Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Perkuat Ketahanan Energi
Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi, yang mempunyai sumber biomassa dengan jumlah melimpah. Sumber daya ini perlu dikembangkan untuk dapat memperkuat ketahanan energi nasional, salah satunya melalui pembangkit listrik tenaga biomassa.
Oleh
Samuel Oktora
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS-Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi, yang mempunyai sumber biomassa dengan jumlah melimpah. Sumber daya ini perlu dikembangkan untuk dapat memperkuat ketahanan energi nasional, salah satunya melalui pembangkit listrik tenaga biomassa.
Dengan pemanfaatan biomassa secara optimal diharapkan dapat melepaskan ketergantungan Indonesia terhadap pasokan impor bahan bakar fosil, sehingga pemenuhan kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi menggunakan sumber daya domestik, yang juga dapat meningkakan pembangunan ekonomi.
Hal itu menjadi salah satu penekanan dalam acara Seminar Chemurgy Innovation Summit (CIS) 2019 bertajuk “Potensi Biomassa Indonesia Dalam Mewujudkan Kemandirian Ekonomi” di Aula Timur Institut Teknologi Bandung (ITB), Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (6/4/2019).
Tampil sebagai pembicara, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral FX Sutijastoto, Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (Ikabi) Tatang H Soerawidjaja, dan Kepala Sub Direktorat (Subdit) Industri Hasil Perkebunan Non Pangan Kementerian Perindutrian Lila Harsyah Bachtiar.
“PLT biomassa dapat menunjang pencapaian rasio elektrifikasi 100 persen, yang hingga Desember 2018 sudah mencapai 98,30 persen. PLT ini cocok untuk daerah terpencil yang belum ada listrik dengan memanfaatkan bahan baku kayu-kayuan setempat, di antaranya kaliandra, gamal, atau tongkol jagung yang bisa diproses sebagai bahan bakar pembangkit listrik,” kata Sutijastoto.
Biomassa merupakan bahan organik atau biologis yang berasal dari organisme dan makhluk hidup yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut menjadi sumber energi, serta bahan baku dalam industri.
Menurut Sutijastoto, pada daerah yang terpencil dibangun pembangkit listrik kapasitas besar menjadi tidak efisien karena juga membutuhkan anggaran besar untuk membangun jaringan transmisi.
“PLT Biomassa yang dikembangkan dalam skala kecil, tapi banyak jumlahnya dengan kapasitas antara 20-200 kilowatt (KW),” ujarnya.
Bahan bakar nabati
Selain PLT biomassa, ketahanan energi nasional juga dapat diperkuat dengan pengembangan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit mentah (CPO), yang sampai saat ini sudah dikembangkan bahan bakar B20. B20 yakni dalam setiap liter solar mengandung 20 persen biodiesel. Penggunaan campuran biofuel ke dalam setiap liter solar akan terus ditingkatkan ke B30 atau pun B100.
Pemerintah Indonesia menargetkan bioenergi yang diambil dari sumber biomassa pada tahun 2025 untuk bioenergi mencapai 5.500 Megawatt (MW), biomassa 8,4 juta ton, dan biogas 489,8 juta meter kubik.
“Ke depan juga bisa dikonversi PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) ke pembangkit listrik berbasis CPO. Pertamina saat ini juga sedang meriset untuk bensin nabati, dan biovtur berbasis CPO. Potensi dari kelapa sawit sangat besar,” ucapnya.
Menurut Sutijastoto, dari produksi CPO tahun 2018 sekitar 46 juta ton, di antaranya sekitar 7 juta ton diolah untuk pangan, dan sisanya diekspor. Dengan demikian kebutuhan bioenergi nasional berbasis CPO sekitar 9,3 juta ton tidak menganggu produksi untuk pangan karena pasokan sangat melimpah.
Sementara itu Tatang H Soerawidjaja menuturkan, dengan produksi CPO tahun 2018 sekitar 46 juta ton, dan minyak inti sawit mentah (CPKO) 3 juta ton itu ekuivalen 700.000 – 750.000 barel per hari bahan bakar minyak (BBM).
“Selain sawit, Indonesia juga masih mempunyai pohon berkayu penghasil produktif minyak lemak, seperti kelapa (Cocos nucifera), pongam atau bangkong (Pongamia pinnata), dan Nyamplung (Calophyllum inophyllum),” kata Tatang.
Lila Harsyah Bachtiar menyinggung, pemerintah akan memfasilitasi industri sawit yang akan mengembangkan bioenergi. “Tak hanya perlu disiapkan bahan baku penolong, melainkan faktor distribusi juga harus diperhatikan,” ujar Lila.