”Pentjoleng” Ekonomi
”Yang ditunggu oleh rakyat bukanlah pembicaraan lagi, tapi tindakan konkret tangkap, periksa, adili, hukum, gantung, tembak”
- Tajuk Rencana Harian ”Kompas”, 14 September 1965.
Kutipan berasal dari tajuk rencana harian ini dengan judul ”Pentjoleng Ekonomi”. Hampir 54 tahun berlalu, bangsa Indonesia tidak banyak bergeser dari impian yang tertulis di atas. Jangan-jangan bahkan kita lebih permisif terhadap korupsi.
Tertangkap tangannya Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy dalam kasus jual-beli jabatan seakan hanya menjadi babak baru. Sebelumnya, dua ketua umum partai politik, yaitu Setya Novanto (Golkar) dan Lutfi Hasan Ishaaq (Partai Keadilan Sejahtera), serta Suryadharma Ali (PPP), juga terjerat korupsi.
Apa yang mereka lakukan memiliki satu benang merah, yaitu bertindak menyelewengkan kekuasaan sehingga institusi publik yang seharusnya bekerja untuk melayani masyarakat jadi gagal melaksanakan fungsinya.
Korupsi adalah penyakit moral. Korupsi tidak sama dengan sekadar mencuri atau mencopet. Pasalnya, korupsi merusak dan mengkhianati sistem, juga komitmen yang dibangun bersama demi kepentingan pribadi atau golongan. Kalau pencuri merugikan segelintir orang, korupsi bisa merugikan beberapa generasi.
Merujuk tajuk rencana harian Kompas di atas, timbul kekhawatiran bahwa bangsa Indonesia tidak bergeser dari 54 tahun yang lalu, bahkan lebih. Struktur sosial masyarakat kita tidak bergerak dari sistem patron-klien pada zaman kerajaan Nusantara. Merujuk pada sejarah kontemporer bangsa, pertanyaan akan reformasi yang dilakukan bersama-sama 20 tahun yang lalu nyaris tidak berbekas. Reformasi itu tidak menghasilkan perubahan struktur kekuasaan. Jaringan oligarki bahkan beradaptasi dengan sistem otonomi daerah dan demokrasi itu sendiri. Birokrasi patrimonialisme masih berkembang, yakni selalu muncul ”orang kuat” melalui politisasi birokrasi. Kekuasaan berbasis karismatik-tradisional menjadi cara yang efektif untuk memelihara hubungan patron-klien tersebut.
Pertanyaan lalu dilempar kepada partai-partai politik yang sekiranya memiliki beban untuk membuat Indonesia keluar dari struktur kekuasaan yang dikuasai oligarki. Pertanyaan ini yang dibahas dalam acara Satu Meja di KompasTV, Rabu (27/3/2019) lalu, dengan tema ”Lawan Korupsi, Parpol Bisa Apa?”. Dengan dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo, hadir beberapa perwakilan partai, seperti Eriko Sutarduga (PDI Perjuangan), Eddy Soeparno (Partai Amanat Nasional), Arsul Sani (PPP), dan Supratman Andi Agtas (Gerindra).
Selain itu, juga hadir pembahas, yakni dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, serta Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Mekanisme internal
Setiap parpol mencoba meyakinkan bahwa mereka telah memiliki mekanisme internal untuk menyeleksi orang-orang yang masuk parpol. Eriko mengatakan, PDI-P menyeleksi secara ketat kader-kadernya, bahkan dengan melalui tes psikologi dan praktik lapangan tinggal di rumah rakyat.
Eddy Soeparno mengatakan, PAN memiliki sistem perekrutan dan pencegahan internal. Sementara itu, menurut Supratman, Gerindra percaya bahwa aparat negara harus diberi gaji besar agar bisa bekerja dengan baik.
Arsul mengatakan, sejak kasus Suryadharma, pihaknya telah mengubah anggaran rumah tangga PPP. ”Begitu tersangka korupsi langsung diberhentikan. Ini lebih maju dari UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) yang mengatur anggota DPR baru dipecat setelah ada keputusan pidana tetap,” kata Arsul.
Lalu, mengapa ada pengurus parpol yang korupsi? Hal ini sangat merusak karena parpol adalah agen kekuasaan, penyelewengan akan berakibat sistemik pada bangsa. Zainal mengatakan, magnet koruptif itu banyak di tubuh parpol. Secara struktur, parpol di Indonesia yang tidak demokratis rentan dengan sikap koruptif. Hanya beberapa partai yang mau membuka keuangannya secara transparan.
Titi sepakat bahwa ada masalah pendanaan parpol berkelindan dengan struktur internal yang demokratis dan politik biaya tinggi. Sayangnya, saat mau diselesaikan, upaya ini terbentur dengan parpol. ”Parpol enggak mau pembatasan dana kampanye serta skema akuntabilitas, padahal minta pendanaan partai dari negara,” kata Titi.
Agak sulit memang untuk menerima pembelaan dari parpol. Akan tetapi, mereka juga mengalami masalah karena terbelit dalam sistem. Pertanyaan lebih jauh pun bermunculan, apakah negeri ini masih terbenam dalam budaya korupsi yang menguntungkan segelintir orang? Sampai dalam kondisi bagaimana parpol bisa berhasil meminimalkan korupsi? Apalagi, ini sebenarnya masalah moralitas pribadi.
Korupsi jauh lebih mendasar dari sekadar prosedur. Korupsi adalah soal moral yang seharusnya bisa memisahkan yang bersih dan kotor, antara yang salah dan benar.