Kementerian Perhubungan baru saja mengumumkan tarif batas bawah dan atas ojek daring. Langkah itu ditempuh karena keberadaan ojek daring dinilai sudah menjadi kebutuhan warga. Penetapan tarif diharapkan lebih menjamin kesejahteraan pengemudi ojek sekaligus kepastian bagi penggunanya.
Selama ini, tarif ditentukan sepihak oleh perusahaan pengelola aplikasi (aplikator) transportasi daring. Pengguna jasa dan pengemudi tidak mempunyai hak menawar. Pilihannya hanya ambil atau tinggalkan. Padahal, besar kecil tarif menentukan penghasilan, sumber pendapatan pengemudi, sekaligus biaya perawatan kendaraan. Perawatan menentukan keselamatan.
Kementerian Perhubungan merasa perlu mengatur tarif demi meningkatkan jaminan keselamatan pengguna. Apalagi, menurut regulasi di banyak negara di dunia, sepeda motor tidak digolongkan sebagai angkutan umum, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, antara lain karena faktor keselamatan. Terlebih angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor tergolong tinggi.
Biaya jasa dihitung dengan mempertimbangkan biaya langsung atau segenap ongkos yang dikeluarkan pengemudi serta biaya tidak langsung atau biaya penyewaan aplikasi. Tarif batas atas-bawah dan biaya jasa minimal (ongkos minimal yang harus dibayar penumpang untuk jarak paling jauh 4 kilometer) dibagi dalam tiga zona, yakni Zona 1 (Sumatera, Jawa tanpa Jabodetabek, dan Bali); Zona 2 (Jabodetabek); dan Zona 3 (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan lainnya).
Regulasi yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Perhubungan ini mengatur tarif bersih yang diterima pengemudi tanpa potongan aplikator, jatah maksimal yang boleh diambil aplikator dari tarif bersih kepada penumpang, serta biaya jasa minimal.
Penghitungan tarif juga mempertimbangkan kemauan dan daya beli masyarakat terhadap ojek daring. Hal lainnya, pengemudi tidak lagi mendapatkan bonus poin. Sebab, bonus poin dinilai membuat pengemudi mesti bekerja terlalu keras untuk mendapatkannya. Hal itu dinilai berisiko bagi keselamatan dan kesehatan pengemudi.
Hasil penelitian lembaga Research Institute of Socio Economic Development (RISED), kenaikan tarif ojek daring bisa menurunkan minat masyarakat pengguna. Penurunan itu akan menjadi masalah karena mendorong masyarakat beralih ke kendaraan pribadi. Selama ini, ojek daring di Jakarta berkembang sebagai pengumpan angkutan umum massal, seperti kereta api dan bus. Hasil survei menunjukkan, 40 persen tujuan ojek daring adalah stasiun dan terminal.
Apabila tarif ojek daring naik, pengguna ojek daring akan turun karena sebagian masyarakat menganggap ongkos ojek mahal. Sebagian masyarakat memang bersedia membayar lebih mahal, tetapi tak lebih dari Rp 5.000 per hari. Apabila masyarakat menganggap naik ojek daring mahal, angkutan massal yang sedang dibangun pemerintah, seperti transportasi massal cepat (MRT) dan kereta ringan (LRT) bisa jadi tidak laku.
Terlepas dari perdebatan soal tarif, sejumlah pihak tetap menyoroti tingginya risiko keselamatan pengguna sepeda motor. Oleh karena itu, pemerintah perlu terus mengupayakan angkutan umum massal yang nyaman, murah, dan terintegrasi.
Angkutan pengumpan mesti diperbanyak rute ataupun jumlahnya. Harapannya, masyarakat punya alternatif transportasi yang lebih baik sehingga problem kemacetan jadi minimal. Situasinya makin mendesak. Segenap moda berpacu untuk menjadi pilihan masyarakat.