Kisah tentang Pangeran Diponegoro di berbagai tempat, termasuk di Kota Magelang, Jawa Tengah, cenderung disusun tanpa memperhatikan akurasi sejarah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Kurator Mikke Susanto (paling kiri) menjelaskan makna lukisan tentang Pangeran Diponegoro pada Wakil Wali Kota Magelang Windarti Agustina di Magelang, Jawa Tengah, Jumat (29/3/2019).
MAGELANG, KOMPAS - Kisah tentang Pangeran Diponegoro di berbagai tempat, termasuk di Kota Magelang, Jawa Tengah, cenderung disusun tanpa memperhatikan akurasi sejarah. Hal ini, antara lain, terlihat dari sejumlah hal pendukung cerita, seperti perabotan serta identifikasi ruangan, yang tidak sesuai dengan cerita yang dikisahkan dalam Babad Diponegoro.
Babad Diponegoro adalah naskah kuno yang berisi kisah hidup Pangeran Diponegoro pada tahun 1785-1855. Naskah ini ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro.
Ketua Umum Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) Roni Sodewo, Sabtu (30/3/2019), mengatakan, cerita sejarah yang keliru tersebut antara lain terlihat dari meja dan kursi yang ditempatkan di Museum Diponegoro di Kantor Badan Koordinasi Lintas Wilayah (Bakorwil) II. Dahulu, bangunan museum itu merupakan Kantor Residen Belanda.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Salah satu slogan dari Pangeran Diponegoro dicetak dan dipasang di pameran Gerakan Melek Sejarah di Kantor Bakorwil II Magelang, Jawa Tengah, Jumat (29/3/2019).
Roni mengatakan, satu set meja dan kursi tersebut selalu disebutkan sebagai meja dan kursi yang dipakai oleh Pangeran Diponegoro dan Jenderal De Kock, sesaat sebelum Diponegoro ditangkap. Padahal, pada kenyatannya, meja dan kursi tersebut diambil dari Yogyakarta dan ditempatkan di Museum Diponegoro sekitar tahun 1970-an.
Jika berdasarkan Babad Diponegoro, Pangeran Diponegoro dan De Kock ketika itu duduk di satu kursi panjang di ruang kerja De Kock. Adapun meja dan kursi yang ada di Museum Diponegoro saat ini terlihat sebagai meja dan kursi santai. Masing-masing kursi itu adalah kursi untuk satu orang.
Cerita ini pun makin kacau karena goresan di kursi itu selalu diceritakan sebagai bekas tangan dari Pangeran Diponegoro sebagai bentuk kemarahannya yang meluap kepada Belanda. Cerita ini, menurut Roni, pada akhirnya mengarahkan fokus perhatian masyarakat pada hal yang keliru.
Namun, yang terjadi, dua gedung tersebut lebih banyak difungsikan untuk acara pesta pernikahan.
“Mendengar cerita bekas tangan itu, setiap orang terutama anak-anak, akan berpikir bahwa menjadi tokoh seperti Pangeran Diponegoro harus memiliki kemampuan sakti madraguna. Mereka, anak-anak, tidak lagi terfokus mendengarkan pada cerita tentang semangat, keteguhan hati, dan kegigihan Pangeran Diponegoro saat berjuang,” ujar Roni.
Roni mengatakan, pihak keluarga pun menyayangkan sikap pemerintah yang tidak serius memperlakukan tempat-tempat terkait kisah perjuangan Pangeran Diponegoro sebagai tempat bersejarah. Banyak gedung, seperti kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, Yogyakarta, dan Museum Diponegoro, tidak dirawat dengan baik dan tidak difungsikan sebagai mestinya.
“Rumah dan museum semestinya bisa dimanfaatkan sebagai pusat kajian perjuangan atau obyek wisata sejarah. Namun, yang terjadi, dua gedung tersebut lebih banyak difungsikan untuk acara pesta pernikahan,” ujarnya.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Salah satu buku tentang Pangeran Diponegoro karya Peter Carey
Peter Carey, sejarawan asal Inggris yang banyak mempelajari kisah tentang Pangeran Diponegoro, mengatakan, di Indonesia, ada empat kamar atau ruangan yang terkait dengan kisah perjuangan Pangeran Diponegoro. Selain kamar yang menjadi lokasi perundingan dan penangkapan, tiga kamar lain adalah kamar yang dipakai menjadi ruang tahanan atau pengasingan Pangeran Diponegoro.
Satu kamar di Jakarta, menurut dia, saat ini sudah ditata agar sebisa mungkin mendekati kisah yang dituliskan dalam Babad Diponegoro. Kamar ini akan dibuka sebagai obyek wisata sejarah pada April.
Sementara, penataan serupa belum dilakukan di tiga kamar yang lain. “Tiga kamar yang lain saat ini masih disusun, ditata berdasarkan data sejarah yang disusun acak-acakan,” ujar Carey.
Carey mengatakan, perlu ada penelitian lebih mendalam menyangkut sejarah yang terjadi di kamar tersebut. Hanya dengan cara itulah maka sejarah bisa disampaikan secara lengkap dan apa adanya.