Masyarakat, Pelaku Terbanyak Pelanggaran Kebebasan Beragama
Kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia masih tinggi, pada 2018 mencapai 202 kasus. Dari kasus-kasus ini, paling banyak pelakunya adalah masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang 2018, Setara Institute mencatat ada 202 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di seluruh wilayah Indonesia. Pelaku terbanyak tindakan pelanggaran justru masyarakat, baik individu maupun kelompok warga.
Kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) oleh masyarakat mencapai 130 tindakan atau hampir dua kali lipat dari tindakan pelanggaran yang dilakukan aktor-aktor negara yang sebanyak 72 tindakan. Pelanggaran oleh masyarakat dilakukan oleh individu sebanyak 46 tindakan dan disusul kelompok warga dengan 32 tindakan.
Dari sisi peristiwa, jumlah pelanggaran KBB selama 2018 sebanyak 160 peristiwa tak naik signifikan dibanding tahun lalu sebanyak 155 peristiwa. Meski demikian, tingginya peran masyarakat dalam tindakan-tindakan pelanggaran perlu mendapatkan perhatian serius.
“Terjadi pergeseran drastis dalam tren tindakan di mana tindakan pelanggaran oleh aktor non negara (masyarakat) hampir dua kali lipat lebih tinggi dari tindakan negara. Data tersebut menunjukkan bahwa kita dituntut untuk menggunakan perspektif yang lebih progresif soal pemenuhan KBB sebagai hak dasar,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili, Senin (1/4/2019) di Jakarta.
Kita dituntut untuk menggunakan perspektif yang lebih progresif soal pemenuhan KBB sebagai hak dasar.
Selain terus-menerus menuntut negara untuk menunaikan tanggung jawab dan kewajibannya mewujudkan KBB, menurut Halili masyarakat juga harus memberikan perhatian pada pentingnya penguatan basis sosial masyarakat sipil untuk memastikan berjalannya praktik dan promosi toleransi dalam tata kelola kebinnekaan.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra merasakan, di tataran masyarakat, potensi dan aktualisasi sikap intoleransi kerap terjadi. Kondisi ini muncul karena masyarakat mulai melupakan prinsip-prinsip pemersatu bangsa ini, yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Lakukan tindakan konkret
Menyikapi persoalan pelanggaran KBB, Setara Institute mengimbau agar pemerintahan baru pasca Pilpres 2019 melakukan tindakan konkret yang strategis dalam mempromosikan toleransi dan menjamin hak atas KBB. Langkah itu dilakukan dengan meruntuhkan supremasi intoleransi dan menegakkan hukum serta konstitusi sebagai respon atas munculnya kelompok-kelompok intoleran dan vigilante atau aksi-aksi penghakiman di luar ranah hukum.
“Pemerintahan baru harus berani mencegah berulangnya tindakan-tindakan pelanggaran terhadap KBB dan pelanggaran terhadap hak-hak minoritas keagamaan. Mereka mesti menegaskan sikap zero tolerance terhadap segala tindakan yang bertentangan dengan kebinekaan dan merongrong Pancasila dan Konstitusi RI,” tambah Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute.
Setidaknya ada lima rekomendasi yang diajukan Setara Institute untuk menjamin terwujudnya KBB. Pertama, pemerintah harus merancang, mengagendakan dan melakukan optimalisasi institusi pendidikan yang binneka, terbuka, toleran, serta berorientasi pada penguatan bangsa dan negara berbasis Pancasila dan UUD 1945. Kedua, pemerintah harus memposisikan aparatnya, khusus kepolisian dan pemerintah lokal (dari provinsi hingga desa/kelurahan), sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum, perlindungan seluruh warga, serta pembelaan dasar dan konstitusi negara.
Setidaknya ada lima rekomendasi yang diajukan Setara Institute untuk menjamin terwujudnya KBB.
Ketiga, negara harus menjamin penegakan hukum yang tegas dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kemudian keempat mengoptimalisasi fungsi edukasi, sosialisasi, dan literasi mengenai toleransi dan kerukunan serta pencegahan diskriminasi dan intoleransi melalui optimalisasi televisi, media sosial, dan media daring sebagai arena dan ruang diskursus. Dan, kelima memperkuat dan mengintensifkan inisiatif dan pelaksanaan dialog yang setara antar kelompok agama/keyakinan.
Ada harapan
Terlepas dari permasalahan yang masih ada, Setara Institute mencatat angka peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB tahun 2018 cenderung stabil. Hal ini ditandai dengan turunnya tingkat pelanggaran terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan, seperti umat Kristen, jemaat Ahmadiyah, dan Syi’ah yang selama ini mendominasi angka korban di setiap riset dan pemantauan.
Selain itu, angka gangguan terhadap rumah ibadat juga jauh lebih rendah dibanding periode-periode sebelumnya. Dari sisi aktor, tindakan pelanggaran KBB yang dilakukan oleh aktor negara selama 2018 jauh lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Mulai marak inisiatif dan gerakan masyarakat sipil toleran yang selama ini sering dianggap sebagai silent majority untuk mengambil prakarsa dan peran untuk melawan intoleransi, diskriminasi, dan paham-paham yang mengarah pada destruksi nilai-nilai hidup damai bersama dalam perbedaan (peaceful co-existence) dan penguatan ideologi ekstremisme dengan kekerasan,” ucap Bonar.
Mulai marak inisiatif dan gerakan masyarakat sipil toleran yang selama ini sering dianggap sebagai silent majority untuk mengambil prakarsa dan peran untuk melawan intoleransi, diskriminasi.
Sejak 2014, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menelurkan sejumlah kebijakan yang menjamin KBB, antara lain Dokumen Nawa Cita yang memberikan harapan terwujudnya hak sipil berupa KBB, wacana penghapusan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk yang mendorong perbaikan pemenuhan hak bagi penghayat kepercayaan untuk mendapatkan hak administrasi kependudukan yang setara dengan warga lainnya, pelembagaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIB) yang menjadi modalitas baik bagi pemajuan toleransi dan jaminan kesetaraan, serta pelembagaan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP) untuk memperkuat dialog lintas agama demi terwujudnya harmoni dan peradaban.