JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memperluas jenis jasa penerima insentif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0 persen. Kebijakan itu untuk mengoptimalkan potensi besar ekspor jasa yang selama ini terkendala oleh pengenaan pajak berganda di dalam negeri dan negara tujuan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama saat dihubungi, Kamis (4/4/2019) di Jakarta, mengatakan, perluasan jenis ekspor jasa diatur di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 tahun 2019 yang berlaku sejak 29 Maret 2019. Dengan aturan baru ini, kini ada sepuluh jenis jasa yang akan diberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0 persen.
Kesepuluh jenis jasa tersebut adalah jasa maklun, perbaikan dan perawatan, pengurusan transportasi barang untuk tujuan ekspor, konsultasi konstruksi, teknologi dan informasi, penelitian dan pengembangan, penyewaan alat angkut pesawat udara atau kapal laut rute internasional, perdagangan jasa, interkoneksi, dan beberapa jasa konsultasi lain.
Jasa konsultasi itu seperti konsultasi bisnis dan manajemen, hukum, desain arsitektur dan interior, sumber daya manusia, keinsinyuran, pemasaran, akuntansi atau pembukuan, audit laporan keuangan, dan perpajakan.
”Jenis-jenis jasa tersebut memang secara karakteristiknya memenuhi batasan ekspor jasa sesuai UU PPN. Artinya, jasa itu dilakukan di Indonesia dan dimanfaatkan di luar Indonesia,” kata Hestu.
PMK No 32/2019 menggantikan PMK No 70/2010 tentang ekspor jasa kena pajak. Dalam PMK lama, pemerintah hanya membatasi tiga jenis jasa yang diberikan insentif PPN 0 persen, yaitu jasa maklun, perbaikan dan perawatan, dan konstruksi.
Hestu melanjutkan, pemerintah sudah membahas dan menyerap aspirasi dari berbagai pihak terkait jenis jasa yang akan diakomodasi untuk ekspor unggulan. Jenis jasa konsultasi, interkoneksi, serta teknologi dan informasi, misalnya, dipilih untuk mendorong Indonesia berkompetisi secara global.
Adapun jenis jasa pengurusan transportasi dan penyewaan alat angkut dari pelaku usaha dalam negeri sudah sering dimanfaatkan penerima jasa dari luar negeri sehingga wajar jika diberikan insentif.
”Kami akan melakukan pengawasan agar tarif PPN 0 persen itu tepat sasaran atau tidak terjadi distorsi,” kata Hestu.
Untuk mendapat insentif PPN, ujarnya, ekspor jasa harus memenuhi dua persyaratan formal, yaitu ada perjanjian tertulis dan bukti pembayaran yang sah dari penerima ekspor kepada pengusaha kena pajak yang melakukan ekspor. Perjanjian tertulis harus mencantumkan secara jelas jenis jasa, rincian kegiatan ekspor, dan nilai penyerahan jasa.
”Jika dua persyaratan formal itu tidak terpenuhi, penyerahan jasa dianggap terjadi di dalam wilayah Indonesia sehingga dikenai PPN dengan tarif 10 persen,” katanya.
Ekspor tumbuh
Mengutip data Bank Indonesia, ekspor jasa meningkat dalam kurun tiga tahun terakhir dari 23,32 miliar dollar AS tahun 2016 menjadi 25,32 miliar dollar AS tahun 2017 dan 27,92 miliar dollar AS tahun 2018. Sementara pada 2010, ekspor jasa hanya sekitar 16 miliar dollar AS.
Neraca perdagangan jasa juga membaik meskipun masih defisit sebesar 7,1 miliar dollar AS pada 2018. Pada 2017, neraca perdagangan jasa defisit 7,4 miliar dollar AS.
Analis kebijakan dari Indonesia Services Dialogue, M Syarif Hidayatullah, berpendapat, pertumbuhan ekspor jasa ditopang tren perbaikan ekonomi global dan peningkatan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Ada dua sektor penyumbang ekspor jasa terbesar, yaitu jasa perjalanan dan jasa bisnis.
”Penerapan PPN sebesar 0 persen untuk ekspor jasa akan memberikan dampak luas terhadap perekonomian Indonesia,” kata Syarif.
Syarif optimistis insentif pajak ekspor jasa mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing tenaga kerja, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Dengan kata lain, produktivitas dalam negeri akan meningkat sehingga mendorong penerimaan pajak dalam jangka panjang.
Berdasarkan data Bank Dunia, sektor jasa pada 2017 berkontribusi 43,6 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia atau senilai Rp 5.924,7 triliun. Kontribusi sektor jasa merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sektor manufaktur (21 persen) dan pertanian (13 persen).
Di sisi lain, lanjut Syarif, penerapan PPN sebesar 0 persen akan meningkatkan potensi Indonesia menjadi hub jasa regional dari berbagai perusahaan multinasional. Insentif pajak itu juga akan memperkuat posisi Indonesia untuk ”naik kelas” dalam konteks rantai pasok global. Investasi baru di sektor jasa akan tertarik masuk ke dalam negeri.