Maharani Setyawan Membawa Lurik Menuju Dunia
Maharani Setyawan (36) awalnya menolak ketika diminta meneruskan usaha keluarga, Lurik Prasojo. Ia merasa kain bukan menjadi urusannya karena sehari-harinya ia lebih suka melakoni bisnis kuliner. Tetapi, kini Maharani membawa terbang Lurik Prasojo ke panggung mode dunia.
”Saya itu, kan, basic-nya usaha katering. Jadi beda banget kalau pegang tekstil. Dulu saya sampai nangis-nangis lho pegang ini ha-ha..,” ujar Maharani, yang biasa disapa Rani. Ia lalu tertawa mengenang masa lalu ketika diminta mertuanya, Wahyu Suseno (generasi kedua), mengelola usaha Lurik Prasojo.
Lurik prasojo dirintis oleh almarhum Sumo Hartono tahun 1950 di Desa Bendo, Kecamatan Pedan, Klaten, Jawa Tengah. Usaha ini kemudian dilanjutkan putranya, Wahyu Suseno. Rani mulai mengelola Lurik Prasojo tahun 2009. Suaminya, Hanggo Wahyu Amerto, putra sulung Wahyu Suseno, kebagian tugas mengelola PT Kusuma Nanda Putra, pabrik tekstil dengan karyawan 1.500 orang di Klaten.
”Waktu itu, bapak bilang gini, wis kowe pokoke ning kene sak-sakmu, sak senengmu arep mbok apakne. Sing penting ora ono (sudah kamu pokoknya di sini sesukamu akan kamu apakan. Yang penting tidak ada) dana lebih untuk macam-macam. Akhirnya, ya, jadi macam-macam ini... he-he..,” kenang Rani.
Rani memang akhirnya menerima tugas itu. Ia pun total menyelami dunia kain lurik. Tak disangka justru bakat terpendamnya muncul. Rani membuat kain Lurik Prasojo menjadi penuh warna-warni cerah dengan motif garis-garis merah muda, oranye, hijau muda, biru muda, ungu, kuning, dan lainnya. Ia ingin kain lurik lebih disukai anak-anak muda.
Rani bahkan berani mendobrak pakem lurik. Ia mendesain lurik dipadukan dengan batik tulis. Ia juga membuat lurik bordir, yaitu lurik yang dihiasai dengan bordir beragam motif bunga warna-warni. Belakangan ia juga berkreasi membuat kain lurik lukis tokoh-tokoh wayang.
Saya ingin lurik dipakai semua kalangan. Jadi, sekarang motif lurik ada yang warnanya cerah-cerah banget.
”Saya bikin lurik menyesuaikan pasar supaya orang lebih mengenal lurik. Saya ingin lurik dipakai semua kalangan. Jadi, sekarang motif lurik ada yang warnanya cerah-cerah banget. Permintaan lurik warna cerah ini pun tinggi, lho,” katanya.
Tak hanya itu, Rani juga merancang sendiri busana-busana berbahan lurik Prasojo. Tak terhitung lagi berapa banyak rancangannya yang telah diproduksi. Dalam membuat busana, Rani memanfaatkan kain perca sehingga tidak ada potongan kain lurik terbuang. Dengan teknik perca, satu desain busana bisa dibuat menjadi puluhan produk dengan variasi motif lurik berbeda-beda sehingga setiap busana terkesan eksklusif.
Rancangan Rani sering kali menjadi trend setter. Dari Pedan, kota kecamatan kecil di Klaten, Rani membawa terbang busana rancangannya hingga ke panggung mode dunia. Sepuluh busana lurik rancangannya diperagakan dalam ajang Indonesian Fashion Showcase, Fashion Scout, London Fashion Week 2019, 16 Februari lalu. Sebelumnya, Rani memamerkan 16 busana lurik rancangannya di Ottawa Fashion 2018. Rani yang belajar secara otodidak merancang busana.
”Saya masuk ke panggung catwalk itu ingin supaya orang lebih mengenal lurik. Saya, kan, enggak mungkin menunggu lurik Prasojo dilirik sama para desainer,” ujarnya.
Di ajang London Fashion Week itu, karya Rani memesona publik setempat. Ia langsung mendapatkan pemesan. Meski demikian, Rani mengaku sebenarnya tidak membidik ekspor produk busana. ”Saya diminta kirim baju ke London. Padahal, saya ikut itu untuk branding kainnya. Ternyata orang lebih tertarik ke bajunya,” katanya di Klaten, Sabtu (30/3/2019).
Kain perca
Sejak mengelola lurik Prasojo, Rani terus berkreasi. Ia membuat lurik patchwork, yaitu menggabungkan potongan kain perca lurik menjadi lembaran kain baru. Potongan-potongan perca yang digunakan itu berbentuk kotak dan persegi empat berukuran kecil-kecil.
