Penyair Joko Pinurbo bercerita, dirinya pernah frustrasi sampai-sampai ingin berhenti saja sebagai penyair. Padahal, saat itu puisinya sudah dimuat di berbagai media, tetapi ia merasa belum menemukan gaya sebagai penyair. Pada 1990-an, ia melakukan riset kecil-kecilan tentang sesuatu yang belum ditulis penyair Indonesia.
”Ternyata, tak ada yang menulis tentang celana atau sarung, ya sudah, saya nulis itu saja,” kata penyair bersapaan Jokpin itu dalam diskusi sastra Puisi yang Terlibat, di Bentara Budaya Yogyakarta, Minggu (31/3/2019).
Semula, Jokpin tidak yakin puisi tentang celana itu akan dimuat, tetapi rupanya dimuat di sebuah jurnal. Belakangan, puisi-puisi itu menjadi buku kumpulan puisi.
”Setelah dimuat, saya seperti bangkit dari mati, dan kesetanan menulis dengan gaya seperti itu,” ujar Jokpin dalam diskusi yang juga menampilkan Sindhunata, penyair Cyntha Hariadi, dan dipandu pegiat sastra Bandung Mawardi itu.
Jokpin ditanya, apakah ada ritual khusus saat menulis puisi. Bagi Jokpin, menulis puisi itu merupakan kegiatan sehari-hari seperti halnya aktivitas lain. Memang, katanya, pernah ada mitos penyair itu jarang mandi dan harus menderita.
”Kalau mau menderita, ya, menderita saja, tidak usah menjadi penyair,” canda Jokpin.