Orang-orangan sawah itu menggendong seekor celeng yang terbuat dari kardus. Di dekat keduanya, terhampar sejumlah makanan kecil, sebuah kendi, dan beberapa botol minuman. Lalu, diiringi alunan tembang berbahasa Jawa, orang-orangan sawah beserta celeng yang digendongnya itu dibakar habis.
Prosesi yang dinamai sebagai Upacara Larung Celeng itu mewarnai peluncuran buku Menyusu Celeng, Sabtu (30/3/2019) malam, di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Menyusu Celeng, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, merupakan novel karya budayawan Sindhunata.
Di dunia seni dan penulisan tanah air, Sindhunata dikenal sebagai budayawan dan sastrawan. Pria kelahiran 12 Mei 1952 itu pernah menjadi wartawan Harian Kompas dan saat ini menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Basis yang fokus pada tema filsafat.
Di dunia sastra, Sindhunata antara lain dikenal lewat novel Anak Bajang Menggiring Angin. Sebagai penulis, Sindhunata juga dikenal melalui karya feature-nya tentang kehidupan wong cilik, juga melalui kolom sepak bolanya.
Meski baru diterbitkan pada Maret ini, Menyusu Celeng sebenarnya bukan karya Sindhunata yang benar-benar baru. Novel itu pernah diterbitkan pada tahun 1999 dengan judul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka.
“Penerbitan ulang buku ini kami rasa penting karena isinya sangat relevan dengan masa kini, masa di mana banyak orang berwatak celeng, yang sewenang-wenang dan menindas yang lain demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya,” ujar editor senior bidang sastra Gramedia Pustaka Utama, Mirna Yulistianti, dalam keterangan tertulis.
Penerbitan ulang buku ini kami rasa penting karena isinya sangat relevan dengan masa kini, masa di mana banyak orang berwatak celeng, yang sewenang-wenang dan menindas yang lain demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya
Namun, buku Menyusu Celeng juga memiliki perbedaan dengan Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka. Sebab, dalam Menyusu Celeng, Sindhunata menambahkan satu bab penutup yang tidak ada dalam buku terbitan sebelumnya. Selain itu, Menyusu Celeng juga dilengkapi dengan sampul baru yang dibuat oleh Alit Ambara, seniman yang kerap membuat poster untuk gerakan perlawanan rakyat.
Lukisan celeng
Menyusu Celeng bercerita tentang seorang pelukis yang membuat sejumlah lukisan tentang celeng atau babi hutan. Lukisan celeng itu lalu ditampilkan dalam sebuah pameran dan mendapat sambutan luas. Namun, sesudah pameran itu, masyarakat menjadi resah dengan kemunculan celeng.
Lalu, terjadilah peristiwa “geger celeng”. Celeng muncul di mana-mana, dari kampanye politik hingga pentas kesenian. Puncak dari semua peristiwa itu adalah terjadinya “pesta celeng” dalam sebuah pentas kesenian. Dalam peristiwa itu, para seniman dan penonton tiba-tiba menjadi celeng dan berperilaku seperti halnya celeng. Peristiwa itu dilukiskan Sindhunata sebagai berikut:
Sekarang mereka semua adalah celeng. Tak ada yang malu mengakui dirinya sebagai celeng. Tak ada yang tidak jujur menutup-nutup dirinya sebagai celeng. Mereka menari-nari sebagai layaknya celeng. Mereka menyanyi-nyanyi sebagaimana layaknya celeng. Musik pun membunyikan musik celeng. Yah, semuanya telah menjadi celeng…
Sindhunata menuturkan, novel Menyusu Celeng sebenarnya dibuat berdasar kisah pelukis Djoko Pekik saat mengerjakan sejumlah lukisan tentang celeng. Ada tiga lukisan Djoko Pekik yang dibahas dalam novel itu, yakni “Susu Raja Celeng”, “Berburu Celeng”, serta “Tanpa Bunga dan Telegram Duka”.
Tiga lukisan tersebut merupakan trilogi atau tiga karya yang masih berkaitan. Namun, yang paling menyedot perhatian adalah lukisan “Berburu Celeng” karena karya tersebut terjual dengan harga Rp 1 miliar pada tahun 1998.
“Saya mengikuti riwayat Pak Djoko Pekik ketika melukis celeng, lalu itu (celeng) merupakan ikon yang saya dapat dan saya kembangkan dengan imajinasi sastra yang saya punya,” ungkap Sindhunata sesudah peluncuran bukunya.
Saya mengikuti riwayat Pak Djoko Pekik ketika melukis celeng, lalu itu (celeng) merupakan ikon yang saya dapat dan saya kembangkan dengan imajinasi sastra yang saya punya
Dalam Menyusu Celeng, Sindhunata sebenarnya lebih banyak menghadirkan celeng sebagai simbol sifat jahat yang ada dalam diri manusia. Melalui novel itu, Sindhunata seperti mengingatkan, sifat celeng bisa muncul dalam diri siapa saja, dari penguasa hingga orang-orang biasa. “Percelengan itu sungguh-sungguh menjadi dunia kita sekarang, dalam politik, ekonomi, budaya, bahkan agama,” ungkapnya.
Yang menarik, dalam novel yang pertama kali terbit tahun 1999 ini, Sindhunata seolah meramalkan bahwa tumbangnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 tidak akan serta merta meniadakan kekuasaan jahat yang menyengsarakan rakyat.
Percelengan itu sungguh-sungguh menjadi dunia kita sekarang, dalam politik, ekonomi, budaya, bahkan agama
Dengan memakai analogi dalam buku ini, bisalah kita bilang bahwa tertangkapnya satu celeng—seperti digambarkan dalam lukisan “Berburu Celeng” karya Djoko Pekik— ternyata tidak membuat sifat jahat celeng menjadi sirna. Justru, seperti kita lihat sekarang, terus muncul celeng-celeng baru yang kian rakus dan kejam sehingga Indonesia hari ini masih dipenuhi oleh para celeng.
Dalam situasi seperti itu, haruskah kita ikut-ikutan menjadi celeng?