Akhirnya, senjata terakhir Perdana Menteri Inggris Theresa May dikeluarkan. Ia menyatakan akan mundur dari jabatannya asalkan para pembangkang di partainya mendukung kesepakatan Brexit yang telah ditolak dua kali di parlemen Inggris.
Ironisnya, "pengorbanan" tertinggi May itu tetap tak mampu menyelamatkan kesepakatan Brexit. Parlemen Inggris untuk ketiga kalinya menolak kesepakatan itu, Jumat (29/3/ 2019) malam, dengan suara 344 berbanding 286. Dari 317 anggota Partai Konservatif, masih ada 34 orang yang tetap membangkang. Penolakan secara solid juga datang dari mitra koalisi Konservatif, Partai Unionis Demokratik asal Irlandia Utara yang memiliki 10 kursi di parlemen.
Berdasarkan ultimatum Brussels, Inggris diberi perpanjangan tenggat Brexit dalam dua pilihan. Jika parlemen Inggris menerima kesepakatan Brexit, perpanjangan akan diberikan sampai 22 Mei. Namun, jika parlemen menolak lagi kesepakatan itu, perpanjangan diberikan hanya sampai 12 April dan Inggris harus menentukan akan melangkah ke mana.
Dengan penolakan yang ketiga kali ini, berarti proses Brexit kembali ke titik awal, kembali ke titik buntu. Hanya dalam waktu kurang dari dua pekan (sampai 12 April) Inggris harus memutuskan, apakah akan berpisah dari Uni Eropa tanpa kesepakatan atau akan kembali ke Brussels untuk meminta perpanjangan waktu. Jika melihat kuatnya penolakan terhadap opsi tanpa kesepakatan di parlemen, kemungkinan besar Inggris akan meminta kembali perpanjangan waktu.
Pertanyaannya, akan sampai kapan, mengingat Eropa akan menggelar pemilu legislatif yang prosesnya akan dimulai, 10 April. Ini berarti, Inggris harus mengikuti pemilu Eropa, yang ditentang kubu pro-Brexit. Pertanyaan lebih krusial: apa yang akan dilakukan dengan perpanjangan waktu itu?
Pekan lalu parlemen Inggris melakukan "indicative votes", sejumlah opsi yang mungkin akan didukung mayoritas anggota parlemen. Langkah yang tak biasa itu dilakukan atas inisiatif parlemen. Hasilnya? Dari delapan opsi yang ditawarkan parlemen, tak satu pun opsi didukung mayoritas.
Meski demikian, Ketua DPR akan memilih dua opsi yang paling minim selisih suaranya untuk divoting kembali, Senin besok. Yaitu, Inggris tetap berada dalam pabean Uni Eropa, dan publik Inggris akan memberikan suaranya terhadap keputusan akhir. Apakah keputusan yang dihasilkan parlemen besok akan menjadi pendobrak kebuntuan, masih menjadi tanda tanya.
Di tengah situasi yang makin tak menentu ini, fokus kubu-kubu politik di Partai Konservatif mulai teralihkan pada perebutan kursi PM.
Yang pasti, di tengah situasi yang makin tak menentu ini, fokus kubu-kubu politik di Partai Konservatif mulai teralihkan pada perebutan kursi PM. Sejumlah nama disebut-sebut sebagai kandidat kuat, di antaranya Michael Gove, Boris Johnson, dan Wakil PM de facto David Lidington. Muncul kekhawatiran jika kursi PM jatuh ke tangan tokoh-tokoh pro-hard Brexit, seperti Boris Johnson yang mendukung Brexit tanpa kesepakatan.
Perempuan tangguh
Tiga tahun lalu, tak lama setelah Inggris melaksanakan referendum 2016, May menjadi PM menggantikan David Cameron. Perempuan tangguh ini mengalahkan semua kandidat ketua partai yang kini memperebutkan kursinya, termasuk Boris Johnson dan Michael Gove.
May dikenal sebagai sosok pekerja keras yang ulet dan pantang mundur. Ia menjadi harapan rakyat untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa dengan selamat.
Namun, pekerjaan rumah yang dihadapi May demikian besar. Kubu yang mengampanyekan Brexit nyatanya tidak memiliki cetak biru mengenai akan dibawa ke mana Inggris pasca-Brexit. Dengan modal keteguhan, pemerintahan May melakukan negosiasi selama dua tahun dengan Brussels melalui dinamika dan tarik menarik yang keras.
Apa daya, nasi kini telah menjadi bubur. Kita hanya bisa mengenang May sebagai perdana menteri perempuan yang tahan banting, yang melawan semua kecaman dan cacian dengan kepala tegak.
Namun, May kemudian tergelincir. Ia memerintahkan percepatan pemilu untuk memperkuat posisi Konservatif di parlemen. Alih-alih memperoleh tambahan kursi, Konservatif justru kehilangan posisinya sebagai mayoritas di parlemen. Bukan hanya itu, sebagian anggota parlemen Konservatif yang terpilih adalah pendukung hard Brexit yang selanjutnya menjadi duri dalam tubuh partai.
Kelemahan lainnya, May cenderung tunduk pada keinginan para pembangkang. Dia menghabiskan waktu dan energinya selama dua tahun untuk memenuhi keinginan mereka, termasuk gagasan untuk keluar dari pasar tunggal Eropa.
May yang kaku dan keras kepala mengabaikan imbauan para penasihatnya agar ia lebih intens melakukan pendekatan lintas partai. Imbauan ini sangat masuk akal karena jumlah anggota parlemen di kubu oposisi yang mendukung soft Brexit (tetap dekat dengan Eropa) cukup untuk membangun kekuatan mayoritas di parlemen.
Apa daya, nasi kini telah menjadi bubur. Kita hanya bisa mengenang May sebagai perdana menteri perempuan yang tahan banting, yang melawan semua kecaman dan cacian dengan kepala tegak. Ia tak kenal menyerah untuk mendesak Brussels memberikan konsesi dan kompensasi pada Inggris.
Namun, waktu tak memihak dirinya. Era Theresa May telah berakhir.