Menakar Janji Para Kandidat di Sektor Pemerintahan
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Calon presiden Joko Widodo dan calon presiden Prabowo Subianto mengakhiri debat keempat capres yang diselenggarakan KPU di Jakarta, Sabtu (30/3/2019).
JAKARTA, KOMPAS – Isu pemerintahan menjadi salah satu fokus perhatian kedua calon presiden saat debat keempat Pemilu Presiden 2019, Sabtu malam (30/3/2019). Keduanya pun menawarkan sejumlah janji dalam upaya perbaikan tata kelola pemerintahan dan peningkatan kualitas sumber daya aparatur negara.
Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 01 Joko Widodo, misalnya, melihat tantangan birokrasi ke depan adalah percepatan pelayanan dan segala urusan tata kelola pemerintahan. Oleh karena itu, penyederhanaan kelembagaan dan penerapan pelayanan berbasis elektronik menjadi hal yang krusial dalam upaya pembenahan birokrasi.
Capres Nomor Urut 02 Prabowo Subianto pun sepakat, teknologi informatika sangat vital di pemerintahan. Namun, itu menjadi percuma jika tata kelola pemerintahan tak segera dibenahi, seperti kasus jual-beli jabatan, perbaikan kesejahteraan aparatur sipil negara.
Kompas mencoba merangkum janji-janji yang disampaikan kedua kandidat dalam bidang pemerintahan dalam debat semalam.
Janji yang disampaikan Jokowi:
Pemerintahan Dilan (Digital Melayani)
Kecepatan layanan publik dengan sistem berbasis elektronik dan penguatan koneksi pusat dan daerah.
Penyederhanaan kelembagaan agar tidak berbelit-belit.
Peningkatan SDM ASN.
Sistem yang baik sebagai kunci bersih dari korupsi.
Janji yang disampaikan Prabowo:
Pemerintahan kuat, efektif, bersih dari korupsi dan jual-beli jabatan.
Memperbaiki kesejahteraan ASN.
Transparansi sistem dengan pemanfaatan teknologi informatika.
Single identity card.
Tidak perlu kecepatan, yang penting pemerintah menjamin kekayaan Indonesia tetap di dalam negeri.
Kapasitas SDM
Ketua Komisi ASN Sofian Effendi kepada Kompas, Minggu (31/3/2019), gagasan-gagasan yang muncul dari para kandidat masih belum menyentuh substansi persoalan pemerintahan ke depan. Penerapan teknologi informasi memang penting dalam upaya percepatan pelayanan dan tata kelola pemerintahan, tetapi bukan yang utama.
Seharusnya, ada solusi konkret pembenahan kualitas ASN. Sebab, mutu ASN mulai mengkhawatirkan dengan dibukanya jalur tenaga honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) setara PNS.
"Selama empat tahun pemerintah melakukan moratorium pengangkatan ASN. Hal itu mengakibatkan pelayanan publik kita tertinggal, ada kekosongan tenaga guru dan tenaga kesehatan di daerah-daerah," kata dia.
Sofian menambahkan, untuk mengatasinya lalu diangkat guru honorer dengan jumlah banyak tetapi kualitas rendah. Mutunya tak standar di seluruh Indonesia. Itu yang menyebabkan kinerja pendidikan dan kesehatan kita rendah.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Wali Amanat UGM Sofian Effendi Kompas/Hendra A Setyawan (HAS) 19-05-2014
Tak hanya itu, Sofian menuturkan, mayoritas ASN masih belum berwawasan global. Dia menyebut, hampir 73 persen pegawai ASN adalah pegawai daerah yang mana merupakan putera daerah setempat. Ini akibat dari rekrutmen desentralisasi.
"Tak ada pemerataan atau solusi konkret mendidik mereka supaya berwawasan global. Kalau begini terus, enggak match ini dengan tantangan baru. Apalagi, Indonesia menargetkan birokrasi kelas dunia pada 2024 mendatang," ujar Sofian.
Jual-beli jabatan
Tantangan serius lain ke depan adalah jual-beli jabatan di birokrasi. Gebrakan dari Komisi Pemberantasan Korupsi melalui operasi tangkap tangan, bagi Sofian, belum efektif 100 persen menghilangkan kasus transaksional tersebut.
Tantangan serius lain ke depan adalah jual-beli jabatan di birokrasi. Gebrakan dari Komisi Pemberantasan Korupsi melalui operasi tangkap tangan, belum efektif 100 persen menghilangkan kasus transaksional tersebut.
Nyatanya, Sofian meyakini, hampir 90 persen dari 18 kementerian/lembaga melakukan praktik seperti di Kementerian Agama. Permasalahan ini tak akan pernah selesai kalau pemerintah tak tegas memisahkan antara kepentingan birokrasi dan politik.
"Hampir 18 kementerian/lembaga dekat dengan politik. Nah, di situ banyak terjadi jual-beli jabatan dan bisa terjadi tawar-menawar," katanya.
Pun, lanjut Sofian telah dibentuk talent pool dalam upaya memperketat proses penyaringan jabatan pimpinan tinggi, tetapi itu tak efektif berjalan. Dari 22 ribu posisi JPT saja, calon di talent pool hanya mencapai 1.000-2.000 orang setiap tahunnya. Itu karena keterbatasan anggaran. Seharusnya, paling tidak bisa dua kali lipat dari posisi yang ada.
"Jadi, ada calon-calon yang bagus, tetapi kurang dari segi kemampuan karena enggak ada training untuk membangun kapastitas yang diperlukan. Gimana orang bisa naik kapasitas kalau tak ada pelatihan. Di situ kelemahannya, talent pool kita baru mengukur potensi tetapi belum membangun kompetensi," tegas Sofian.