Jurnal Perempuan, Menarasikan Kesetaraan Hak Warga
Berdiri pada tahun 1996 sebagai publikasi ilmiah feminis pertama di Indonesia, Jurnal Perempuan terus memperjuangkan tidak hanya kesetaraan jender, tetapi juga kesetaraan bagi mereka yang terpinggirkan. Memandang segala aspek kehidupan dari kacamata perempuan berarti mengikutsertakan kelompok yang dimarjinalkan dan dilemahkan oleh sistem.
Publikasi ini terbit setiap tiga bulan dengan berisi makalah dari para peneliti, akademisi, dan pegiat isu feminisme. Selama 23 tahun ini, Jurnal Perempuan mengajak agar masyarakat Indonesia mau berubah untuk memerhatikan pemenuhan hak asasi manusia bagi setiap penduduknya.
"Prinsip feminisme ialah menggugat relasi kekuasaan yang timpang. Artinya ialah menggugat segala bentuk ketidakadilan dari segi jender, suku bangsa, ras, agama, dan kelas ekonomi," kata Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) Atnike Nova Sigiro ketika ditemui di kantor JP di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (29/3/2019).
Prinsip feminisme ialah menggugat relasi kekuasaan yang timpang. Artinya ialah menggugat segala bentuk ketidakadilan dari segi jender, suku bangsa, ras, agama, dan kelas ekonomi.
Dalam feminisme, lanjutnya, tidak hanya berbicara tentang perempuan, meskipun memandang isu dari persepsi perempuan. Di dalamnya turut dibicarakan mengenai perlindungan anak, pelestarian lingkungan hidup, pemberdayaan ekonomi, kesehatan, ketenagakerjaan, hingga keamanan di masyarakat. Semua itu adalah aspek yang lekat dengan keseharian perempuan.
Budaya patriarki yang secara subliminal dipercayai oleh bangsa Indonesia menciptakan sistem yang membagi masyarakat menjadi kelompok kuat dan lemah. Bahkan, juga ada kelompok yang sengaja dilemahkan dengan alasan jumlah mereka minoritas atau pun memiliki karakteristik sangat berbeda dari kelompok lainnya.
"Ada budaya pemakluman kekerasan terhadap kelompok yang lemah dan dilemahkan. Dalam hal ini, JP membawa narasi kesetaraan bahwa semua orang berhak mendapat seluruh akses ekonomi, pendidikan, kesehatan, ekspresi, politik, dan pemberdayaan," tutur Atnike.
Domestik versus karier
Atnike menjelaskan, salah satu masalah yang dibahas oleh JP adalah rekonstruksi ulang konsep keperempuanan. Kerap di masyarakat, terutama media sosial, ada debat mengenai perempuan karier versus perempuan domestik yang biasanya berujung kepada saling merendahkan.
Kelompok pro karier menghakimi kelompok domestik sebagai perempuan yang tidak mau mengembangkan potensi. Sebaliknya, kelompok pro domestik menganggap perempuan berkarier adalah egois dan tidak memerhatikan rumah tangga. Padahal, argumen kedua kelompok ini sangat patriarkis dan devaluatif terhadap makna keperempuanan.
Argumen kedua kelompok ini sangat patriarkis dan devaluatif terhadap makna keperempuanan.
Kesalahpahaman yang ada di masyarakat adalah apabila bekerja, perempuan harus mengorbankan keluarga. Padahal, keluarga dibentuk melalui kerja sama suami dan istri atau ayah dan ibu. Artinya harus ada pembagian peran yang saling mendukung dan memberdayakan.
Budaya bekerja juga harus berubah. Selama ini, perempuan karier dituntut untuk menjadi maskulin. Dalam artian mereka harus menanggalkan sikap feminim seperti lemah lembut dan menjadi sikap mengutamakan pekerjaan. Hendaknya ada sistem karier yang memahami keadaan perempuan, seperti hamil dan melahirkan serta mengasuh anak yang masih di bawah umur, sehingga skema promosi di kantor bisa dinilai dari aspek kinerja yang berbeda.
Di sisi lain, pandangan masyarakat terhadap domestik masih dipaksakan kepada perempuan sehingga kerja sama dalam pengasuhan rumah tangga dengan laki-laki sulit dilakukan. "Lebih parah lagi, pekerjaan domestik dianggap sebagai pekerjaan mudah, tidak memerlukan pendidikan dan keterampilan, bahkan tidak butuh perlindungan," ujar Atnike.
