Dawai Tehyang dari Sewan Kongsi
Tehyan, alat musik dari Tiongkok, menjadi bagian warga peranakan Cina Benteng di Kota Tangerang. Alat musik gesek yang memperkuat gambang kromong ini berakulturasi dan menjadi alat musik tradisional Tangerang dan Betawi.
Tehyan, alat musik dari Tiongkok, menjadi bagian warga peranakan Cina Benteng di Kota Tangerang. Alat musik gesek yang memperkuat gambang kromong ini berakulturasi dan menjadi alat musik tradisional Tangerang dan Betawi.
Setelah Masnah meninggal, Oen Sin Yang (65), anak tirinya, melestarikan tehyan. Tak hanya sebagai perajin, ia juga ikut memainkannya. Dari kepedulian inilah lahir Kampung Tematik di Lebak Wangi, dulunya dikenal Sewan Kongsi dan Sewan Lebak.
Oen Sin Yang baru tiba di rumahnya, di RW 07 Kampung Lebak Wangi, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Jumat (22/3/2019) siang. Kong Go Yong, demikian ia disapa langsung masuk pekarangan rumahnya.“Baru pulang cari barang. Maaf jika sudah menunggu terlalu lama.”
Ia meletakkan karung plastik ke sisi kanan rumahnya bersama tumpukan karung goni berisi gelas dan botol plastik bekas minuman kemasan.
Di rumah itu, ia tinggal bersama istrinya, Tjan Mer Ni (60), 8 anak, 3 cucu, dan 2 menantunya. Di antara timbunan karung-karung botol plastik di halaman rumahnya, beberapa tehyan tergantung di dinding teras rumah Go Yong.
Setiap hari, ia mengambil barang-barang yang terdampar di pinggiran Sungai Cisadane, sekitar Pintu Air Sepuluh. Pada hari biasa, ia pulang paling lambat pukul 16.00.
Go Yong mengambil posisi yang enak, duduk di kursi. Setelah berbicara sejenak, ia berdiri dan mengambil terompet berukuran kecil. Begitu ditiup, dari alat musik itu keluar suara melengking dan memecahkan keheningan ruangan tamu.
Meski alat musik berukuran kecil, tetapi bunyi terompet ini memekak telinga. “Suara (terompet) agak berisik,” kata Go Yong sembari tersenyum.
Setelah satu lagu, ia berdiri. Terompet diletakkan di meja dan ia mengambil satu tehyan yang tergantung di dinding ruang tamu. Ia mulai memainkan alat musik.
Kali ini suara yang keluar lebih lembut, seolah membawa kita dalam satu hajatan peranakan Tionghoa. "Tehyan ini biasanya dimainkan saat pesta, perkawinan, dan meninggal," kata Go Yong.
Go Yong mengambil bahan untuk pembuatan tehyan dari barang bekas yang terdampar di pinggir Sungai Cisadane.
Setiap hari, ia “memulung” di sungai yang berada 700-1.000 meter di belakang rumahnya, sekitaran Pintu Air Sepuluh.
Dari bantar sungai, ia mendapatkan tempurung atau batok kelapa dan potongan kayu untuk membuat alat musik. Tempurung atau batok kelapa dijadikan wadah resonansi dan potongan kayu untuk tiang alat musik tersebut. Sementara senar dibeli dari toko.
“Kalau saya lagi serius, satu tehyan bisa selesai tiga hari,” kata Go Yong. Dari satu tehyan menghasilkan Rp 300.000 sampai Rp 1 juta, tergantung besar dan kecil tehyan.
"Yang pesan dari berbagai daerah di Indonesia. Ada juga yang pesan dari luar negeri. Alat musik tradisional ini khas, jadi tidak banyak yang menjual," ujarnya.
Setahun terakhir, karena sampah di pinggiran sungai ini semakin banyak, Go Yong juga ikut mengumpulkan sampah lainny termasuk gelas dan botol plastik minuman kemasan yang menumpuk di bentaran kali.
Turun-temurun
Go Yong mulai mengenal alat musik itu sejak remaja, sekitar tahun 1973. Ia sering melihat kedua orang tuanya yang adalah seniman gambang kromong, yang terkenal di tahun 1960-an.
Tak butuh waktu lama bagi Go Yong untuk menguasai tehyan dan beragam alat musik lainnya. Saat itu, ia mulai ikut bermain tehyan dengan kelompok gambang kromong milik almarhum ayahnya, yang tenar sejak tahun 1960.
"Awalnya saya cuma melihat orangtua bermain gambang kromong. Saya mencobanya, akhirnya bisa sampai lancar. Saya bisa memainkan trompet, tehyan, dan musik gambang kromong lainnya. Sekarang saya lagi buat musik gambang kromong dari kayu (mirip kolintang dan gamelan)," cerita Go Yong.
Awalnya, Go Yong mengaku tidak terlalu tertarik menekuni permainan musik gambang kromong ini. Akan tetapi, setelah ayahnya Oen Oen Hok, pemukul alat musik gambang meninggal dan menyusul ibu tirinya Tjin Nio atau Masnah meninggal, Go Yong merasa tertantang untuk meneruskan dan mempertahankan warisan keluarganya sekaligus melestarikan budaya leluhurnya.
"Saya bisa memainkan trompet, tehyan, dan musik gambang kromong lainnya. Sekarang saya lagi buat musik gambang kromong dari kayu (mirip kolintang dan gamelan)," cerita Go Yong.
Di saat rezim Orde Baru, mereka tidak mudah mengembangkan kesenian tradisional itu karena ada pembatasan kesenian yang berbau Tiongkok.
