Ketika PPPK Menjadi Rumah Honorer

Pegawai honorer dari berbagai wilayah berunjukrasa di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI, Jakarta, Selasa (15/9/2015). Mereka menuntut diangkat menjadi pegawai negeri sipil.
Ketika tuntutan menjadi pegawai negeri sipil terbentur undang-undang, pemerintah membuka pintu pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK bagi honorer. Padahal PPPK didesain bagi tenaga-tenaga profesional di luar birokrasi untuk memperkuat birokrasi. Alhasil reformasi birokrasi dipertaruhkan.
Saat Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) disusun, muncul keinginan untuk mendorong tenaga-tenaga profesional di luar birokrasi agar masuk ke birokrasi.
Keinginan ini berangkat dari banyak hal. Salah satunya, di antara pegawai negeri sipil (PNS) yang ada, tidak banyak yang memiliki kapasitas untuk menjawab tantangan jaman. Padahal birokrasi merupakan elemen penting pemerintah untuk memajukan negara dan masyarakatnya.
Hal lain, masuknya “orang luar” ke birokrasi diharapkan bisa menularkan budaya kerja baru yang akhirnya bisa memompa kinerja PNS di birokrasi. Mereka juga diharapkan memberi “warna baru” di tengah kecenderungan PNS yang minim inovasi.
Hingga akhirnya, pemerintah dan DPR memasukkan jenis pegawai baru di birokrasi yang dinamakan PPPK. Di Pasal 6 UU 5/2014 ditegaskan, pegawai ASN terdiri atas PNS dan PPPK.

Peserta seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) saat menunggu dimulainya tes di kantor Walikota Jakarta Selatan, Jumat (26/10/2018).
Setelah UU 5/2014 disahkan, sejumlah instansi pemerintah pun langsung menangkap peluang yang dihadirkan dari PPPK itu.
Direktur Keuangan PT Aneka Tambang Aloysius Kiik Ro misalnya. Dia mundur dari jabatannya, pertengahan 2015, setelah direkrut menjabat Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Di akhir 2015, Sejarawan Hilmar Farid direkrut menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Padahal sebelumnya, jabatan-jabatan tinggi di kementerian itu hanya bisa diisi oleh PNS.
Wakil Ketua Komisi ASN (KASN) Irham Dilmy mengatakan, perekrutan tenaga-tenaga profesional itu memang dibutuhkan karena ada jabatan-jabatan struktural di pemerintahan yang sulit diisi oleh 4,3 juta PNS yang ada.
"Saat ini PNS didominasi administrasi umum yang kebanyakan tidak jelas kerjanya. Karena enggak ada PNS yang paham betul soal misalnya, ekonomi kreatif, kebudayaan, dan teknik khusus, maka dicarilah tenaga-tenaga profesional melalui PPPK, entah dari kalangan pengusaha, dosen, atau diaspora," kata Irham.
Sebagai catatan, berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), dari total 4.351.390 aparatur sipil negara, ada 1.643.535 aparatur atau 37,70 persen yang mengisi posisi jabatan administrasi umum.

Kelas dunia
Namun seiring tuntutan honorer untuk menjadi PNS yang terus muncul, pemerintah luluh. Mulai Februari lalu, PPPK yang semula diperuntukkan bagi tenaga profesional, justru digunakan untuk honorer.
"UU ASN tak pernah sebutkan PPPK untuk honorer. Ini salah kaprah dan melenceng dari filosofi PPPK," kata Irham.
Begitu pula pandangan Anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional, Siti Zuhro. Dia dengan tegas menyebutkan, PPPK yang diatur dalam UU ASN bukan rumah untuk tenaga honorer. "Itu yang harus diluruskan. Kebijakan tersebut tak semestinya disalahgunakan," tuturnya.
Lagipula 438.590 honorer yang ada di instansi-instansi pemerintahan itu, sudah pernah mengikuti seleksi menjadi CPNS tahun 2013 dan 2014, dan dinyatakan tidak lulus. Artinya, dari sisi kapasitas, mereka diragukan untuk bisa menjadi ASN.
Baca juga : Isu Honorer Sejak Awal Orde Baru
Jadi, jika mereka dipaksakan menjadi ASN, gerak maju reformasi birokrasi sejak reformasi 1998 akan dipertaruhkan.
Sebab, salah satu syarat penting terwujudnya reformasi birokrasi adalah sumber daya manusia yang berkualitas.
Apalagi jika melihat rekrutmen untuk pegawai negeri sipil dari 2005 hingga 2014, mayoritas sudah berasal dari jalur honorer. Di rentang waktu itu, 1,1 juta honorer direkrut sedangkan dari jalur pelamar umum sekitar 850.000. Jumlah 1,1 juta honorer itu sudah sekitar 25 persen dari jumlah PNS, dan sebagian diantaranya mengisi jabatan administrasi.

Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo pun mengingatkan, peta jalan reformasi birokrasi 2010-2025 yang sudah menjadi pegangan setiap pemerintahan untuk menuntaskan reformasi birokrasi sekaligus mewujudkan pemerintahan kelas dunia.
Pemerintahan kelas dunia merupakan sebuah keniscayaan di tengah kompetisi global yang kian ketat. Hal itu pula yang didambakan oleh publik karena akan mendorong pelayanan kepada publik lebih optimal.
Baca juga : Menakar Janji Para Kandidat di Sektor Pemerintahan
Termasuk di peta jalan itu, jabatan fungsional seperti auditor, akuntan, dosen, analis kebijakan, dokter, secara bertahap akan diisi oleh PPPK dari kalangan profesional.
"Kalangan profesional memiliki sertifikasi kompetensi dan pengalaman. Hal ini untuk mempercepat perubahan birokrasi karena ketersediaan tenaga profesional di luar birokrasi maupun kepentingan untuk mengubah budaya birokrasi," tutur mantan Wakil Menpan RB tersebut.

Tantangan besar
Kini, nasi sudah menjadi bubur. Sebagian honorer sudah terlanjur mengikuti seleksi untuk menjadi PPPK gelombang pertama dari dua gelombang yang direncanakan, dan kini tinggal menanti pengumuman hasil seleksi.
Dengan demikian, menurut Irham, perlu ada strategi yang dipikirkan oleh pemerintah untuk memastikan mereka yang lolos seleksi, tetap bisa berkontribusi positif pada negara dan publik, dan tidak justru menjadi beban negara.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana memastikan, bagi mereka yang lolos, akan ada pelatihan untuk meningkatkan kapasitas. Jadi, kehadiran mereka tetap bisa mengdongkrak performa birokrasi.
"Kan, kalau dia memberikan pelayanan publik, maka harus dilatih dulu. Enggak bisa langsung (kerja). Mereka harus dilatih," ujar Bima.
Baca juga : Capres Sajikan Debat Berkualitas
Pelatihan bagi honorer yang lolos menjadi PPPK disebutnya tak akan berbeda jauh dengan pelatihan untuk menjadi PNS. "Konsepnya sama, seperti yang diatur di UU ASN," tuturnya.
Namun apakah hanya dengan pelatihan itu cukup untuk meningkatkan kapasitas para honorer? Kita harapkan demikian. Sebab jika tidak, rakyat dan negara yang menjadi korbannya.