Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur berharap hukuman terhadap pelaku perdagangan dan penyelundupan satwa dilindungi diberikan maksimal. Hal itu bakal efektif memberi efek jera bagi para pelakunya.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur berharap pelaku perdagangan dan penyelundupan satwa dilindungi diberikan hukuman maksimal. Hal itu diyakini bakal efektif memberi efek jera bagi para pelakunya.
Berdasarkan pengalaman penanganan kasus perdagangan satwa, sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku acap kali jauh dari harapan. Padahal, penindakan dan pencegahan perdagangan maupun penyelundupan satwa dilindungi menjadi kunci menjaga kelangsungan kekayaan sumber daya alam hayati Nusantara.
”Pengadilan kerap masih menjatuhkan hukuman ringan dengan beragam alasan atau pertimbangan,” ujar Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur Nandang Prihadi, Jumat (29/3/2019).
Pengadilan kerap masih menjatuhkan hukuman ringan dengan beragam alasan atau pertimbangan.
Nandang mengatakan, kelemahan dalam penegakan hukum ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem itu sendiri. Di sana, hukuman maksimal bagi pelanggar adalah lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta.
Selain itu, tidak ada ketentuan hukuman minimal yang harus dijatuhkan kepada pelanggar. Nilai denda juga dianggap terlalu kecil, jauh dari keuntungan yang dinikmati pelaku. Sebagai gambaran, seekor anak komodo laku dijual di luar negeri dengan harga Rp 500 juta per ekor.
Menurut dia, UU itu perlu direvisi setidaknya dengan memasukkan pasal yang mengatur tentang hukuman minimal bagi pelanggar. Di era perdagangan dalam jaringan (daring) yang pesat, potensi perdagangan satwa dilindungi sangat tinggi dengan jangkauan pasar hingga mancanegara.
Seperti diberitakan sebelumnya, terjadi sejumlah kasus perdagangan satwa dilindungi secara ilegal melalui daring selama 2019. Terkini, kasus perdagangan 39 ekor satwa digagalkan penyidik Polda Jatim dan Bareskrim Polri. Dari 39 ekor satwa itu, enam di antaranya anakan komodo yang diduga dari daratan Flores utara.
Kasus ini melibatkan sembilan pelaku. Dua di antaranya masih buron. Para pelaku diduga bagian dari jaringan perdagangan satwa internasional. Mereka mengaku telah menjual 41 ekor komodo dalam kurun waktu 2016-2018. Penjualan dilakukan ke sejumlah negara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Hong Kong, dan China.
Kepala Bagian Data Evaluasi Pelaporan dan Kehumasan BBKSDA Jatim Gatut Panggah Prasetyo mengatakan, kondisi enam anakan komodo itu sehat. ”Kami memasang alat pendeteksi (chips) untuk memudahkan pemantauan perkembangan anakan komodo dan mengawasi pergerakannya. Alat juga berfungsi untuk memantau saat nanti dilepasliarkan,” kata Gatut.
Pihaknya juga telah memulai persiapan pelepasliaran di habitat asli. Dugaan sementara, komodo berasal dari daratan Flores utara bukan Taman Nasional Komodo. Diperkirakan proses habituasinya tidak akan memakan waktu lama. Alasannya, keenam anakan komodo ini masih memiliki sifat liar.
Gatut mengatakan, BBKSDA juga telah mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Surat itu berisi permohonan persetujuan pelepasliaran. Sebelumnya, penyidik Polda Jatim secara lisan telah mengizinkan enam anakan komodo yang menjadi barang bukti perkara itu untuk dilepasliarkan tanpa menunggu penyidikan selesai atau kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jatim.