Ketekunan menjahit perca menjadikan harga lurik patcwork relatif mahal, yaitu Rp 6,5 juta untuk ukuran 200 cm x 110 cm. Kain semahal itu pun ada yang membelinya. ”Kalau desainer, ini biasanya cuma di-ambilin untuk variasi aja pada bagian tertentu baju. Jadi enggak dibikin full untuk baju. Ini saya pakai untuk bikin tas, jadi kelihatan lebih mahal,” katanya.
Saat dirintis Sumo Hartono, Lurik Prasojo diproduksi dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Pada 1968 modernisasi dilakukan. ATBM diganti dengan alat tenun mesin. Selain kain lurik, juga diproduksi selimut dan serbet. Hingga generasi kedua, Lurik Prasojo hanya menjual kain lurik, selimut, dan serbet. Usaha ini pun tak lepas dari pasang surut terpengaruh tren pemakaian lurik. Di tangan Rani, Lurik Prasojo dikembangkan dengan memproduksi busana dan aneka aksesori dari lurik.
Showroom Lurik Prasojo yang menyatu dengan pabrik di Pedan dipenuhi berbagai kain lurik garis, lurik gerimis, dan busana lurik rancangan Rani, seperti blouse, rok, celana. Ada juga tas, sandal, kipas, sarung bantal, topi, dan aksesori seperti kalung. Harganya sangat beragam mulai dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah.
Saat ini produksi Lurik Prasojo mencapai 2.200 meter per hari. Tak hanya memproduksi sendiri, Lurik Prasojo juga memberdayakan para penenun lurik ATBM di Klaten.
Mereka itu bisa membuat lurik, tetapi umumnya enggak tahu pangsa pasar. Kadang kainnya juga titip jual saja ke toko-toko, padahal kalau kainnya laku, baru dibayar.
”Mereka itu bisa membuat lurik, tetapi umumnya enggak tahu pangsa pasar. Kadang kainnya juga titip jual saja ke toko-toko, padahal kalau kainnya laku, baru dibayar,” katanya.
Lurik Prasojo juga merangkul para pembatik tulis di Klaten, Sukoharjo, dan Solo hingga Jepara, Jawa Tengah, untuk membuat lurik batik. Mereka membatik menggunakan canting di atas lembaran-lembaran kain Lurik Prasojo. ”Kami yang membuat motifnya, mereka yang membatik. Jadi, saya kirim lurik ke para pembatik, ada 100-an orang pembatik,” katanya.
Rani juga memberdayakan para penjahit rumahan di Pedan untuk menggarap baju-baju rancangan Rani. Dengan menggarap baju Lurik Prasojo, penjahit mendapatkan lebih banyak order dengan tarif jasa sama dengan pelanggan perorangan.
Lurik Prasojo dipasarkan ke banyak daerah, seperti Solo, Yogyakarta, Bandung, Semarang, dan Jakarta. Selama ini, Rani hanya mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut. Belakangan setelah mengenal Instagram, ia aktif mengunggah produk Lirik Prasojo di akun Instagram-nya. Jumlah follower-nya kini lebih dari 36.000.
Untuk memamerkan busana lurik buatanya di akun IG, Rani tidak menyewa fotografer dan model. Ia sendiri yang mengenakan busana rancangannya, kemudian stafnya memotret menggunakan telepon pintar di depan pabrik.
Hampir semua hal menyangkut Lurik Prasojo, Rani turun tangan sendiri langsung, mulai dari mendesain, mengurusi karyawan, hingga menjadi foto model busana Lurik Prasojo yang diunggah di IG-nya. ”Manajemennya itu manajemen tukang cukur, apa-apa sendiri... ha-ha..,” katanya.
Meski mulai mendunia, Rani tak berencana memperluas pabrik untuk menambah produksi. Ia ingin fokus menjaga kualitas produk dan terus melahirkan kreasi-kreasi baru.
”Kalau kita produknya enggak bagus, enggak mungkin orang akan balik ke sini lagi. Saya ngrumangsani (tahu diri), saya dari desa sehingga inovasinya harus sering, harus lebih kreatif, tho,” katanya.
Pernah saya ke Hong Kong memakai lurik, eh baju lurik yang saya pakai itu malah mau dibeli orang.
Rani tak hanya memproduksi lurik, ia mencintai lurik. Ke mana pun dia pergi selalu mengenakan busana lurik, termasuk ketika bepergian ke luar negeri. ”Pernah saya ke Hong Kong memakai lurik, eh baju lurik yang saya pakai itu malah mau dibeli orang he-he,” ujarnya.
Keputusan Wahyu Suseno menunjuk menantunya untuk meneruskan usaha Lurik Prasojo memang tepat. Lurik Prasojo tak hanya mampu bertahan tiga generasi, tetapi kini juga telah terbang tinggi dari Pedan ke panggung mode dunia.
Maharani Setyawan
Lahir: Wonogiri, 29 Juli 1982
Suami: Hanggo Wahyu Amerto
Putra: Mahayogi Wahyu D (12)
Pendidikan:
- SD Kanisius, Wonogiri
- SMPN 1 Wonogiri
- SMAN 2 Wonogiri
- Jurusan Akutansi STIE YKPN Yogyakarta lulus 2004