Melawan Rayuan dari Hutan dan Seberang Lautan
Aceh menghadapi tantangan pemberantasan narkotika jenis ganja dan sabu yang kian marak.
Sejak puluhan tahun lalu, Aceh dikenal sebagai daerah penghasil ganja. Namun, belakangan Aceh juga disebut "jalur sutra" penyelundupan sabu dari negeri seberang. Tantangan pemberantasan kedua jenis narkotika itu pun menjadi berlipat ganda.
Setelah berjalan satu jam, tim gabungan aparat tiba di ladang ganja di Desa Cot Sibatee, Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh Besar. Akses ke lokasi itu harus melalui jalan setapak dan menyeberangi beberapa anak sungai. Lokasi di tengah hutan terpencil itu sengaja dipilih pelaku agar tidak mudah diendus petugas.
Ada dua lahan yang didatangi pada Kamis (14/3/2019) sore itu dengan total luas sekitar 3 hektar. Batang ganja terlihat subur. Daunnya hijau dan mulai berbunga. Sudah saatnya panen. Beruntung, sebelum itu terjadi, keberadaan lahan terungkap oleh aparat dan dimusnahkan. Proses pemusnahan diliput 30 wartawan media lokal, nasional, dan internasional.
Bupati Aceh Besar Mawardi Ali dan Kepala Polres Aceh Besar Ajun Komisaris Besar Ayi Satria Yuddha terlihat turut mencabuti batang-batang ganja itu. Batang-batang ganja itu kemudian dibakar. Aroma ganja menguar ke udara. Pemilik lahan ganja tidak ditemukan. Polisi mengatakan sedang diselidiki siapa pemiliknya.
Di Aceh Besar, penemuan ladang ganja sudah jadi kasus biasa. Dalam sepekan di bulan Maret saja, polisi telah memusnahkan 17 hektar lahan ganja. Polisi memperkirakan jumlahnya mencapai 60.000 batang. Satu kilogram ganja bisa diperoleh dari 4-5 batang tanaman. Artinya, 60.000 batang dapat menghasilkan paling tidak 12.000 kilogram atau 12 ton ganja!
Pemerintah dan aparat penegak hukum pun kewalahan menghentikan penanaman ganja. Aparat jarang bisa menangkap penanam atau pemilik lahan. Memang tidak mudah memergoki penanam di lahan ganja karena mereka jarang mengontrol lahan.
Para pelaku melakukan "pengawasan" ladang dengan cara menanam satu batang di rumah bersamaan dengan yang ditanami di ladang. Dengan cara itu, pemilik dapat mengetahui pertumbuhan ganja tanpa harus ke ladang. Pemilik hanya kembali ke ladang saat masa panen tiba.
Mawardi mengatakan, lahan di Aceh Besar, terutama di kaki Pegunungan Seulawah, sangat subur. Apa pun ditanami tumbuh. “Mengapa tidak ditanami cabai saja. Pemerintah siap membantu bibit dan peralatan kerja, yang penting jangan ganja,” kata Mawardi saat itu.
Pemkab Aceh Besar belum mampu menghentikan penanaman ganja di wilayahnya. Lanskap Seulawah (Lamteuba, Seulimum, Montasik) adalah kawasan yang paling sering ditemukan ladang ganja. Bahkan, mantan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 2016 pernah memusnahkan 189 hektar lahan ganja di Aceh Besar.
Sejak tahun 1980-an Kompas rutin menulis berita penemuan ladang ganja di Aceh Besar dan Aceh Tenggara. Salah satu berita pada 3 Oktober 1982 berjudul “Lima Hektar Tanaman Ganja Dibakar”. Ladang ganja itu terletak di Blangkejeren, Aceh Tenggara, masuk dalam lanskap Leuser.
Kala itu disebutkan, harga ganja kering di pasar lokal Aceh Tenggara Rp 15.000 per kilogram. Sedangkan di kota-kota lain lebih mahal, yakni Rp 65.000 per kg di Medan, Rp 100.000 per kg di Jakarta, dan Rp 250.000 per kg di Bali.
Ganja Aceh banyak mengandung tetrahydrocannabinol (THC), zat yang disalahgunakan untuk menimbulkan efek mabuk saat dikonsumsi. Inilah yang membuat ganja dari Aceh, yang dikenal dengan sebutan "dosis aceh", termasuk paling dicari di pasaran narkoba. Namun, bagi sebagian warga, ganja dipakai untuk bumbu masak.
Pada masa konflik, tidak sedikit orang menanam ganja untuk membeli senjata. Ganja diselundupkan ke luar negeri melalui jalur laut, kemudian mereka membawa pulang pucuk-pucuk senjata.
Pada 2016, Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, TNI Angkatan Darat, dan pemerintah daerah meluncurkan program Grand Design Alternative Development (GDAD). Program itu berupaya mengalihkan ladang ganja menjadi lahan pertanian dan agrowisata. Namun, program itu belum berdampak maksimal.
