menyanyi bersama, dan beberapa kali membuat Mayer harus merelakan bagian reff-nya diambil alih penonton.
Band pengiring Mayer juga menjadi bagian tidak terpisahkan dalam konser tersebut. Dua gitaris pengiring bergantian menunjukkan kemampuan, baik lewat gitar maupun suara. Penyanyi latar juga diberi kesempatan tampil. Mereka sebuah kesatuan dengan Mayer sebagai dirigen.
Di akhir konser, saat lagu pamungkas ”Gravity” mulai mengalun, lagu ketiga setelah encore, penonton secara spontan menyalakan lampu telepon pintar. Ruangan menjadi temaram, dan koor terdengar dari seisi ruangan. Mayer berkali-kali berterima kasih sebelum benar-benar turun panggung.
Mia (16), penggemar Mayer sejak sekolah menengah, terdiam beberapa detik saat diminta menyebutkan satu kata untuk konser yang ia saksikan. ”Keren banget, gilaaaaa,” ujarnya.