Bank dan Tekfin Saling Bersinergi Biayai Usaha Mikro
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank konvensional menganggap ruang pangsa pasar kredit usaha mikro, kecil, dan menengah masih sangat luas. Hal ini membuat perbankan tidak merisaukan potensi saling rebut pangsa pasar penyaluran kredit dengan penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi.
Direktur Bisnis Kecil dan Jaringan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Hery Gunardi, di Jakarta, Kamis (4/4/2019), menuturkan, target segmentasi kredit mikro dari perbankan juga memiliki karakteristik berbeda dengan segmentasi industri layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi atau biasa dikenal peer-to-peer lending.
Hery mengakui, segmen pelaku usaha skala mikro cenderung lebih sulit mendapat akses permodalan dari perbankan ketimbang perusahaan teknologi finansial (tekfin). Kesulitan tersebut biasanya disebabkan faktor administrasi.
Meskipun sesak dengan aturan administrasi, bank konvensional dapat memberikan bunga rendah kepada calon debitor mereka. Hal ini, menurut Hery, berbanding terbalik dengan perusahaan tekfin.
”Dari sisi kapabilitas manajemen risiko, bank konvensional juga lebih mumpuni dibandingkan dengan tekfin. Namun, dari sisi kelincahan dan inovasi, bank konvensional banyak belajar dari tekfin,” ujar Hery.
Merujuk pada laporan kinerja Bank Mandiri, penyaluran kredit usaha mikro secara konsolidasi mengalami penurunan sebesar 7,7 persen, dari Rp 61,6 triliun pada 2017 menjadi Rp 56,8 triliun pada 2018.
Bank Mandiri pun mulai menggandeng perusahaan e-dagang dalam penyaluran kredit untuk segmentasi usaha mikro secara daring. Saat ini, Bank Mandiri telah melakukan uji coba penyaluran kredit daring melalui kerja sama dengan platform e-dagang Bukalapak.
Hery mengatakan, kerja sama antara Bank Mandiri dan Bukalapak menghadirkan fitur Modalku, yang berpotensi dimanfaatkan oleh 300.000 usaha mikro kecil menengah yang terdaftar di Bukalapak.
Untuk meningkatkan penetrasi penyaluran kredit, Bank Mandiri lewat anak usaha Mandiri Capital melakukan investasi kepada perusahaan-perusahaan tekfin peer-to-peer lending, seperti Amartha dan KoinWorks.
Sinergi antara lembaga keuangan konvensional dan tekfin diharapkan akan memperkuat pendanaan dan mendorong ekspansi usaha mikro sehingga dapat berdampak baik pada pertumbuhan ekonomi nasional.
”Kita percaya, ada sebagian kecil yang memang kita harus berkompetisi, tetapi sebagian besar lainnya masih banyak yang dapat kita sinergikan dengan perusahaan-perusahaan tekfin,” katanya.
Dari sisi kapabilitas manajemen risiko, bank konvensional juga lebih mumpuni dibandingkan dengan tekfin. Namun, dari sisi kelincahan dan inovasi, bank konvensional banyak belajar dari tekfin.
Sementara itu, Direktur Teknologi Informasi dan Operasi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Indra Utoyo menilai, perbankan dan tekfin masih punya ruang untuk meningkatkan kerja sama dan kolaborasi. Dia mengakui tekfin punya kelebihan, yakni daya inovatif tinggi dengan orientasi pada pelanggan, yang dapat dimanfaatkan bank konvensional.
”Ke depan, produk pinjaman daring bisa memberikan stimulus positif terhadap portofolio kredit konsumer dan mikro BRI beserta anak usaha. Dalam jangka panjang juga bisa mendongkrak jumlah nasabah,” katanya.
BRI pun melakukan inovasi penyaluran kredit tanpa agunan secara daring yang mengadaptasi model bisnis perusahaan tekfin. Lewat anak usaha BRI Agro, BRI meluncurkan aplikasi ”Pinang” untuk menjangkau kebutuhan nasabah yang belum terjangkau.
Pinang yang diluncurkan pada akhir Februari lalu memiliki plafon setara dengan layanan peer-to-peer lending milik perusahaan tekfin, mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 20 juta dengan tenor 1-12 bulan. Adapun suku bunga yang dipatok sebesar 1,24 persen per bulan.