JAKARTA, KOMPAS- Jakarta International Container Terminal (JICT), salah satu terminal PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo II (Persero) yang dikerjasamakan dengan Hutchinson Port Holding asal Hongkong, dinilai menjadi salah satu contoh privatisasi yang sukses dilaksanakan. Selama 20 tahun usianya, JICT telah telah berkontribusi sebesar Rp 15,44 triliun ke negara melalui setoran pajak dan keuntungan kepada Pelindo II.
Selama kurun tersebut, JICT melayani bongkar muat petikemas sebanyak 37,30 juta twenty foot equivalent units (TEUs) dan dinilai sebagaisalah satu terminal petikemas terbaik di Asia. "Perjalanan 20 tahun membawa JICT menjadi operator terminal yang terbaik. Namun ke depan, perjalanan tidak akan mudah mengingat akan banyak terminal dan pelabuhan bermunculan," kata Komisaris Utama JICT Wibowo Suseno Wirjawan dalam peringatan 20 tahun JICT di Jakarta, Senin (1/4/2019).
Wibowo mengatakan, dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang ada seperti sekarang, tantangan ke depan akan semakin besar dan berat. Keberadaan New Priok Container Terminal 1 yang dibangun Pelindo II dan Pelabuhan Patimban yang sedang dibangun pemerintah akan menjadi pesaing yang cukup berat.
Direktur Utama JICT Gunta Prabawa menambahkan, selama dua dekade ini perusahaan telah berkembang menjadi terminal yang memiliki standar kerja tinggi dengan tingkat efisiensi yang optimal. Peran JICT juga semakin strategis, menjadi pintu gerbang utama bongkar muat barang, baik ekspor maupun impor di Tanjung Priok, pelabuhan terbesar di Indonesia.
"Sejak berkolaborasi dengan Hutchinson Ports Holding (HPH) di tahun 1999, JICT telah berkembang menjadi terminal petikemas yang didukung dengan teknologi, sumber daya manusia dan sistem tata kelola terminal petikemas modern. Berbagai inisiatif dan inovasi dilakukan JICT untuk meningkatkan standar kualitas layanan dan menaikkan kapasitas bongkar muat," kata Gunta.
Gunta mengatakan, pengelola JICT berupaya meningkatkan layanannya. Pada tahun 2000, misalnya, JICT menjadi pionir penggunaan twin lift technology di Tanjung Priok. Kemudian di tahun 2003, JICT sudah menerapkan Web Online services (pelayanan tracking container, invoice tracking, vessel schedule, dan lainnya).
Sejak tahun 2015 seluruh transaksi di terminal JICT telah menerapkan sistem pembayaran non tunai. Berkat inovasi dan investasi yang dilakukan, volume bongkar muat JICT naik dari semula 1,4 juta TEUs (1999) menjadi lebih dari 2.4 juta TEUs.
"Investasi yang dilakukan JICT fokus pada peningkatan kualitas layanan yang mendorong terciptanya bisnis proses yang efisien dan memberikan manfaat optimal bagi pelaku usaha. Sampai saat ini JICT adalah pionir untuk digitalisasi, otomatisasi dan pelabuhan berbasis lingkungan (go green) di Indonesia," jelas Gunta.
Wakil Direktur JICT Riza Erivan menambahkan, sebagai bagian dari upaya peningkatan layanan di JICT, manajemen menambah jumlah kapal yang singgah di JICT. Di tahun 1999 tercatat baru sekitar empat kapal bisa bersandar di dermaga barat JICT. Saat ini dermaga utara JICT mampu melayani tujuh kapal yang bersamaan dengan produktifitas tinggi.
Kapal-kapal yang singgah di JICT merupakan pelaku usaha pelayaran dunia dengan rute langsung ke negara utama. Misalnya kapal MV. CMA CGM Tage berkapasitas 10 ribu TEUs dan berbobot 95.263 GT (Gross Tonnage) yang melayani rutin melayani rute Pelabuhan Tanjung Priok ke Pantai Barat Amerika Serikat, dan sekarang sudah mulai pelayaran langsung ke Australia.
"Jaringan pelayaran menjadi salah satu kunci di industri terminal petikemas dunia. Semakin banyak jalur pelayaran langsung ke negara-negara tujuan para pelaku usaha, maka akan mendorong kinerja terminal petikemas semakin maksimal. Itulah yang terus dilakukan JICT dengan dukungan penuh dari pemegang saham," ujar Riza.