Kasus Kolera Kembali Merebak, Sedikitnya 3.000 Orang Tewas sejak 2016
SANA’A, JUMAT — Kasus kolera kembali merebak di Yaman. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, pada Maret 2019 jumlah terduga kolera telah naik dua kali lipat dibandingkan bulan sebelumnya. Para dokter di fasilitas kesehatan khawatir, peningkatan kasus kolera ini menjadi wabah yang parah seperti tahun 2017.
Naiknya kembali kasus kolera ini kian membuktikan ketidakmampuan Yaman yang sedang mengalami perang saudara selama empat tahun terakhir dalam menghentikan penyebaran penyakit ini.
Di Rumah Sakit (RS) al-Sabeen di ibu kota Sana’a, tempat tidur penuh oleh pasien kolera. Sebagian pasien tidur di tenda di halaman rumah sakit. Beberapa pasien bahkan menunggu dilayani sambil berbaring beralaskan kardus di bawah pohon.
”Kami menerima kasus setiap saat. Terkadang tiga sampai empat kasus dalam satu menit,” kata Ismail al-Mansouri, dokter di RS al-Sabeen. ”Rumah sakit mengalami beban berat karena menerima pasien dari seluruh pelosok negeri.”
Tak hanya masyarakat umum, dokter pun ikut terinfeksi. Mansouri dan sejumlah tenaga medis lain juga terkena kolera. Pada 28 Maret 2018, salah satu di antara tenaga kesehatan yang terkena kolera, seorang dokter anak bernama Mohammed Abdul-Mughni, meninggal karena kolera setelah merawat pasien kolera anak.
Di antara pasien yang meninggal, terdapat dua ibu hamil yang meninggal bersama janin yang dikandungnya.
Menurut Mansouri, tenaga kesehatan yang menangani pasien kolera tidak mendapat vaksinasi sehingga mereka tidak memiliki perlindungan saat merawat pasien kolera. Pengendalian infeksi di fasilitas kesehatan hampir tidak terjadi karena kurangnya sumber daya.
Di Yaman, hampir semua orang belum diberi vaksin kolera. Pejabat PBB menyebutkan, PBB sulit membawa vaksin karena sulitnya menembus situasi perang. Sejauh ini, vaksinasi baru terlaksana di beberapa distrik pada tahun 2018 dengan cakupan 400.000 orang.
Baca juga:
- Perang Membuat Warga Yaman Kian Menderita
- Tak Ada yang Peduli kepada Yaman
- ”Perang yang Terlupakan” di Yaman
Tenda darurat
Orangtua dengan anak terinfeksi kolera berjuang agar anaknya mendapat perawatan. Di RS al-Sabeen, seorang warga bernama Mohammed Hadi mengatakan, dirinya membawa anak perempuannya yang berusia 3 tahun, Naama, dari rumah mereka di timur kota Radda dengan harapan agar anaknya bisa dirawat. Namun, ternyata fasilitas kesehatan swasta terlalu mahal.
Akhirnya Hadi mendirikan tenda di luar RS al-Sabeen, mengantre untuk mendapatkan pelayanan gratis. Setelah dirawat, Naama digabung dengan 19 pasien lain di dalam satu ruang perawatan.
Sejak tahun 2016, telah terjadi dua kali wabah kolera di Yaman dengan jumlah terduga lebih dari 1,4 juta orang, dengan sedikitnya 3.000 orang meninggal. Mayoritas pasien yang meninggal terjadi saat wabah terbesar melanda negara itu tahun 2017.
Pada minggu pertama tahun 2017, terdapat 10.000 kasus, lalu meningkat menjadi 20.000 kasus dalam seminggu. Kemudian, meroket menjadi 50.000 kasus seminggu pada puncaknya dan menginfeksi lebih dari 1 juta orang sebelum pertengahan 2018.
Penyebaran penyakit melambat pada akhir 2018, tetapi tidak pernah berhenti. Kini, musim hujan yang mulai lebih awal berperan dalam meningkatkan kasus kolera.
Sejak tahun 2016, telah terjadi dua kali wabah kolera di Yaman dengan jumlah terduga lebih dari 1,4 juta orang, dengan sedikitnya 3.000 orang meninggal.
Terdapat 76.152 kasus terduga baru dan 195 kematian pada Maret 2019. Sebagai perbandingan, pada Februari 2019 terdapat 32.000 kasus dan pada Januari 2019 ada 39.000 kasus. Diperkirakan jumlah korban meninggal tahun ini hampir 300 orang.