Selat Malaka
Setelah konflik berakhir, jalur penyelundupan itu masih digunakan. Namun, kini barang yang diselundupkan adalah sabu dan ekstasi. Perairan Selat Malaka di bagian timur Aceh, dari pesisir Lhokseumawe hingga Aceh Tamiang, menghubungkan langsung dengan daratan Semenanjung Malaysia. Perairan itu juga menjadi jalur penyelundupan narkoba.
Direktur Reserse Narkoba Polda Aceh Komisaris Besar Muhammad Anwar mengatakan, tidak mudah memberantas penyelundupan narkoba ke Aceh. “Banyak penyelundupan yang berhasil dibongkar oleh aparat, baik Polri, BNN, TNI, dan Bea Cukai. Namun, penyelundupan belum reda,” katanya.
Kasus narkoba yang ditangani kepolisian di Aceh pun kian bertambah. Data dari Polda Aceh, sejak 2014 hingga 2018, kepolisian menangani 6.115 kasus dengan jumlah tersangka 8.487 orang.
Adapun barang bukti yang disita oleh Polda Aceh pada 2017–2018 yakni sebanyak 88,639 kilogram sabu, 54,8 ton ganja kering, dan 3.664 butir ekstasi. Data ini belum termasuk yang ditangani oleh BNN dan BNN Provinsi Aceh.
Penangkapan bandar dan pengedar sabu di perairan timur Aceh telah dilakukan berulang kali. Kasus paling menyita perhatian publik yakni penangkapan komplotan Ibrahim Hasan alias Ibrahim Hongkong, anggota DPRD Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pada 19 Agustus 2018. Sebanyak 150 kilogram sabu disita.
Namun, kata Anwar, dalam beberapa kasus yang ditangani, petugas sulit meringkus bandar utama. Sebab, pemain di lapangan tidak mengenal bandarnya. “Mereka bermain sangat rapi dan lihai. Antarpengedar saja tidak saling kenal,” kata Anwar. Saat ini, ada beberapa bandar besar yang sedang diburu kepolisian.
Modus operandi penyelundupan sabu ke Aceh dengan cara transaksi di tengah laut. Para kurir menyaru sebagai nelayan, seolah-olah mereka sedang menangkap ikan, padahal mengambil sabu. Setelah barang haram itu tiba ke darat, distribusi dilanjutkan ke berbagai provinsi.
Risiko besar
Anwar mengatakan, para “pemain” itu bukan tidak tahu ancaman hukuman terberat yang dihadapi saat terlibat dalam jaringan narkoba. “Hukuman terberat, mati. Kami juga tidak segan menembak kalau mereka melawan,” kata Anwar.
Namun, perputaran uang bisnis narkoba yang cukup besar menjadi daya tarik bagi pelaku. “(Alasan) Para pelaku awalnya karena keterdesakan ekonomi, tapi lama-lama merasa enak, kemudian jadi bandar,” kata Anwar.
Tidak sedikit pengedar yang dihukum mati oleh majelis hakim. Pada 18 Maret 2019, Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan hukuman mati bagi empat terdakwa pengedar sabu. Kasus lain, delapan terdakwa geng Ibrahim Hongkong dituntut vonis mati dalam sidang di Pengadilan Kuala Simpang, Aceh Tamiang.
“Hukuman yang setimpal sebab perbuatan mereka merusak banyak orang,” kata Anwar.
Anwar menilai, pemberantasan kejahatan narkoba tidak cukup dengan penegakan hukum, melainkan harus ada gerakan membangun kesadaran secara komunal dengan melibatkan berbagai pihak. Salah satunya melalui pendekatan agama, yang dinilai Anwar dapat efektif mencegah seseorang terjerat narkoba.
Benteng utama
Peredaran narkoba kini juga mulai masuk ke desa-desa dan siap menjerat siapa saja. Karena itu, desa seharusnya menjadi benteng utama melawan penyalahgunaan narkoba. Jika desa tidak bergerak melawan narkoba, maka generasi muda mereka akan jadi santapan narkoba.
BNNP Aceh telah membentuk 85 desa bersih narkoba di 10 kabupaten/kota di Aceh, yaitu Banda Aceh, Pidie Jaya, Langsa, Sabang, Aceh Tamiang, Lhokseumawe, Bireuen, Aceh Selatan, Pidie, dan Bener Meriah. Ke depan, dibentuk juga di kabupaten/kota lain. Adapun jumlah desa di Aceh lebih dari 6.600.
Kepala BNNP Aceh Faisal Abdul Nasier mengatakan, ketika warga menjadi garda utama penjaga desa, pengedar tidak akan berani masuk. “Ini untuk menyiapkan generasi Aceh bebas dari jeratan narkoba,” kata Faisal.
Meski tidak mudah, warga Aceh tidak boleh kalah melawan rayuan narkoba. Sekali tergoda, hidup akan kelam dan sengsara.