Rayuan Darat Raja Ampat
Tiada kesangsian tentang kecantikan alam bawah laut Raja Ampat yang tersohor itu. Namun, pesona daratan kabupaten di Papua Barat itu tiada kalah memikat. Di sana, dua dunia bersekutu memanjakan pencinta alam.
Perahu motor yang ditumpangi Kompas bersama rombongan The Nature Conservancy (TNC) melaju pelan di perairan kepulauan Kofiau, Raja Ampat, akhir tahun 2018. Pagi-pagi sekali, saat matahari belum tinggi, kami menuju pulau terbesar di daerah itu, Pulau Mikiran. Ada ”penyanyi” idola yang hendak disambangi.
Hanya 15 menit berperahu dari Kampung Deer, lokasi penginapan sekaligus kantor lapangan bersama TNC serta Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat, kami tiba di pesisir utara Mikiran. Pantai berombak deras itu menyambung dengan hutan Warmaryar, habitat sang ”penyanyi”.
Naftali Manggara (29), warga Kofiau sekaligus pemandu kami, segera mengambil komando. Langkahnya gesit meniti jalan setapak membelah jenggala lebat. Berjalan 20 menit, termasuk melahap satu medan mendaki curam, kami tiba.
Naftali mulai melangkah pelan. Matanya menyapu pepohonan. Terdengar kicau, ia menoleh ke sumber suara. Gagal menemukan sosok yang dicari, dia kembali melangkah.
”Harus pelan-pelan supaya dia tidak takut,” bisik Naftali. Yang kami cari adalah Tanysiptera ellioti, nama umumnya Kofiau Paradise Kingfisher atau burung cekakak-pita kofiau. Si mungil ini spesies endemik Kofiau. Artinya, satwa itu hanya bisa dijumpai di kepulauan Kofiau. Wow!
Sekitar 10 menit berlalu, Naftali membawa kabar baik. ”Itu! Itu dia. Di dahan sebelah situ,” ujarnya bersemangat. Entah bagaimana matanya bisa mengenali burung mungil di rimbun dedaunan dan pepohonan itu. Beberapa kali penyesuaian pupil, barulah kami menangkap sosoknya.
Selain kicauan merdu, penampilan burung itu sungguh cantik. Tak salah banyak penggemar burung atau ahli burung (ornitolog) rela terbang dan berlayar dari negeri lain untuk melihatnya langsung di alam bebas. Bulu dadanya putih, punggung dan sayapnya biru terang. Paruhnya merah agak panjang dengan ekor putih menjuntai. Indah dan elegan. Sungguh.
Istimewa
Kofiau Paradise Kingfisher adalah satu dari dua burung endemik Kofiau. Satu lagi Kofiau Monarch (Symposiachrus julianae). Hari itu kami tak beruntung. Namun, ”bonus” melihat langsung kakatua jambul kuning dan nuri yang langka.
Pegiat ekowisata burung di Papua, Shita Prativi, mengatakan, bagi penggemar burung, keberadaan dua spesies endemik langka itu keistimewaan tersendiri.
”Saat ini ada tren di kalangan pengamat burung untuk melihat burung yang hidup di pulau-pulau kecil. Kedua burung itu bukan hanya hidup di pulau kecil, melainkan juga endemik, jadi sangat istimewa,” ujarnya.
Selain di Kofiau, pesona daratan lain ada di Misool, pulau besar di selatan Raja Ampat. Sayangnya, jika diakses dari Kofiau haruslah lewat Sorong.
Di Misool, tersaji ”menara-menara” karst menyembul di lautan. Salah satunya di puncak Dapunlol. Hamparan pulau karst dikelilingi lautan luas memanjakan mata dari ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan laut. Air biru pekat bertemu hijau toska dipenuhi terumbu karang.
Beningnya air membuat aneka warna dan bentuk karang serta ikan-ikan yang berseliweran ternikmati dari atas perahu. Tak perlu takut basah.
Tak jauh dari Dapunlol, pada gugusan pulau-pulau karang di Sumalelen, daya tarik lain menanti. Kali ini membawa pengunjung menikmati kreasi leluhur ribuan tahun lalu, berwujud lukisan batu cadas.
Lukisan-lukisan itu tersaji di tebing-tebing karst di tepi laut. Pengamatan hanya bisa dari perahu. Posisi lukisan dari permukaan air berkisar 2-3 meter.
Ada bermacam bentuk, mulai dari sosok hewan laut, seperti ikan dan kura-kura, stensil cap tangan, perahu, hingga bentuk-bentuk abstrak. Semuanya coklat kemerahan dari hematit (batuan mineral yang mengandung pigmen merah). Namun, ada pula warna hitam seperti dilukis dengan arang.
Peneliti bahasa rupa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Pindi Setiawan, mengatakan, ada sekitar 50 situs lukisan prasejarah di Misool. Kondisi paling bagus ada di Sumalelen.
”Gambar-gambar di tebing-tebing rendah itu diperkirakan kurang dari 3.000 tahun. Kemungkinan dibuat penutur Austronesia,” kata Pindi.
Soal akses
Meski potensinya besar, wilayah selatan Raja Ampat masih jauh dari hiruk-pikuk pariwisata kabupaten itu. Mayoritas kunjungan turis terpusat di wilayah utara di pulau-pulau seperti Waigeo dan Batanta. Akses dan infrastrukturnya mapan.
Di selatan masih dirintis. Akses tak semudah wilayah utara. Untuk tiba di Kofiau haruslah melalui Kota Sorong sebagai hub. Dari Sorong, perjalanan dilanjutkan kapal perintis yang singgah di Kofiau empat kali seminggu bertarif Rp 50.000 per orang. Lama perjalanan 16 jam.
Di Misool, aksesnya sedikit lebih baik ketimbang Kofiau. Dari Sorong, perjalanan ke Misool bisa dengan kapal cepat yang beroperasi dua kali seminggu. Harga tiketnya Rp 250.000 per orang. Lama perjalanan enam jam. Ada juga pilihan kapal reguler satu kali seminggu bertarif Rp 200.000 per orang dengan waktu tempuh delapan jam.
Di Misool ada lebih dari 10 akomodasi wisata berupa penginapan dan homestay. Adapun di Kofiau, homestay hanya ada di Mikiran dan kantor lapangan TNC di Kampung Deer.
Yusuf Bahale (36), pemilik dan pengelola Yef Gag Homestay di Misool, mengatakan, dirinya baru buka usaha itu setahun terakhir. Yef Gag Homestay ada di pulau tak berpenghuni seluas sekitar 1 hektar.
Akomodasinya berupa satu rumah besar model panggung menghadap pantai berpasir putih. Ada lima kamar bertarif Rp 400.000 per orang per hari, termasuk makan tiga kali sehari. Satu kamar bisa untuk dua orang.
Kendala di sana, aktivitas wisata tak bisa penuh setahun. Musim gelombang tinggi angin selatan melanda selatan Raja Ampat pada Mei-Agustus. Homestay pun tutup. Di luar musim itu, pesona selatan Raja Ampat terbuka untuk dijelajahi. Lautan dan daratan sama-sama memesona. Mengapa tidak?