Sejumlah orang bergegas ke luar gerbong, begitu pintu kereta terbuka di Stasiun Kebayoran Lama. Namun, selebihnya, tetap duduk di bangkunya. Lainnya, bertanya-tanya dengan wajah bingung.
”Masih terus ke Palmerah, ya?” ”Palmerah, belum Pak, satu stasiun lagi,” jawab penumpang lain. Jumat (29/3/2019) siang, commuter line (CL) mengalami gangguan. Ini bukanlah kejadian langka.
Para pengguna CL sudah terbiasa dengan cukup seringnya kereta massal itu mengalami gangguan. Pada saat musim hujan, biasanya alasannya ”gangguan sinyal”. Selebihnya, kenapa CL mengalami gangguan itu hanya tebak-tebakan di antara penumpang.
Siang itu, di emplasemen penumpang menumpuk. Mereka kebingungan. Menunggu kereta beroperasi? Tak tentu waktu. Atau melanjutkan perjalanan dengan moda lain. ”Para penumpang yang diburu waktu, silakan mencari alternatif angkutan lain,” terdengar pengumuman.
Ke luar stasiun, bukan persoalan gampang untuk meneruskan perjalanan. Memang banyak pilihan. Selain opang (ojek pangkalan), tidak jauh dari situ juga menumpuk berbagai pilihan ojek daring. Mereka menumpuk berbaur dengan kemacetan lalu lintas.
Angkot atau angkutan kota mengetem menambah semrawut kemacetan di kawasan stasiun Kebayoran Lama. Sebelah mana shelter bus kota atau Transjakarta. Tidak ada petunjuk. Berapa jauh dan ke arah mana bagi orang yang tidak biasa, butuh waktu untuk bertanya.
Kejadian nyata di atas merupakan gambaran bahwa integrasi angkutan umum belum selesai. Alur terintegrasinya angkutan umum sepertinya ”mudah”. Warga berangkat dari rumah berjalan kaki, bersepeda, atau naik kendaraan pribadi, angkot atau ojek. Kemudian beralih ke angkutan massal, CL atau sekarang MRT. Selanjutnya, dari stasiun atau shelter terakhir berjalan kaki ke tempat kerja atau tujuan perjalanan.
Namun, di lapangan, tampak masih butuh waktu dan kerja keras untuk mewujudkannya. Mencari parkir di sekitar stasiun bukanlah pekerjaan gampang karena penuh tidak ada tempat lagi. Sejumlah warga sekitar warga memanfatkan halaman atau lahan sekitarnya untuk bisnis parkir. Belum ada ”car pool” yang memadai.
Di sekitar stasiun pun kini malah semakin semrawut dengan parkir taksi, taksi daring hingga ojek daring di bahu jalan karena tidak disediakan tempat yang semestinya. Kawasan di sekitaran stasiun pun menjadi tempat kesemrawutan baru, lengkap dengan pedagang kaki lima yang menjajakan segala kebutuhan warga, dari makanan dan minuman hingga aksesori telepon seluler.
Kehadiran MRT yang disambut euforia luar biasa pun belum tentu bisa segera menarik pengguna kendaraan pribadi. Banyak di antara warga lebih memilih macet dengan tetap menggunakan kendaraannya. ”Macet, tapi mobil saya sejuk berpendingin udara,” alasannya. Mendengar musik atau siaran radio bisa mengusir kejenuhan.
Belum lagi, banyak orang masih bangga menggunakan kendaraan yang dianggap sebagai simbol kesuksesan atau strata ekonomi kelas atas.
MRT sepanjang 16 kilometer antara Bunderan HI-Lebak Bulus baru semacam embrio yang melayani lintasan utama jalan protokol. Selepas itu, orang masih butuh kemudahan untuk meneruskan atau menuju lokasi tujuannya.
Masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Butuh kemauan politik untuk mewujudkannya. Banyak kiat untuk ”memaksa” pengguna kendaraan pribadi guna beralih ke kendaraan umum.
Di sejumlah negara maju sudah terbukti berhasil melaksanakannya. Mereka memberlakukan pajak kendaraan yang tinggi, tempat parkir yang sulit (dan mahal), hingga sistem jalan berbayar alias electronic road pricing (ERP).
Ide jalan berbayar itu sebenarnya bukan hal baru pula. Gagasan itu sudah muncul 13 tahun lalu saat Sutiyoso menjabat Gubernur DKI Jakarta. Gubernur berganti-ganti, ERP pun sempat diuji coba. Namun, hingga kini, pelaksanaannya tak kunjung tiba.
Butuh keberanian untuk melaksanakannya. Itu kebijakan yang tidak popular, tidak seperti meresmikan beroperasinya MRT.
Butuh keberanian untuk melaksanakannya. Itu kebijakan yang tidak popular, tidak seperti meresmikan beroperasinya MRT.