Lambaian Perpisahan Boyzone
Panggung serba hitam dengan layar raksasa adalah milik empat pria setengah baya ini. Setelah 25 tahun bermusik bersama, Boyzone menutup masa mereka dengan tur konser perpisahan. Sebuah konser yang berlangsung hangat, erat dengan nostalgia.
Berselang dekade sebelum boy band dari Korea Selatan menjadi idola remaja masa kini, boy band dari Eropa dan Amerika pernah merajai era 1990-an hingga awal 2000-an. Boyzone salah satunya. Grup vokal asal Irlandia ini salah satu idaman para gadis. Lagu-lagu mereka jadi hafalan luar kepala. Kaset album mereka seolah barang yang harus dimiliki, lengkap beserta poster berbagai pose untuk ditempel di dinding kamar.
Masa berganti. Namun, ketika Boyzone tampil kembali di Jakarta, Minggu (24/3/2019), antusiasme memuncak. Seribuan tiket habis dalam tiga hari saat masa presale. Terlebih, ini tur dunia terakhir mereka dalam sebuah grup sebelum membubarkan diri pada Oktober mendatang. Konser itu bertajuk Boyzone Thank You and Good Night Farewell Tour 2019.
Ribuan orang memenuhi ruangan Tennis Indoor Senayan, Jakarta. Sebagian besar dari penonton konser yang digelar Fullcolour Entertainment didukung Traveloka ini adalah perempuan berusia 30-an tahun. Mereka datang bersama keluarga, anak, rekan, atau pasangan.
Jeni (37) mengajak Fabian (9), anak lelakinya, datang menonton. Berbekal telepon pintar dan makanan ringan, Fabian duduk lesehan di sisi kanan ruangan konser. Ia asyik bermain gim. Sementara sang ibu sibuk memotret panggung. ”Kebetulan diajak karena enggak ada yang jagain. Karena ini Boyzone, dan terakhir kali, jadi harus datang,” ujar Jeni yang datang dari Depok.
”Paling suka lagu ’Love Me for a Reason’,” kata Jeni.
Di panggung, Isyana Sarasvati tampil sebagai pembuka. Isyana menghangatkan suasana dengan membawakan tiga lagu.
Ketika satu per satu personel boy band ini muncul di panggung, Jeni bersama penggemar yang rata-rata ibu-ibu muda itu pun histeris. Meski gaya dan penampilan—termasuk berat tubuh—personel Boyzone tidak sama lagi dengan tampilan di sampul kaset mereka dahulu, teriakan antusias penonton tetap susul-menyusul.
Ronan Keating, Keith Duffy, Mikey Graham, dan Shane Lynch yang berkostum hitam-hitam dengan aksen emas lalu melantunkan ”Who We Are”dari album kelima mereka. Dengan gerakan seirama yang sederhana, mereka melanjutkan dengan lagu ”Love is a Hurricane” dan ”Isn’t It a Wonder” secara berturut-turut.
”Selamat malam Jakarta, selamat datang di konser Boyzone,” ujar Keith Duffy membuka obrolan. ”Malam ini kita akan bernyanyi bersama lagu-lagu yang menemani kami selama 25 tahun.”
Sejumlah lagu dari album ketiga mereka, Where We Belong, lalu dilantunkan, di antaranya ”Baby Can I Hold You” dan ”All the Way You Love Me”. Penonton bergemuruh, mengikuti lirik yang dilantunkan keempat pria ini di atas panggung.
”Kami pertama kali datang ke Jakarta tahun 1995. Sejak saat itu punya hubungan erat dan spesial dengan kalian, dengan negara ini,” ucap Ronan Keating. ”Dan malam ini, setelah 25 tahun, adalah malam terakhir kita. Banyak memori berkesan di sini. Lagu-lagu ini mungkin akan mengingatkanmu dengan ciuman pertamamu, atau...,” lanjutnya sembari tertawa.
Mereka lalu melanjutkan aksi dengan ”All That I Need”, ”Because”, ”Words”, juga lagu sentimental hubungan ayah dan anak, ”Father and Son”,milik Cat Stevens yang dikemas ulang oleh grup ini. Videoklip lawas lagu mereka yang tampil di layar membuat penonton makin larut dalam nostalgia.
