Pemerintah menetapkan pajak penjualan atas barang mewah untuk kendaraan listrik berkisar 0 sampai 3 persen. Kebijakan ini diambil untuk mendorong industri otomotif nasional segera memproduksi kendaraan lisrik.
Oleh
IQBAL BASYARI/ AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah menetapkan pajak penjualan atas barang mewah untuk kendaraan listrik berkisar 0-3 persen. Kebijakan ini diambil untuk mendorong industri otomotif nasional agar segera memproduksi kendaraan listrik.
Saat ini pemerintah dan DPR masih menyusun aturan bagi kendaraan listrik. Bahkan, produksi sepeda motor listrik nasional (GESITS) sudah di depan mata. Salah satu aturan yang sudah disetujui eksekutif dan legislatif adalah skema Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan listrik.
”Fiskal insentifnya sudah disetujui DPR, jadi ada penurunan PPnBM,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto seusai membuka pameran Gaikindo Indonesia Internasional Auto Show (GIIAS) Surabaya, Senin (29/3/2019), di Grand City Surabaya, Jawa Timur. Sebelumnya, PPNbM diatur berdasarkan kapasitas mesin di mana besarannya 10-125 persen.
Semakin rendah emisi karbon dioksidanya, tarif PPnBM yang dikenakan kian rendah.
Namun, untuk kendaraan listrik, PPnBM ditentukan berdasarkan emisi yang dihasilkan. Semakin rendah emisi karbon dioksidanya, tarif PPnBM yang dikenakan kian rendah. Pemerintah dan DPR telah sepakat bahwa untuk PPnBM ditetapkan 0-3 persen. ”Kami harap ini memacu industri untuk segera memproduksi kendaraan listrik,” ujar Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golongan Karya.
Meski sudah sepakat dengan PPnBM, pemerintah dan DPR masih harus menetapkan sejumlah aturan lain tentang kendaraan listrik. Misalnya, bea masuk impor untuk mobil listrik dan besaran pajak kendaraan bermotor di daerah belum ditetapkan. Namun, Airlangga optimistis hal-hal lain yang masih dibahas tadi bisa disepakati dalam tahun ini.
Kementerian Perindustrian mengklaim terus mendorong pertumbuhan industri kendaraan bermotor dengan emisi rendah. Sebelum kendaraan listrik, sudah ada program kendaraan hemat energi berharga murah atau LCGC yang juga terus dikembangkan.
Selain itu, juga didorong tentang kendaraan berbahan bakar fleksibel. Khusus untuk kendaraan listrik, pemerintah menginginkan pada 2025, kendaraan berbasis energi listrik dapat mencapai sekitar 20 persen dari populasi sepeda motor, mobil, bus, dan truk.
Jika aturan kendaraan listrik dapat segera diselesaikan, akan mendorong munculnya industri penunjang terutama produksi baterai. Saat ini industri material baterai kendaraan listrik mulai dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah.
Di sisi lain, perguruan tinggi juga terlibat dalam penelitian baterai melalui program mobil listrik nasional atau molina. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menunjuk Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Negeri Sebelas Maret, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember untuk penelitian dan pengembangan baterai kendaraan listrik.
”Untuk itu, jika ada investasi baterai kendaraan listrik di Jatim, bisa menumbuhkan industri pendukung misalnya dari Solo sampai Surabaya,” kata Airlangga.
Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak menambahkan, dorongan untuk memunculkan industri pendukung molina dari Solo sampai Surabaya patut diambil. Di jalur ini sudah ada jalan tol. Selain itu, ada dua jaringan jalan raya. Satu jalur melalui Bojonegoro-Ngawi, sedangkan jalur utama melalui Mojokerto-Madiun. Jalan tol berada di antara kedua prasarana utama tadi.
Emil mengatakan, dengan adanya jalan tol, pemerintah kabupaten/kota yang dilalui berpeluang mempromosikan daerahnya kepada penanam modal industri molina atau memperbesar skala industri yang sudah ada dari mikro ke kecil hingga menengah dan besar. ”Di Jatim ini industri otomotif yang terus berkembang menyangkut karoseri dan komponen. Amat berpeluang jika dibangun juga perakitan kendaraan listrik,” katanya.
Apabila tidak dibangun di jalur Surabaya-Solo, kawasan lain, yakni Surabaya-Probolinggo, juga patut dipertimbangkan. Alasannya serupa, yakni telah terbangun jaringan jalan tol. Selain itu, di kedua jalur tersebut sudah tumbuh sejumlah kawasan industri, tetapi belum penuh. Dalam konteks itulah, menurut Emil, ada peluang yang bisa diambil Jatim jika ingin terlibat dalam produksi otomotif nasional.
Dalam produksi kendaraan, Jatim menjadi pusat industri strategis kelautan dan transportasi rel. Pusat industri kapal ada di Surabaya dan Banyuwangi. Industri perkeretaapian ada di Madiun dan dibangun dengan skala lebih besar di Banyuwangi. Dari sana terlihat bahwa Jatim punya peran dan potensi strategis untuk pengembangan industri kendaraan.