JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan kepatuhan pajak merupakan salah satu pekerjaan rumah terbesar bagi pemerintah. Untuk menuntaskan pekerjaan rumah itu, sistem teknologi informasi dan regulasi mesti diperbaiki. Peningkatan sistem teknologi informasi memudahkan wajib pajak membayar pajak.
”Misalnya, wajibkan saja semua memakai e-filing supaya lebih efisien. Perlu simplifikasi formulir, terutama untuk wajib pajak orang pribadi karyawan,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo saat dihubungi, Jumat (29/3/2019).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, sampai dengan Jumat pukul 13.00, sebanyak 10.324.265 wajib pajak melaporkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan. Jumlah itu naik 9,4 persen dibandingkan dengan 2018.
Tahun ini ada 18.334.683 wajib pajak yang mesti melaporkan SPT tahunan.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, pelaporan SPT tahun ini ditargetkan 85 persen dari total wajib pajak atau sebanyak 15.584.481 wajib pajak, baik orang pribadi maupun badan, melaporkan SPT.
Menurut Prastowo, pelaporan SPT tahunan sekitar 80 persen dari total wajib pajak sudah cukup baik. Peningkatan setiap tahun merupakan bukti reformasi perpajakan.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, batas akhir pelaporan SPT tahunan diundur, dari 31 Maret 2019 menjadi 1 April 2019. Alasannya, 31 Maret bertepatan dengan hari libur.
Kendati fasilitas pelaporan SPT melalui surat elektronik atau e-filing sudah tersedia, beberapa wajib pajak tetap datang ke kantor pajak untuk melapor secara konvensional atau memperoleh electronic filing identification number (EFIN).
Sri Mulyani menambahkan, wajib pajak yang melaporkan SPT tahunan pada Senin (1/4/2019) akan dikecualikan dari sanksi Rp 100.000. Kendati tenggat pelaporan SPT ditunda, pembayaran kekurangan pajak tetap harus dilunasi pada 31 Maret 2019.
Pajak e-dagang
Kemarin, Sri Mulyani juga mengatakan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik batal diberlakukan.
Pertimbangan utama pembatalan itu untuk menghindari kegaduhan akibat peredaran informasi yang simpang siur.
”Diharapkan hal ini akan membuat masyarakat menjadi tenang dan tidak muncul lagi berbagai macam spekulasi mengenai isu-isu perpajakan di dunia digital,” kata Sri Mulyani.
PMK No 210/2018 mengatur tata cara pemungutan pajak untuk mempermudah administrasi dan mendorong kepatuhan pelaku e-dagang demi menciptakan keadilan dengan pelaku usaha konvensional. Oleh karena itu, tak ada jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-dagang.
Langkah ini, menurut Yustinus Prastowo, membuat pengawasan kepatuhan terhadap pelaku usaha di sektor digital menjadi status quo. ”Saat kita mendukung upaya negosiasi dan mencari formal terbaik, seharusnya melangkah maju,” ujar Prastowo.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, secara terpisah, mengatakan, kesetaraan perlakuan perpajakan antara pengusaha di dalam ekosistem perdagangan elektronik dan pedagang luar jaringan masih menjadi persoalan.
Menurut dia, asosiasi tidak mendorong penarikan PMK itu. Sebaliknya, idEA dilibatkan dalam membahas rencana peraturan Dirjen Pajak sebagai aturan turunan PMK itu.
”Semangat kami dan pemerintah sama, yaitu mendorong e-dagang di Indonesia semakin maju,” katanya. (KRN/MED)