Bebas memilih
Atnike mengatakan, tujuan utama feminisme adalah memberi kebebasan memilih bagi setiap perempuan. Budaya mengajarkan sedari dini kepada anak perempuan dan laki-laki untuk mengembangkan potensi masing-masing
Di saat yang sama, masyarakat membangun sistem yang memastikan terpenuhinya segala akses dan keamanan serta sistem kerja meritokratis. Dalam hal ini, harus ada inisiatif mendidik masyarakat bahwa tidak ada pekerjaan yang maskulin dan feminim. Setiap pekerjaan wajib memiliki jaminan keselamatan dan upah yang layak.
"Dalam makalah-makalah yang diterbitkan JP ada gugatan tentang kritik kurangnya perempuan di bidang teknologi, sains, dan matematika. Padahal penyebabnya adalah akses perempuan mendalami bidang itu sedikit karena tekanan keluarga dan stigma masyarakat yang menganggap pekerjaan-pekerjaan itu terlalu maskulin," ujar Atnike.
Di sisi lain, JP juga menerbitkan makalah mengenai keterbatasan perempuan di sektor domestik mengakses layanan kesehatan, pinjaman lunak, perlindungan hukum, dan kebebasan berpolitik. Tidak ada narasi feminisme tunggal di Indonesia karena setiap perempuan memiliki pengalamannya sendiri yang dipengaruhi adat istiadat, keadaan sosial, politik, dan ekonomi lokal.
Pelaku pembangunan
Jurnal Perempuan lahir dari pemikiran mantan dosen filsafat Universitas Indonesia, Gadis Arivia. Pada tahun 1992 ia mendapat beasiswa untuk kuliah psikososial di Perancis. Di sana pula ia mendapat pemahaman yang mendalam mengenai diskursus feminis. Pada masa Orde Baru, perempuan dilihat sebagai pendukung pembangunan. Artinya mereka merupakan figuran yang hanya mendukung laki-laki agar sukses.
"Perempuan Indonesia lahir dengan potensi yang sama dengan laki-laki. Semestinya perempuan menjadi pelaku pembangunan dan terlibat aktif merancang arah pembangunan. Berdasarkan prinsip itu JP lahir sepulang saya dari Perancis," tutur Gadis ketika dihubungi di Bethesda, Maryland, Amerika Serikat, Jumat (28/3/2019). Ia kini menjabat sebagai dosen sosiologi di Montgomery College.
Perempuan Indonesia lahir dengan potensi yang sama dengan laki-laki. Semestinya perempuan menjadi pelaku pembangunan dan terlibat aktif merancang arah pembangunan.
Ia mendapat bantuan dari guru-guru besar Filsafat UI, yaitu Toety Heraty Noerhadi-Roosseno dan Asikin Arif. Para penulisnya adalah dosen-dosen UI dan pegiat hak asasi manusia. Pada Agustus 1996 terbit edisi pertama JP dengan judul "Mengapa Perempuan Disiksa?" yang membahas mengenai kekerasan domestik dan rumah tangga serta impunitas perempuan buruh maupun perempuan di daerah konflik.
Jurnal yang dibagikan gratis kepada mahasiswa ini kemudian mendapat ulasan positif sekaligus pesimistis di sebuah surat kabar. Isinya, walaupun menarik dan membahas isu penting, jurnal ini tidak akan bertahan lama.
"Ulasan itu dibaca oleh Yayasan Ford yang kemudian menjadi salah satu sponsor hingga kini," kata Gadis. Sekarang, JP setiap tiga bulan bisa menarik para peneliti dan pegiat untuk mengirimkan tulisan yang kemudian dievaluasi bersama untuk memastikan kelayakan terbit.
Elite
Meskipun begitu, JP juga tidak luput dari kritik. Lies Marcoes-Natsir, antropolog jender dan pendiri Yayasan Rumah Kita Bersama adalah penulis rutin di JP. Ia mengkritisi segmen pembaca JP adalah kalangan elite, yaitu akademisi dan komunitas intelektual.
"Akan lebih baik jika diskursus yang tertuang di JP juga dibaca oleh pemerintah, pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, juga orang-orang awam agar ada pembahasan berkelanjutan," katanya.
Prinsip feminisme tidak akan dipahami masyarakat tanpa ada pengenalan secara terus-menerus. Oleh sebab itu, Lies mengusulkan pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bisa membantu distribusi JP maupun diskursus feminisme agar lebih luas di masyarakat.