JAKARTA, KOMPAS — Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan ruang pamer Kamar Diponegoro di Museum Sejarah Jakarta, Jakarta Barat, Senin (1/4/2019). Ini merupakan kamar asli yang pernah digunakan untuk menahan Pangeran Diponegoro. Penataan dan pemberian informasi di ruang itu ditargetkan jadi kiblat dalam memperlakukan peninggalan sejarah terkait pahlawan nasional di daerah lain.
Gubernur Anies menyoroti soal adanya lebih dari satu versi terkait riwayat hidup dan sejarah perjuangan Diponegoro melawan penjajah kolonial Belanda kurun 1825-1830 di Jawa. Di Kamar Diponegoro Museum Sejarah Jakarta, akurasi data dijamin karena melibatkan tokoh-tokoh yang relevan, salah satunya sejarawan Peter Carey.
”Sering kali buku sejarah menyederhanakan, seakan-akan itu soal tanahnya Diponegoro yang dilewati rel kereta api. Padahal, sama sekali bukan itu. Pangeran Diponegoro tidak bicara sekadar soal tanahnya, tetapi tentang menghadirkan keadilan di tanah Jawa pada masa itu,” ucap Anies sebelum meresmikan Kamar Diponegoro.
Ruang pamer Kamar Diponegoro menggunakan ruang lantai dua seluas 120 meter persegi di gedung Museum Sejarah Jakarta, yang dahulu merupakan Balai Kota (Stadhuis) Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Secara keseluruhan, Museum Sejarah Jakarta menempati lahan seluas 1,5 hektar.
Peter yang juga kurator Kamar Diponegoro menuturkan, pihaknya hampir 95 persen yakin ruang di sayap barat gedung ini merupakan ruang untuk menahan Pangeran Diponegoro sewaktu menunggu keputusan politik soal tempat pengasingannya.
Data yang ada menyebutkan, Diponegoro ditempatkan di dua ruang berlangit-langit rendah. Tempat itu sebenarnya apartemen pribadi kepala penjara, tetapi kepala penjara akan pindah sementara waktu jika ada tahanan dari kalangan orang Eropa atau tokoh penting pribumi.
Diponegoro berada di Jakarta selama 26 hari, tanggal 8 April-3 Mei 1830. Ia sebelumnya ditangkap dengan cara licik ketika berunding dengan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Merkus de Kock di Magelang, 28 Maret 1830, dibawa ke Semarang, kemudian berlayar ke Batavia dan tiba di dermaga Pasar Ikan tanggal 8 April 1830. Ia lantas dibawa ke ruang penahanan di Balai Kota.
Selain bisa menyaksikan detail ruang asli tempat Diponegoro ditahan, para pengunjung juga akan mendapatkan kelengkapan pengalaman visual lewat replika-replika barang dan dokumen serta papan informasi menyangkut Diponegoro selama di Batavia.
Replika tersebut antara lain ranjang tidur, kandang burung, tongkat ziarah Diponegoro yang bernama Kiai Cokro, tombak bernama Kiai Rondhan, serta sketsa sosok Diponegoro yang dibuat Adrianus Johannes Bik, seorang hakim kepala dan ahli gambar.
”Saya berharap ini menjadi mercusuar untuk semua tempat bersejarah di Nusantara, khususnya terkait Diponegoro. Sebab, ada tiga tempat lain (terkait Diponegoro) yang bisa dibangkitkan,” kata Peter.
Tempat lain tersebut adalah kompleks Sasana Wiratama Pangeran Diponegoro di Kecamatan Tegalrejo, DI Yogyakarta, yang merupakan bekas kediaman Diponegoro yang dihancurkan pasukan Belanda pada 20 Juli 1825; kompleks kantor Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) II Jawa Tengah di Magelang, yang merupakan lokasi penangkapan Diponegoro; serta Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi, tempat Diponegoro diasingkan hingga akhir hayatnya.
Di Tegalrejo terdapat perusakan situs yang serius. Lantai di bawah mimbar masjid Diponegoro yang belum selesai dibangun saat Perang Jawa meletus dibongkar pengelola. Di Magelang, pengunjung tidak boleh masuk Museum Diponegoro di kantor Bakorwil II Jateng jika ada acara pernikahan di sana.
Adapun di Benteng Rotterdam, staf lokal kukuh menyatakan kepada pengunjung, ruang penjara bawah tanah di sana adalah tempat Diponegoro ditahan. Faktanya, Diponegoro beserta keluarga terdekatnya ditahan di tempat tinggal mantan perwira di lantai dua (sekarang menjadi perpustakaan dan kantor Pemerintah Kota Makassar) di atas hoofdwacht (pos penjaga utama) dan landpoort (gerbang utama menuju Kota Makassar).
Pegiat sejarah Asep Kambali mengapresiasi langkah Pemerintah Provinsi DKI menyediakan ruang untuk Kamar Diponegoro yang disertai informasi akurat. Tanpa upaya itu, nilai sejarah tempat-tempat menapak tilas tokoh penting kerap dikaburkan oleh berkembangnya mitos di sana.
Asep mendorong Museum Sejarah Jakarta membuat ruang pamer juga untuk pelawan penjajah lain yang pernah ditahan di sana. Contohnya, perempuan komandan asal Aceh, Cut Nyak Dien, yang ditahan di penjara wanita Balai Kota tahun 1902. Ada pula penasihat agama Diponegoro, Kiai Mojo, beserta 62 pengikutnya, yang ditahan di ruang bawah tanah antara Januari 1829 dan Februari 1830.