Produksi Film Anak-anak Terkendala Biaya
JAKARTA, KOMPAS — Biaya produksi yang mahal menyebabkan minimnya jumlah film bergenre anak-anak di Indonesia. Di samping itu, film anak belum menjadi tayangan yang digemari penonton Indonesia.
Deputi Kolaborasi Asosiasi Industri Animasi Indonesia Ehwan Kurniawan mengatakan, mahalnya biaya produksi pembuatan film animasi karena pembuatan film animasi cukup lama.
”Pembuatan film animasi bisa tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan pembuatan film pada umumnya,” ujar Ehwan saat pameran Hari Film Nasional ke-69 di Jakarta, Sabtu (30/3/2019).
Lamanya pembuatan film animasi tersebut karena harus melewati tahap sebelum produksi, produksi, dan setelah produksi yang tidak singkat. Ia mencontohkan, film Battle of Surabaya yang digarap MSV Pictures membutuhkan waktu pengerjaan hingga tiga tahun. Sementara itu, film Jagat yang diproduseri Manoj Punjabi membutuhkan waktu dua tahun.
Lamanya waktu pembuatan film animasi disebabkan oleh proses riset yang panjang, seperti riset budaya, geografis, dan proses produksi. Dalam proses riset budaya, pembuat film animasi harus memikirkan tren yang akan terjadi pada masa lima tahun ke depan.
”Jangan sampai ketika film animasi tersebut selesai dibuat menjadi ketinggalan zaman sehingga penonton tidak tertarik,” ujar Ehwan. Selain waktu produksi yang lama, film animasi juga harus membayar biaya pengisi suara yang mahal.
Sebagai contoh biaya produksi film Si Juki The Movie, dibuat selama dua tahun dan dirilis pada 2017, yang mencapai Rp 5 miliar. Meski demikian, Si Juki The Movie mampu meraih 630.000 penonton dan mendapatkan berbagai penghargaan, salah satunya Piala Citra untuk Film Animasi Terbaik.
Kesulitan
Sutradara film dan Ketua Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia Akhlis Suryapati mengatakan, pembuatan film bergenre anak lebih sulit dibandingkan pembuatan film orang dewasa.
”Sutradara harus memahami psikologis anak-anak,” ujarnya.
Untuk membuat film anak-anak, sutradara harus mengarahkan cara berakting dengan baik. Selain itu, sutradara harus memahami dunia anak.
Selain tingkat kesulitan yang tinggi dalam proses produksi, pembuatan film anak juga menghabiskan dana yang besar, salah satunya untuk riset. Meski demikian, film anak memiliki pasar yang bagus jika mampu membuatnya dengan benar.
”Penonton film anak tidak hanya anak-anak karena mereka akan didampingi oleh orangtuanya. Sekali menonton bisa langsung dapat dua atau tiga anggota keluarga sekaligus,” ujar Akhlis.
Peluang tersebut sekaligus menjadi tantangan bagi pembuat film di Indonesia. Selain mencari keuntungan, film anak-anak juga menjadi sarana edukasi bagi masyarakat Indonesia.
Sutradara film Andi Bachtiar Yusuf mengaku, dirinya belum berani memproduksi film bergenre anak-anak karena belum mendapatkan pasar di Indonesia. ”Banyak produser yang tidak berani membiayai film anak karena biayanya cukup besar, sedangkan penontonnya sulit memenuhi target,” ujar Yusuf.
Untuk membuat film anak, tidak hanya memikirkan produksinya, tetapi juga harus memikirkan tanggal rilisnya karena tidak setiap hari orangtua mengizinkan anaknya menonton film di bioskop.
Selain itu, beberapa film anak produksi dalam negeri sulit mendapatkan penonton karena minat masyarakat terhadap film anak Indonesia masih kurang. Situasi tersebut membuat rumah produksi enggan membuat film anak.
Yusuf mengaku pernah mengalami kegagalan dalam membuat film bergenre remaja yang berjudul Garuda 19. Film yang rilis pada 2014 tersebut hanya mampu mendapatkan 40.000 penonton.
”Secara bisnis, film itu tidak berhasil karena minimal harus mendapatkan 100.000 penonton agar modal yang dikeluarkan kembali,” ujarnya.
Meski demikian, ia pernah berhasil saat membuat film berjudul Hari Ini Pasti Menang yang dirilis pada 2013. Film tersebut mampu mendapatkan 200.000 penonton. Berkaca pada hal itu, dia yakin masih ada peluang bagi film bergenre anak dan remaja untuk mendapatkan pasar di Indonesia.
Selera penonton
Produser Film Adisurya Abdy mengatakan, pembuat film pada umumnya bergantung pada selera penonton karena sifat film sebagai hiburan.
Sebagai contoh, film Dilan mampu mendapatkan penonton yang banyak karena mengikuti selera penonton, yaitu bertemakan cinta di kalangan remaja.
Meski demikian, film anak-anak atau film lain yang bertemakan sejarah dan nasionalisme, menurut dia, harus tetap diproduksi karena film-film ini memiliki nilai edukasi yang tinggi. Ia pun berharap pemerintah bersedia menganggarkan anggaran untuk pembuatan film-film berkualitas yang dapat memberikan edukasi bagi masyarakat.