TVRI Berupaya Rombak Stigma
Seiring perkembangan di era digital ini, TVRI mengubah konten penyiarannya. Upaya reformasi internal pun dilakukan.
JAKARTA, KOMPAS — Televisi Republik Indonesia berupaya keras merombak stigma negatif sebagai Lembaga Penyiaran Publik jadul yang sulit mengikuti perkembangan zaman. Upaya itu dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya mengubah logo.
Peluncuran logo baru TVRI berlangsung pada Jumat (29/3/2019) malam di Auditorium TVRI, Senayan, Jakarta yang diikuti pula 29 stasiun lokal TVRI di 29 kota. Logo baru ini adalah logo kedelapan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang berdiri pada 24 Agustus 1962 tersebut.
“Logo TVRI sebelumnya telah dipakai lebih dari 12 tahun. Kita sekarang memasuki era digital yang tak bisa dielakkan. Karena itulah, logo TVRI berbentuk bulatan besar yang menggambarkan dunia dan bulatan kecil yang menggambarkan Indonesia. Logo baru ini menekankan, budaya Indonesia adalah bagian dari dunia,” kata Direktur Utama TVRI Helmy Yahya.
Bersamaan dengan pergantian logo, TVRI menyiapkan sejumlah program-program siaran unggulan ke depan. Beberapa konten yang akan disajikan kepada masyarakat, antara lain menayangkan 10 pertandingan bulu tangkis dunia yang digelar Federasi Bulutangkis Dunia (BWF), menayangkan program pendidikan dan animasi pembelajaran Badanamu bekerja sama dengan PT Bada Rock Nusantara, menayangkan film-film dokumeter bekerja sama dengan Discovery Channel, dan menayangkan program komedi situasi “Keluarga Medsos” seminggu sekali.
“Kami peduli dengan pendidikan anak dengan menayangkan Badanamu, dengan maskot badak bercula satu berpeci serta berkacu merah putih seperti Pramuka. Mulai bulan April 2019 kami juga menayangkan karya-karya dokumenter terbaik kerja sama timbal balik dengan Discovery Channel sehingga dokumenter TVRI seperti Jelajah Kopi dan Pesona Indonesia akan ditayangkan di Discovery Channel. TVRI juga membuat drama komedi situasi yang menggambarkan situasi sekarang, bagaimana TVRI bersikap dengan maraknya peredaran berita hoaks,” ucap Helmy.
Direktur Program dan Berita TVRI, Apni Jaya Putra menambahkan, Badanamu akan menemani anak-anak sepulan mereka dari sekolah. Program ini akan tayang di atas jam 14.00.
“TVRI juga bekerja sama dengan Museum Macan menggelar pameran seni \'Dunia dalam Berita\' mulai bulan April mendatang. Sepanjang satu bulan kita akan membuat berbagai macam acara dengan Museum Macan. Lalu, selama tiga tahun mendatang, TVRI akan menjadi stasiun penyiaran resmi Federasi Bulutangkis Dunia. Ini semua menandai perubahan konten TVRI di tahun-tahun ke depan,” kata Apni.
Persoalan SDM
Di tengah upaya melakukan reformasi internal, hingga kini TVRI masih terkendala dengan minimnya sumber daya manusia, terutama anak-anak muda. Fakta yang terjadi di TVRI saat ini adalah, dari sekitar 5.000 karyawan di seluruh Indonesia, 50 persen di antaranya berusia di atas 50 tahun.
“Ini adalah pekerjaan rumah besar TVRI. Kita tahu bersama bahwa industri kreatif adalah domain dari anak muda, tapi faktanya 50 persen karyawan TVRI berusia di atas 50 tahun,” tambah Helmy.
Industri kreatif adalah domain dari anak muda, tapi faktanya 50 persen karyawan TVRI berusia di atas 50 tahun.
Selama 16 tahun, TVRI dimoratorium tidak boleh menerima pegawai baru oleh pemerintah. Begitu moratorium dibuka tahun lalu, perekrutan baru mulai bisa dijalankan dengan penerimaan 50 pegawai negeri sipil (PNS) dan 150 pegawai bukan PNS. Penambahan 200 karyawan baru ini masih jauh dari kebutuhan, yaitu lebih dari 1000 karyawan.
Program Manajer Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik Darmanto mengatakan, sebagai LPP, TVRI dan RRI memiliki masalah yang serupa, yaitu tidak mempunyai kewenangan merekrut karyawan sendiri, khususnya PNS karena tidak memiliki Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
“Jika pemerintah memiliki komitmen kuat pada LPP, persoalan tentang kualitas SDM LPP, baik TVRI maupun RRI, bisa diatasi dengan mengembalikan kembali fungsi Sekolah Tinggi Multi Media (MMTC) sebagai kawah Candradimuka bagi penggodokan karyawan TVRI dan RRI. Sekarang, Sekolah Tinggi MMTC justru menjadi sekolah tinggi seperti pada umumnya yang lulusan-lulusannya bekerja di televisi swasta,” ujarnya.
Sebelumnya, pengamat penyiaran sekaligus kandidat doktor Universitas Muenchen Jerman, Masduki, mengatakan bahwa RRI dan TVRI semestinya berdaulat kepada kepentingan publik, bukan pemerintah. ”Pegawai RRI dan TVRI didominasi PNS (pegawai negeri sipil) dan PBPNS (pegawai bukan pegawai negeri sipil), bukan karyawan profesional otonom. Inilah yang membuat transisi RRI dan TVRI menjadi LPP berlangsung kurang cepat,” katanya.
Permasalahan lain adalah sumber keuangan kedua lembaga itu masih bertumpu pada APBN, bukan iuran publik. Peluang crowdfunding atau penggalangan dana publik semestinya muncul karena ini menjadi karakter dari LPP,” kata Masduki.