CAGLIARI, SELASA — Pelecehan rasial seperti sudah mendarah daging dalam kultur sepak bola Italia. Meski sudah memasuki era modern, penghinaan atas warna kulit masih belum menghilang dari divisi tertinggi di Italia, Serie A.
Kasus rasisme kembali terjadi di Serie A saat Juventus menang atas tim tuan rumah Cagliari, 2-0, Rabu (3/4/2019) dini hari WIB, di Stadion Sardegna Arena. Kali ini, korbannya adalah dua pemain berkulit gelap Juventus, Moise Kean dan Blaise Matuidi.
Sepanjang laga, sejumlah pendukung tuan rumah mencemooh Kean dan Matuidi dengan gestur berbau rasial. Mereka menirukan suara monyet yang sering menjadi hinaan bagi pesepak bola berkulit gelap.
Cemoohan itu makin menjadi ketika Kean mencetak gol kedua Juventus pada menit ke-85. Setelah mencetak gol, pemain tim nasional Italia itu merentangkan tangannya seperti menantang di depan pendukung Cagliari. Hal itu sontak memancing reaksi lebih ekstrem dari para pendukung.
Situasi tidak terkendali itu membuat pertandingan dihentikan selama tiga menit. Panitia melalui penyiaran di stadion mengingatkan pendukung agar menghentikan penghinaan. Hal itu merupakan tindakan pertama dari tiga cara dalam situasi tidak kondusif sebelum tim diamankan keluar dari lapangan.
Selepas laga, Kean menjelaskan kekecewaannya terhadap tindakan tersebut. Selebrasinya ditujukan untuk membalas perlakuan rasis pendukung tuan rumah. ”Ini adalah cara terbaik melawan rasisme”, tulisnya di akun Instagram beserta tagar tidak pada rasisme.
Matuidi pun bereaksi di Instagram. Dengan tagar yang sama, dia menuliskan julukan Juventus, ”Bianconeri”, yang berarti putih hitam. Bianco adalah bahasa Italia dari putih dan neri berarti hitam. Pemain asal Perancis itu seperti ingin menunjukkan, warna kulit putih dan hitam seharusnya dapat bersatu dan bukan masalah dalam sepak bola.
Kejadian ini sudah berkali-kali terjadi di Serie A. Sebelumnya, pada akhir 2018, bek tengah Napoli, Kalidou Koulibaly, menjadi korban rasisme saat timnya bertemu Inter Milan. Saat itu, emosinya terpancing dan harus menerima kartu merah dari wasit.
Pemain asal Italia berkulit gelap, Mario Balotelli, mengatakan, permasalahan rasial di Serie A sudah menjadi penyakit. Dia sering mendapatkan pelecehan meskipun sudah membantu timnas Italia di level internasional.
”Di Inggris, saya tidak pernah melihat sesuatu seperti ini. Begitupun di Perancis, saya tidak sering melihatnya. Namun, berbeda dengan di Italia. Di sini tingkat rasisme begitu ekstrem,” tutur Balotelli.
Balotelli merupakan figur dengan karakter yang sangat kuat. Namun, dia mengaku sering goyah akibat perlakuan tidak menyenangkan tersebut. ”Saya sering bertanya kepada ibu saya dulu, kenapa mereka melakukan itu? Saya memang punya karakter kuat, tetapi hal itu benar-benar bisa menghancurkan seorang manusia,” lanjut mantan pemain Inter Milan dan AC Milan itu.
Larangan seumur hidup
Pelatih Juventus Massimiliano Allegri berharap ada tindakan tegas agar tidak terulang lagi kejadian serupa di Serie A. Menurut dia, pendukung yang melakukan pelecehan rasial bisa diidentifikasi menggunakan kamera. Setelah ditemukan, pendukung itu harus dihukum larangan menonton pertandingan seumur hidup.
”Dalam hidup ini, selalu ada orang idiot yang melakukan hal bodoh dan merusak segala sesuatu. Dengan kamera, kita bisa mencari orang bodoh itu, lalu menghukumnya larangan seumur hidup. Hal ini bisa terjadi jika pemegang kepentingan menginginkannya juga,” ujar Allegri.
Mantan Pelatih AC Milan itu menilai, menghentikan pertandingan ketika rasisme terjadi tidak akan banyak membantu. Sebab, tidak semua orang di stadion melakukan tindakan serupa.
Kendati demikian, Allegri juga memperingatkan Kean agar lebih dewasa dalam menyikapi hal tersebut. Dia meminta pemainnya tidak membalas perlakuan pendukung seperti dengan selebrasi di depan mereka.
Di sisi lain, Presiden Cagliari Tommaso Giulini menyalahkan Kean atas selebrasinya. ”Saya hanya mendengar teriakan ’boo’. Jika ada teriakan suara binatang, pasti ada sesuatu hal yang salah. Itu pasti karena selebrasi yang salah dan memprovokasi,” ucapnya. (AP/AFP)