”Anjrit, lawas banget nih lagu,” kata seorang penonton pria yang asyik bernyanyi dari awal hingga akhir lagu ”Words”.
Perjalanan
Boyzone memulai kiprahnya sejak 1993, sekitar 25 tahun lalu. Bermula dari iklan audisi boy band yang dipasang oleh Louis Walsh di sebuah koran, personel boy band ini berkumpul. Selain Ronan Keating, Keith Duffy, Mikey Graham, dan Shane Lynch, juga ada Stephen Gately.
Walsh ingin membuat boy band Irlandia yang serupa Take That, boy band Inggris yang lebih dulu sukses merajai pasar. Di kemudian hari, Walsh juga menjadi sosok di balik boy band spektakuler Irlandia lainnya, Westlife.
Keating dan kawan-kawan menelurkan album pertama kali pada 1995, berjudul Said and Done.Album berisi 13 lagu ini mendapat atensi besar di Inggris dan Irlandia, lalu tersebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Setelah album pertama tersebut, Boyzone terus melaju bersama pendengarnya. Mereka merilis tiga album dalam lima tahun. Popularitas mereka menanjak. Penjualan album meroket dahsyat. Album keempat mereka, By Request,yang merupakan album kompilasi, terjual 4 juta kopi.
Seiring dengan itu, di awal tahun 2000, boy band ini memutuskan hiatus. Selama tujuh tahun personel mereka sibuk dengan karier masing-masing. Keating dan Gately asyik dengan album sendiri, sedangkan Duffy sibuk jadi aktor.
Pada 2008, mereka berkumpul kembali dan membuat tur panjang. Tur ini sekaligus yang terakhir bagi Gately. Ia meninggal mendadak pada 2009.
Oleh karena itu, konser tur dunia terakhir Boyzone ini juga dipersembahkan untuk Gately. Potongan video wawancara setiap personel muncul di layar. Mereka memberikan testimoni sosok rekan mereka yang meninggal karena gangguan pernapasan tersebut. Potongan video tentang Gately juga mengikuti. Video diambil dari perjalanan tur, pembuatan album, atau potongan video musik.
Keempat orang ini lalu berkumpul membentuk lingkaran kecil. Di tengah mereka, lampu sorot yang menempel di lantai panggung menyala terang ke atas.
”Dia (Gately) tidak pernah pergi. Semangatnya selalu mengiringi kami. Sinar lampu tadi serupa semangat Gately,” tutur Duffy. Suara Gately lalu muncul di beberapa lagu. Para personel menunjuk tangan ke atas. Penonton bersorak bercampur haru.
Konser Boyzone ini seolah terbagi dalam tiga babak. Jika babak pertama adalah perkenalan, juga nostalgia, babak kedua mereka khususkan untuk rekan mereka yang telah berpulang. Sementara babak ketiga adalah perpisahan yang disambut hiruk-pikuk.
Meski demikian, aksi empat lelaki baya ini cukup sederhana. Dengan panggung besar tanpa band pengiring, hanya ada sesekali seorang perempuan penyanyi pengiring, aksi mereka cenderung tidak neko-neko. Goyangan kecil, turun sekali dari panggung menyapa penggemar, atau memanggil dua penonton untuk naik berfoto adalah aksi paling ”heboh” mereka.
Selebihnya hampir tidak ada yang melekat. Kualitas suara mereka tak begitu memikat. Umur yang tidak semuda dulu sepertinya berpengaruh besar. Konser ini tidak menyajikan sebuah perpisahan spektakuler.
Lagu ”Talk about Love”, ”Nothing at All”, ”Love Me for a Reason”, dan ”No Matter What” menjadi pamungkas di sesi akhir konser yang berlangsung dua jam tersebut. ”Terima kasih Jakarta, terima kasih menemani kami,” ucap mereka bergantian.
Yesika (36) sedih mendengar Boyzone akan bubar. Perempuan yang datang bersama tiga rekannya ini mendengarkan lagu-lagu Boyzone saat masih duduk di sekolah menengah pertama. Lagu-lagu boy band ini menemaninya dalam romansa cinta-cinta monyet. ”Mudah-mudahan enggak benar-benar bubar, cuma gimik gitu....”