Aljazair Masuki Fase Sulit Pasca-Bouteflika
KAIRO, KOMPAS —Musim Semi Arab akhirnya menerpa Aljazair. Presiden Abdelaziz Bouteflika, Selasa (2/4/2019) malam, mengumumkan pengunduran diri setelah 20 tahun menjabat presiden. Namun, kini Aljazair dihadapkan pada situasi penuh ketidakpastian karena tak hanya mundurnya Bouteflika yang dituntut pengunjuk rasa, tetapi juga reformasi politik total di negara itu.
Musim Semi Arab menunjuk gerakan massa yang menjatuhkan rezim diktator di beberapa negara Arab, dimulai dari Tunisia pada akhir 2010, kemudian menjalar ke Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.
Rakyat Aljazair di ibu kota Algiers dan kota-kota lain, Rabu (3/4/2019), turun ke jalan merayakan pengunduran diri Bouteflika (82). Mereka meneriakkan slogan berisi tekad untuk terus berjuang meruntuhkan kroni Bouteflika yang masih bercokol dalam pemerintahan.
Pengunjuk rasa berjanji menggelar demonstrasi lagi, Jumat besok, menuntut pemerintahan yang dibentuk Bouteflika juga mundur. Berdasarkan konstitusi, ketika presiden meninggal atau mundur, Ketua Majelis Tinggi Parlemen, yang dijabat Abdelkader Bensalah, memimpin pemerintahan sementara 90 hari dan mempersiapkan pemilu presiden.
Seperti Bouteflika, Bensalah —bekas wartawan dan mantan duta besar—juga lama menduduki jabatannya, yakni 17 tahun. Ia menempati beberapa posisi politik senior 25 tahun terakhir. Yang tak disukai demonstran, Bensalah adalah bagian dari elite politik sekarang.
”Kami tidak menerima pemerintah transisi,” kata Mustapha Bouchachi, tokoh pengunjuk rasa, beberapa saat sebelum Bouteflika mundur. ”Protes damai akan terus berlanjut.”
Di sisi lain, politisi Aljazair memuji militer yang turut membantu menumbangkan Bouteflika. Sekjen Partai Front Pembangunan dan Keadilan (MAJD) Ahmed Jaballah, seperti dilansir televisi Al Jazeera, meminta segera dibuat mekanisme masa transisi untuk membentuk dewan kepresidenan yang didukung militer. Ia menyebut, dewan itu bertugas menggelar pemilu mendatang.
Seorang tokoh Front Pembebasan Nasional (FLN) yang berkuasa, Ali Benflis, kepada Al Jazeera, mengatakan, rakyat dan militer adalah pihak yang memaksa Bouteflika mundur. Benflis menyerukan agar militer ikut memimpin gerakan reformasi total di Aljazair setelah era Bouteflika.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Letnan Jenderal Ahmed Gaid Salah berperan penting memicu mundurnya Bouteflika. Pada Selasa lalu, dalam rapat pimpinan militer, ia kembali menyerukan segera dilaksanakan Konstitusi Nomor 102, yakni presiden mengundurkan diri karena kesehatan.
Gaid Salah mengecam kroni presiden yang disebutnya sebagai sindikat. Menurut dia, sindikat ini menumpuk kekayaan secara cepat dan berusaha melarikannya ke luar negeri.
Sekjen Partai Gerakan Masyarakat untuk Perdamaian (MSP) yang beraliran Islamis, Abderrazak Makri, mengatakan bahwa yang penting sekarang Aljazair sudah masuk era pasca-Bouteflika. Selanjutnya, rakyat harus bersatu melanjutkan perjuangan menumbangkan sistem politik diktator di Aljazair.
Di luar skenario
Pengunduran diri Bouteflika pada Selasa malam sesungguhnya di luar skenario yang diprediksi. Skenario yang berkembang adalah Bouteflika menyelesaikan masa jabatan presiden sampai hari terakhir, 28 April ini. Setelah itu, jabatan presiden diumumkan kosong, dan penjabat presiden akan dipegang ketua parlemen selama 90 hari, yang mempersiapkan pemilu.
Namun, Bouteflika secara mengejutkan memilih mundur. Langkah Bouteflika mempercepat pengunduran diri tak lepas dari pertarungan sengit antara militer dan kroni presiden.
Baca juga: Bouteflika Mengundurkan Diri, Bensalah Jalankan Roda Pemerintahan
Gaid Salah sangat marah setelah dewan konstitusi tidak kunjung menggelar sidang untuk memutuskan kondisi Bouteflika yang tak mampu lagi menjalankan tugas presiden. Ia pun menuduh kroni presiden berusaha menghambat pelaksanaan Konstitusi Nomor 102.
Ketua Dewan Konstitusi adalah Tayeb Belaiz, loyalis Bouteflika.
Kemarahan Gaid Salah mencapai puncaknya setelah mengetahui bahwa Said Bouteflika—adik kandung Abdelaziz Bouteflika—melakukan manuver untuk menggusur Gaid Salah dari jabatan Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
Said Bouteflika ditengarai berkomunikasi dengan mantan Kepala Intelijen Jenderal Mohamed Madiene untuk membangun koalisi menggagalkan opsi solusi politik sesuai dengan Konstitusi Nomor 102, seperti keinginan militer.
Hubungan Madiene dan Gaid Salah memburuk setelah Madiene dipecat dari jabatan sebagai kepala intelijen oleh Presiden Bouteflika pada tahun 2015. Madiene saat itu menuduh Gaid Salah berperan di balik keputusan Bouteflika memecatnya dari jabatan kepala intelijen.
Di Aljazair, dikenal ada tiga pilar kekuatan, yaitu presiden, militer dan intelijen. Jika dua dari tiga itu berkoalisi, pilar ketiga akan tumbang. Pada tahun 2015, militer dan presiden berkoalisi untuk menjatuhkan Jenderal Madiene.
Beberapa hari terakhir ini, tiba-tiba Said Bouteflika mencoba berkoalisi dengan Jenderal Madiene untuk menjatuhkan Gaid Salah. Bahkan sempat beredar berita bahwa Presiden Bouteflika memecat Gaid Salah. Namun kementerian pertahanan Aljazair segera membantah berita pemecatan Gaid Salah itu.
Melihat manuver duet Madiene-Said Bouteflika, Gaid Salah melarang semua kroni presiden pergi ke luar negeri. Militer juga melarang 11 pesawat pribadi yang dimiliki para pengusaha loyalis Bouteflika terbang dari Bandara Houari Boumediene di Algiers. Pengusaha loyalis Bouteflika, Ali Haddad, ditangkap di dekat perbatasan Aljazair-Tunisia, Minggu silam, saat mencoba lari ke Tunisia.
(AP/REUTERS/ADH)
------
Artikel ini telah diperbarui dari tulisan yang terbit dalam edisi cetak pada Kamis (4/4/2019) pukul 12.15 WIB, dengan menambahkan detail peristiwa seputar pengunduran diri Presiden Abdelaziz Bouteflika dan mengoreksi jabatan Abdelkader Bensalah sebagai Ketua Majelis Tinggi, bukan Ketua Majelis Rendah, sebagaimana ditulis sebelumnya. - Redaksi