Yayasan BOS Berharap Orangutan Hasil Selundupan Direhabilitasi
Yayasan Borneo Orangutan Survival siap merehabilitasi bayi orangutan korban penyelundupan oleh seorang warga negara asing di Bali beberapa waktu lalu. Bayi orangutan berumur dua tahun tersebut terpisah dari induknya dan harus menjalani rehabilitasi sebelum dilepasliarkan di habitatnya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Yayasan Borneo Orangutan Survival atau BOS siap merehabilitasi bayi orangutan korban penyelundupan oleh seorang warga negara asing di Bali beberapa waktu lalu. Bayi orangutan berumur dua tahun tersebut terpisah dari induknya dan harus menjalani rehabilitasi sebelum dilepasliarkan di habitatnya.
Sebelumnya, Airport Security dan Polsek Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3) Bandara Ngurah Rai Bali, serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali menggagalkan upaya penyelundupan yang dilakukan ZA, warga negara Rusia, pada Jumat (22/3/2019). Bayi orangutan berumur dua tahun tersebut dmasukkan ke dalam koper bersama dengan tokek dan kadal.
Orangutan termasuk satwa dilindungi sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pelanggaran terkait penyelundupan satwa dilindungi itu diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta. Sementara tokek dan kadal tidak termasuk satwa dilindungi, tetapi pengirimannya dilengkapi dokumen dan melalui proses karantina hewan.
”Penggagalan pengiriman satwa dilindungi itu berkat kerja sama petugas Avsec (pengamanan penerbangan) dan petugas karantina di bandara,” kata Penanggung Jawab Wilayah Kerja Karantina Pertanian Bandara I Gusti Ngurah Rai, Dewa Nyoman Delanata, Sabtu (23/3) (Kompas, Minggu 24/3/2019).
Menumbuhkan sifat liar
Melihat hal itu, CEO Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Jamartin Sihite di Palangkaraya, Jumat (5/4/2019), mengungkapkan, bayi orangutan tersebut harus direhabilitasi untuk menumbuhkan sifat liarnya. Bayi orangutan yang terpisah dengan induknya akan kesulitan bertahan hidup di habitat aslinya.
Selain itu, persyaratan usia orangutan yang bisa dilepaskan di habitatnya minimal berumur tujuh tahun. Pasalnya, sejak lahir hingga tujuh tahun hidupnya banyak dihabiskan bersama induk. Namun, dalam kasus tersebut belum bisa diketahui induk orangutan tersebut.
”Kami di Yayasan BOS siap menerima orangutan yang disita di Bandara Ngurah Rai, Bali, dua pekan lalu, untuk dididik dan direhabilitasi sampai siap dilepasliarkan ke hutan,” kata Jamartin.
Meskipun demikian, sampai saat ini pihak BOS belum mengetahui spesies orangutan tersebut karena masih dilakukan uji DNA. Di Kalimantan terdapat tiga sub-spesies orangutan, yakni Pongo pygmaeus pygmaeus, Pongo pygmaeus wurmbii, dan Pongo pygmaeus morio.
Kami di Yayasan BOS siap menerima orangutan yang disita di Bandara Ngurah Rai, Bali, dua pekan lalu, untuk dididik dan direhabilitasi sampai siap dilepasliarkan ke hutan.
Selama ini, Yayasan BOS sudah menyelamatkan, merehabilitasi, dan melepasliarkan orangutan dari dua subspesies terakhir yang sebagian besar hidup di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
”Tentunya ketika hasil tes DNA-nya menyatakan orangutan itu adalah Pongo pygmaeus wurmbii atau Pongo pygmaeus morio, pasti kami tampung untuk rehab,” ujar Jamartin.
Di Indonesia, orangutan hanya ditemukan di dua wilayah pulau, yakni Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera. Di Sumatera masih banyak juga yayasan yang membantu konservasi orangutan selain lembaga pemerintah.
Sampai sekarang, orangutan tersebut masih di bawah pengawasan BKSDA Bali melalui arahan dari Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sampai nanti dilepasliarkan.
”Mari bersama-sama menjaga orangutan tetap berada di habitatnya karena orangutan menjaga kualitas hutan. Jadi, pelestarian di habitatnya membantu menjaga keberadaan berbagai satwa lain yang ada di dalamnya. Dengan hutan yang terjaga baik, kualitas hidup manusia pun otomatis terjaga dengan baik,” kata Jamartin.