Hingga kini, Go Yong satu-satunya pemain gambang kromong yang tersisa di Tangerang. Hampir 45 tahun ia menekuni profesinya. Ia sering mengisi berbagai acara dan mengikuti beragam festival baik di dalam negeri seperti Aceh, Bangka, dan Ambon dan luar negeri, seperti Australia.
“Jangan sampai alat musik tehyan ini hilang. Biar bagaimanapun, tehyan adalah alat musik tradisional khas Tangerang dan Betawi,” ujar Go Yong yang mengusai lebih dari 100 lagu dari berbagai jenis aliran musik dengan alat musik geseknya tersebut.
Salah satu anak Go Yong yang kini ikut melestarikan permainan Tehyan adalah Yo Pan (16).
Ia satu-satunya pemain gambang kromong yang tersisa di Tangerang.
Hampir 45 tahun ia menekuni profesinya. Ia sering mengisi berbagai acara dan mengikuti beragam festival baik di dalam negeri seperti Aceh, Bangke, dan Ambon dan luar negeri, seperti Australia.
Gambang kromong
Di antara derasnya arus budaya modern, kata Go Yong tetap berupaya keras mempertahankan kelestarian gambang kromong, terutama alat musik tehyan. Namun, ia menyadari hal itu tidaklah mudah. Apalagi, gambang kromong dan tehyan sudah mulai dilupakan banyak orang.
“Jangan sampai alat musik tehyan ini hilang. Biar bagaimanapun, tehyan adalah alat musik tradisional kha Tangerang dan Betawi,” ujar Go Yong yang mengusai lebih dari 100 lagu dari berbagai jenis aliran musik dengan alat musik geseknya tersebut.
Dalam gambang kromong, terdapat tiga alat musik gesek yang sering dimainkan, yaitu tehyan, kongahyan, dan sukong. Perbedaan paling mendasar terletak pada bentuk ukurannya.
Sukong ukurannya paling besar dengan nada dasar G, dan suara dengan desibel tinggi atau disebut bass.
Kongahyan paling kecil dengan nada dasar “D” (disebut juga melodi).
Adapun tehyan atau ritme berukuran menengah antara Sukong dan Tehyan, dan memiliki nada dasar A.
Pengaruh alat musik ini sangat kental mewarnai lagu-lagu dalam gambang kromong, terutama berbagai lagu tua yang disebut encek dan instrumentalia yang disebut pobin.
Tehyan merupakan hasil akulturasi antara kebudayaan Betawi dengan kebudayaan Cina.
Tehyan itu semacam alat musik rebab yang digunakan sebagai pelengkap kesenian. Alat musik ini biasanya digunakan dalam musik – musik gambang kromong ataupun musik Indonesia tempo dulu. Bentuk alat musik ini sedikit mirip rangka manusia dari bagian badan hingga ke pinggul.
Keberadaan tehyan di Indonesia sudah mulai langka akibat perkembangan zaman dan kurang diminati oleh generasi muda. Faktor lain yang mempengaruhi kelangkaan adalah cara memainkannya yang masih sulit.
Tehyan adalah salah satu alat musik dari Tiongkok dan menjadi bagian dari kehidupan warga peranakan Cina Benteng di Kota Tangerang. Alat musik gesek ini telah berakulturasi dan menjadi alat musik tradisional Tangerang dan Betawi.
Alat musik ini mulai tergerus karena dianggap ketinggalan jaman.
Go Yong mengaku akan terus konsisten untuk melestarikan budaya leluhurnya dari Cina yang dibawa hingga ke Indonesia, dan saat ini berkembang di Kota Tangerang yang sangat menerima akulturasi budaya.
Kampung Tehyan
Berawal dari Go Yong mempertahankan alat musik tehyan, tercetuslah ide mengenalkan dan melestarikan tehyan. Pemerintah Kota Tangerang membentuk kampung tematis, Kampung Tehyan di Kecamatan Neglasari. Lokasinya di belakang kawasan Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
"Di Neglasari ini terdapat keunikan, di antaranya terdapat pemain dan pembuat tehyan yang terkenal hingga di Nusantara Indonesia," kata Camat Neglasari, Ubaidillah Ansar, Sabtu (23/3).
Miniatur kampung tematik ini pernah dihadirkan pada Festival Budaya Nusantara 2018, pertengahan November tahun lalu. “Kampung Tehyan bisa sebagai China Town,” kata Ubaidillah.
Meilan (41), warga RW 07 Lebak Wangi, berharap, kampung tematik ini tertata baik setelah menjadi Kampung Tehyan, sekaligus meningkatkan pendapatan warga. "Kalau wisatawan datang, berarti warung saya bisa laris manis,” kata pemilik warung makan itu.
Ia juga senang lantaran gang sempit di depan rumah Go Yong mulai tertata. Jalanan dipasang paving block dan pagar rumah dicat warna-warni. Di sepanjang jalan, bergelantungan lampion merah. Tanaman hijau menghiasi pagar dan pekarangan rumah warga yang 90 persen adalah peranakan Tionghoa yang dikenal sebagai Cina Benteng (Ciben).
"Kami masih menunggu kapan Kampung Tehyan ini diresmikan," harap Meilan.
Kami masih menunggu kapan Kampung Tehyan ini diresmikan
Potensi di wilayah Kecamatan Neglasari ini sebagai contoh dalam mengusung persatuan dan kesatuan karena banyak beragam budaya, tetapi tetap menjaga kebersamaan.