”Wabah tahun ini lebih parah dan situasinya sangat berbahaya,” kata Adel al-Alamni, Kepala Pusat Penanggulangan Kolera di RS al-Sabeen. Mayoritas pasien kolera yang masuk rumah sakit berusia di bawah 10 tahun.
Masalah air bersih
Kolera terutama menyebar melalui air dan makanan yang terkontaminasi kotoran/feses. Pada umumnya, kasus kolera dapat diobati jika bisa terdiagnosis sejak dini. Akan tetapi, jika terlambat ditangani, kolera bisa menyebabkan kematian dengan membuat penderita mengalami dehidrasi melalui muntah dan diare.
Menyebarnya kolera di Yaman tidak bisa dilepaskan dari perang saudara yang berkecamuk di negara itu. Perang terjadi antara kelompok Houthi yang menguasai bagian utara dan pasukan loyalis pemerintahan Abdurabbuh Mansour Hadi yang didukung koalisi pimpinan Arab Saudi berbasis di selatan.
Pertempuran dan serangan udara telah menghancurkan sistem pembuangan limbah dan sumber air bersih. Akibatnya, mayoritas warga tidak memiliki akses terhadap air bersih.
Lebih dari 3 juta penduduk harus mengungsi karena perang. Fasilitas pengolahan air bersih yang berada di luar kota Sana’a telah hancur. Air limbah sering kali dipakai untuk mengairi lahan irigasi sehingga berpotensi menyebarkan penyakit pada sumber pangan. Air limbah itu juga bocor dan merembes ke sumur-sumur warga dan sumber air bersih.
Pertempuran dan serangan udara telah menghancurkan sistem pembuangan limbah dan sumber air bersih.
Pelayanan kesehatan dan layanan pembuangan sampah juga terganggu karena 1 juta pegawai pemerintah tidak digaji sejak bank sentral pindah dari Sana’a yang dikuasai Houthi ke kota Aden di bagian selatan pada 2016.
Selain itu, hampir separuh fasilitas kesehatan juga tidak berfungsi, yang sebagian besar hancur akibat serangan udara.
Wabah kolera di Yaman kian memperburuk keadaan yang sudah ada. Hampir dua pertiga warga Yaman memerlukan bantuan, dan kemungkinan 10.000 orang telah meninggal karena malnutrisi dan penyakit yang sebenarnya bisa dicegah.
1.000 anak per hari
Peningkatan kasus kolera terjadi di distrik-distrik dekat Sana’a dan daerah lain di bagian utara. Minggu lalu, lembaga bantuan internasional Doctors Without Borders dan Save The Children memperingatkan munculnya ”peningkatan kasus yang perlu diawasi” ketika ada 1.000 anak terinfeksi kolera setiap hari.
Para aktivis kemanusiaan telah melancarkan kampanye di media sosial, memperingatkan warga untuk tidak memakan makanan yang tidak dimasak. Pesan berantai disampaikan melalui grup Whatsapp yang isinya seruan membersihkan penampungan air, terutama yang berada dekat pembuangan limbah.
Sementara PBB meminta bantuan senilai 4,2 miliar dollar AS untuk misi kemanusiaan di Yaman tahun ini. Salah satu prioritas utama adalah mengendalikan kolera. Untuk itu, di banyak tempat telah dibangun Pusat Pengobatan Diare dan Rehidrasi.
Namun, menurut salah seorang pejabat kesehatan senior yang tak mau diungkap identitasnya, di beberapa lokasi, terutama yang memiliki populasi padat, seperti kota Taiz, sejumlah pusat pengobatan tidak beroperasi karena bantuan yang datang terlambat.
Salah seorang dokter di RS al-Thawra, Jamal Abdel-Moghni, menyebutkan, pusat pengobatan itu tidak dilengkapi dengan fasilitas untuk mengobati kegagalan ginjal akibat kolera sehingga pasien kolera yang dirawat di situ masih berisiko besar meninggal.
”Orang yang datang ke rumah sakit kami dengan komplikasi kolera tidak bisa dibayangkan jumlahnya,” kata Abdel-Moghni. ”Setiap hari ada saja yang meninggal. Sangat jarang dalam sehari tidak ada pasien yang meninggal.” (AP)