Mengharapkan Era Tertib dan Damai, ”Reiwa” Nama Era Baru Jepang
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
TOKYO, SENIN — Kaisar Jepang Akihito, yang naik takhta pada 1989, akan mengundurkan diri dan menyerahkan takhta kepada putra sulungnya, Putra Mahkota Naruhito, pada 30 April 2019. Pada Senin (1/4/2019) ini, Jepang telah mengumumkan nama kekaisaran barunya dan menandai berakhirnya pemerintahan Akihito atau era Heisei.
Nama era baru yang diumumkan Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga di Tokyo, Senin, adalah Reiwa. Ia mengumumkan itu dalam konferensi pers yang ditayangkan secara langsung di televisi nasional sambil mengangkat kaligrafi bertuliskan dua karakter bahasa Jepang.
Seperti diberitakan Reuters, karakter pertama memiliki makna tertib atau teratur dan karakter kedua damai atau harmoni. Era sebelumnya, Heisei (1989-2019), bermakna mencapai kedamaian. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dijadwalkan menjelaskan makna nama itu secara nasional.
Sebelumnya, Abe mengatakan, pemerintah ingin memilih nama era baru yang menandai era yang penuh harapan. Era Heisei dikenang dengan periode yang damai dan tanpa perang. Namun, periode itu juga ditandai dengan deflasi ekonomi dan bencana alam.
”Saya akan memperhatikan bahwa nama era baru itu akan diterima secara luas oleh rakyat dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari mereka,” kata Abe.
Proklamasi nama era itu merupakan fenomena yang cukup langka dan terjadi hanya dua kali dalam hampir satu abad. Kehadiran nama era itu dalam memori dan kehidupan publik cukup signifikan.
Makna besar
Peristiwa besar, seperti kelahiran, kematian, bencana alam, fenomena budaya dan sosial, pemilu, serta skandal politik, akan dikaitkan dengan nama era. Nama kalender, koran, dan dokumen resmi pemerintah juga dunia usaha pun cukup banyak menggunakan nama era tersebut meskipun penggunaan kalender barat telah menyebar luas ke kehidupan sehari-hari rakyat Jepang.
”Nama era memiliki beban makna yang besar. Nama itu penting dalam mendefinisikan suatu periode,” kata Daniel Sneider, ahli dan dosen bidang Jepang dari Stanford University.
Nama era harus memiliki makna yang sejalan dengan aspirasi rakyat. Panjangnya juga hanya dua karakter, mudah dibaca, ditulis, tidak digunakan secara penuh, dan tidak pernah digunakan pada nama era sebelumnya.
Pada Senin pagi, para ahli dari dunia usaha, akademik, dan media massa bertukar pendapat mengenai sejumlah usulan nama era yang telah diseleksi sebelumnya. Jajaran pimpinan Parlemen Jepang kemudian akan menyampaikan pendapatnya sebelum nama era yang ke-248 disetujui oleh Kabinet Jepang. Nama era pertama adalah Taika dan dimulai tahun 645.
Sebelum penobatan
Japan Times melaporkan, diskusi mengenai nama era menghadirkan di antaranya mantan Ketua Federasi Bisnis Jepang Sadayuki Sakakibara; Profesor Shinya Yamanaka dari Kyoto University, yang memenangi hadiah Nobel di Bidang Fisiologi dan Kedokteran pada 2012; serta novelis Mariko Hayashi.
Nama era digunakan selama masa pemerintahan kaisar dan biasanya diumumkan setelah kaisar baru resmi dinobatkan. Berbeda dengan ritual sebelumnya, kali ini diputuskan bahwa nama era baru diumumkan sebelum suksesi kekaisaran demi menekan gangguan yang bisa muncul akibat perubahan itu.
Pada 2016, Akihito, yang saat itu berusia 85 tahun, menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri. Ia khawatir tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik karena usianya yang sudah lanjut. Pengumuman itu cukup mengejutkan mengingat bahwa sejak 1817 belum pernah ada kaisar yang mundur selagi masih hidup.
Keterbukaan istana
Pada Januari 2019, dalam sebuah pidato Tahun Baru, Akihito mengatakan, dirinya merasa lega dapat menyerahkan takhtanya tanpa melihat perang selama era kekaisarannya.
Meskipun kaisar Jepang tidak memiliki kekuasaan politik dan hanya simbol negara, Akihito memiliki citra yang baik di kalangan masyarakat. Ia dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan perdamaian dan peduli kepada korban bencana, kaum disabilitas, dan minoritas. Bersama istrinya, Michiko, yang berasal dari orang biasa, Akihito juga sering mengingatkan rakyat tentang sulitnya masa perang dan pentingnya untuk tidak melupakan perjuangan mereka yang gugur saat itu.
Di bawah Akihito, istana juga menjadi lebih terbuka. Setidaknya dua kali dalam setahun rakyat berbondong-bondong datang merayakan ulang tahun kaisar dan merayakan Tahun Baru.