Yang tersisa, dikumpulkan, lalu dipilah. Begitulah cara Lia (28) memperlakukan sampah di dapurnya. Menjelang akhir pekan, Sabtu (30/3/2019), bekas potongan sayuran, duri ikan, hingga nasi yang sudah basi, semua itu dibawa menuju sebuah tong berwarna biru bertuliskan ”komposter” di sudut rumahnya.
Hal yang dilakukan Lia menggambarkan aktivitas warga penghuni Rumah Susun Bambu Larangan, setidaknya selama lima bulan terakhir. Sejak November 2018, Suku Dinas Lingkungan Hidup Kota Jakarta Barat merencanakan rumah susun (rusun) di Kelurahan Cengkareng Barat, Cengkareng, Jakarta Barat, ini sebagai area percontohan untuk pengolahan sampah dari rumah.
Setiap warga rusun diminta untuk memilah sampah mereka, dari yang organik, kardus, dan plastik, untuk dapat dimanfaatkan kembali. Untuk sampah kardus dan plastik, dapat dijual ke bank sampah terdekat. Sementara itu, sisa sampah dapur diolah ke dalam tong komposter yang tersedia di setiap lantai rusun.
Yang namanya membiasakan hal baru, awalnya sulit sekali. Saat ini pun saya masih berusaha membiasakan diri rutin mengolah sampah di komposter.
Yudiono, Ketua RT 013 RW 005, Kelurahan Cengkareng Barat, yang juga penghuni rusun, membenarkan sulitnya memulai kebiasaan tersebut kepada 100 keluarga di rusun bagian blok A. Saat memulai pada Desember 2018 lalu, misalnya, warga belum mengerti bagaimana cara mengelola komposter yang benar.
Berbagai problem dialami. Misalnya, komposter yang membusukkan sampah organik biasa menimbulkan bau dan cacing. Hal ini menjadi keluhan warga. Bahkan, pernah suatu kali, cacing yang ada di dalam komposter tumpah ke lantai rusun hingga warga panik.
”Ya, memang sempat repot. Tapi mau bagaimana lagi, sudah jadi program dari suku dinas,” kata Yudiono.
Sekitar dua bulan berlalu, warga mulai belajar menyiasati pengolahan sampah. Komposter yang menimbulkan cacing selama proses pembusukan diakali dengan olesan detergen di bibir tong komposter. Cara ini membuat cacing tidak dapat keluar dari komposter, sekaligus mengurangi bau busuk yang ditimbulkan.
Siasat-siasat pengolahan sampah lainnya juga timbul dari inisiatif warga. Apriyani (40), misalnya, yang mempelajari sampah botol plastik. Sampah botol itu dapat dihargai lebih mahal apabila dalam keadaan bersih serta tutup dan botolnya dijual terpisah.
”Beda harganya bisa hingga dua kali lipat. Botol yang tidak kotor kena tanah dapat dihargai hingga Rp 6.000 per kilogram. Belum lagi apabila dipisah dengan tutup botolnya, juga dapat dihargai sekitar Rp 4.000 per kilogram,” kata Apriyani.
Wahyudin, Koordinator Wilayah Kebersihan Lingkungan Rusun Bambu Larangan, mengatakan, upaya pengurangan sampah dari rumah warga ini memberikan sumbangsih yang signifikan. Pada Januari lalu, produksi sampah organik menjadi komposter jumlahnya mencapai 566, 48 kilogram. Sementara itu, sampah yang dibawa ke bank sampah jumlahnya sekitar 251 kilogram.
”Saya pikir pengurangan sampah ini cukup signifikan apabila melihat jumlah sampah di Rusun Bambu Larangan yang mencapai 2 ton setiap bulan,” kata Wahyudin.
Ia mengatakan, jumlah pengurangan sampah rusun ini berpotensi terus ditekan. Pada Februari lalu, warga rusun juga berhasil mengurangi sampah hingga 759,7 kilogram dari jumlah total 1,7 ton sampah.
Jumlah pengurangan sampah rusun ini berpotensi terus ditekan. Pada Februari lalu, warga rusun juga berhasil mengurangi sampah hingga 759,7 kilogram dari jumlah total 1,7 ton sampah.
Butuhkesadaran
Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Kota Jakarta Barat Edy Mulyanto mengatakan, tantangan terbesar mengatasi masalah sampah adalah mewujudkan kesadaran warga. Sebab, di Jakarta Barat, hampir 60 persen sampah kota dihasilkan dari rumah tangga.
”Sebenarnya hanya butuh kesadaran warga untuk mengatasi sampah sejak dari rumah. Kalau mereka sadar untuk mengolah, biaya pembuatan komposter pun murah, hanya sekitar Rp 800.000. Tinggal disediakan carian bioaktivator untuk membusukkan sampah organik,” ujar Edy.
Dengan mengolah sampah dari rumah, biaya yang dialokasikan untuk mengangkut sampah bisa lebih efisien. Warga pun dapat memanfaatkan hasil olahan sampahnya untuk menambah penghasilan.
”Ambil contoh, hasil komposter yang berupa pupuk kompos cair dapat dimanfaatkan warga untuk urban farming. Kalau mau dijual pun, bisa dititipkan ke Bank Sampah Induk Satu Hati binaan Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Barat,” ungkap Edy.