JAKARTA, KOMPAS — Dalam dua bulan, realisasi penerbitan surat berharga negara lebih dari 50 persen pagu pembiayaan defisit APBN 2019. Strategi penerbitan lebih awal atau front loading ini berimbas ke peningkatan rasio utang terhadap produk domestik bruto.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dikutip pada Minggu (31/3/2019), realisasi pembiayaan defisit APBN 2019 per Februari mencapai Rp 198,4 triliun atau 55,2 persen dari pagu. Defisit dibiayai dari penerbitan surat berharga negara (SBN) Rp 197,1 triliun dan penarikan pinjaman Rp 1,3 triliun.
Realisasi pembiayaan defisit tahun ini melonjak dibandingkan periode sama tahun lalu. Pada Februari 2018, realisasi pembiayaan Rp 58,5 triliun atau 14,7 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, realisasi pembiayaan yang cukup signifikan terjadi karena Kemenkeu menerapkan strategi penerbitan lebih awal atau front loading. Penerbitan SBN dan penarikan pinjaman dibebankan pada awal tahun anggaran sehingga realisasi total pembiayaan sampai akhir Februari 66,7 persen.
”Kami sudah merealisasikan pembiayaan tahun ini cukup agresif karena mengantisipasi kenaikan suku bunga sekaligus memanfaatkan situasi pasar yang positif,” kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, kewaspadaan tetap harus tinggi kendati bank sentral AS, The Federal Reserve, menahan suku bunga acuan. Risiko ketidakpastian global yang berimbas ke kurs rupiah bisa bersumber dari dinamika Brexit dan perang dagang AS-China. Strategi front loading membuat Kemenkeu lebih leluasa melakukan pembiayaan sampai akhir tahun.
Di sisi lain, strategi front loading berimbas ke peningkatan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio utang pemerintah per Februari 2019 sebesar 30,33 persen atau meningkat dari Januari 2019 sebesar 30,10 persen.
Posisi utang pemerintah hingga akhir Februari 2019 sebesar Rp 4.566,26 triliun terdiri dari penerbitan SBN senilai Rp 3.775,79 triliun dan penarikan pinjaman Rp 790,47 triliun. Sementara utang jatuh tempo pada tahun 2019 sebesar Rp 382,74 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan, peningkatan rasio utang terhadap PDB karena utang bertambah akibat dari strategi front loading. Laju penarikan utang lebih cepat dibandingkan laju peningkatan PDB.
”Front loading memang di awalnya tinggi dulu. Nanti akan turun lagi bisa di bawah 30 persen PDB,” ujar Luky.
Peningkatan rasio utang terhadap PDB karena utang bertambah akibat dari strategi front loading. Laju penarikan utang lebih cepat dibandingkan laju peningkatan PDB.
Luky menuturkan, strategi front loading diperlukan karena ada jatuh tempo utang cukup besar pada Maret dan April. Setelah membayar utang jatuh tempo, rasio utang akan kembali turun karena sifatnya harga pas atau nett. Adapun penerbitan surat utang kotor (gross bond issuance) sampai pertengahan Maret sudah 25-26 persen.
Pemerintah akan menjaga rasio utang terhadap PDB dengan memanfaatkan utang untuk kegiatan produktif. Selain itu, akuntabilitas pengelolaan utang tetap dijaga dan efisiensi bunga utang ditingkatkan pada risiko terkendali.
Likuiditas
Menurut Luky, tidak akan terjadi pengetatan likuiditas akibat penerbitan SBN ritel yang dilakukan setiap bulan. Hingga pertengahan Maret, SBN ritel yang sudah diterbitkan Rp 15 triliun, sementara SBN ritel jatuh tempo mencapai Rp 31,5 triliun. Artinya, net kebutuhan masih negatif sehingga tidak ada pengetatan likuiditas.
Hal serupa juga terjadi pada penerbitan SBN institusi, baik dalam rupiah maupun valuta asing. Luky mengatakan, penerbitan SBN institusi valas atau disebut surat utang global dilakukan pada Januari-Februari untuk menghindari risiko pengeringan likuiditas di dalam negeri. Kemenkeu sudah menerbitkan green global sukuk senilai 2 miliar dollar AS.
”Kami menerbitkan SBN valas di awal tahun agar tidak berdampak negatif terhadap likuiditas di dalam negeri,” kata Luky.
Kemenkeu juga tengah mengkaji beberapa alternatif pembiayaan yang lebih inovatif, misalnya diaspora bond. Diaspora bond ini bisa dalam bentuk rupiah atau valas yang menyasar populasi diaspora Indonesia di seluruh belahan dunia.
Kekhawatiran pengeringan likuiditas akibat pemerintah gencar menerbitkan SBN sempat diungkapkan Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto. Dia berpendapat, ada potensi perebutan dana masyarakat antara berinvestasi di instrumen perbankan dan instrumen yang diterbitkan pemerintah.
Dalam APBN 2019, target penerbitan SBN bruto Rp 825,7 triliun, sedangkan SBN netto Rp 388,96 triliun. Kebutuhan pembiayaan utang tahun 2019 akan dipenuhi melalui lelang SBN dan surat berharga syariah negara (SBSN), masing-masing 24 kali.
”Saya menduga betul akan terjadi rivalitas dalam memperebutkan dana publik antara pemerintah dan perbankan,” kata Ryan.
Saya menduga betul akan terjadi rivalitas dalam memperebutkan dana publik antara pemerintah dan perbankan.
Di sisi lain, lanjut Ryan, korporasi tidak cuma mengandalkan sumber pendanaan dari kredit perbankan. Mereka juga memanfaatkan jalur pasar modal, seperti penawaran saham perdana kepada publik (initial public offering/IPO) dan penerbitan surat utang. Transaksi keuangan disarankan tetap menggunakan produk bank agar likuiditas tetap berputar.