Senin (11/8/2008) yang hangat saat Stadion Akuatik Nasional di Beijing, China, menggelar final nomor renang 4x100 meter estafet gaya bebas putra Olimpiade 2008. Gemuruh suara penonton semakin riuh. Tepat 25 meter terakhir perlombaan, perenang terakhir asal Amerika Serikat, Jason Lezak, yang masih tertinggal berkisar 2 meter-3 meter tampak akan menyusul perenang terakhir Perancis, Alain Bernard, yang sedang memimpin perlombaan.
Mengatasi ketertinggalan dengan jarak 2 meter-3 meter di 25 meter terakhir perlombaan adalah sesuatu yang sulit dalam dunia renang. Namun, Lezak terus memacu kecepatannya. Keajaiban terjadi. Sekitar 10 meter menjelang finis, perenang tertua dalam perlombaan kali itu justru berhasil menyusul Bernard yang saat itu masih memegang rekor tercepat di nomor 100 meter gaya bebas putra dengan 47,50 detik yang dicetak pada Kejuaraan Eropa di Belanda, 22 Maret 2008.
Menjelang 1 meter-2 meter sebelum finis, tangan kanan Lezak justru berhasil lebih cepat menyentuh tombol finis dibandingkan dengan Bernard dan membawa Amerika Serikat merebut emas nomor 4x100 meter estafet gaya bebas putra. Semua penonton takjub dan tak sedikit yang histeris. Sebab, Lezak telah mematahkan semua pesimisme terhadap tim dan dirinya. Bahkan, perenang kelahiran California, AS, 12 November 1975, itu berhasil mencatatkan rekor sebagai perenang tercepat dalam perlombaan 4x100 meter estafet gaya bebas putra dengan 46,06 detik dan belum terpecahkan hingga kini.
Berkat penampilan epiknya itu, tim AS pun mencatat rekor tercepat dalam 4x100 meter gaya bebas relay putra dengan 3 menit 8,24 detik. Rekor itu pun belum terpecahkan hingga saat ini. Karena emas dari 4x100 meter estafet gaya bebas putra itu pula, perenang terbaik AS, Michael Phelps, bisa menggenapi delapan medali emasnya di Beijing 2008 sehingga memecahkan rekor legenda renang AS, Mark Spitz, yang meraih tujuh medali emas di Olimpiade Muenchen 1972.
Aksi Lezak kala itu dianggap salah satu aksi paling heroik dalam sejarah renang Olimpiade. ”Kalau kamu punya mimpi, jangan pernah menyerah untuk menggapainya. Terus kerja keras dan lakukan yang terbaik untuk mencapai cita-citamu,” pesan Lezak kepada 25 anak (16 putra dan 9 putri) berusia antara 8 tahun dan 10 tahun yang ikut program pelatihannya yang diinisiasi oleh klub renang JAQ di Stadion Akuatik Senayan, Jakarta, Selasa (26/3/2019).
Semua berpeluang
Selama ini, prestasi di dunia renang identik dengan orang-orang asal Amerika Serikat, Eropa, ataupun Australia yang notabene memiliki tubuh menjulang. Tubuh seperti itu sangat menunjang prestasi dalam olahraga kecepatan di dalam air tersebut. Tak pelak, perenang-perenang Asia, terutama asal Indonesia yang jarang bertubuh jangkung, sulit untuk bersaing.
Namun, Lezak membantah hal itu. Menurut peraih empat emas Olimpiade itu, tinggi badan memang menjadi faktor penunjang dalam olahraga, terutama renang. Namun, itu bukan faktor paling penting. Yang paling utama justru teknik yang baik. Sebab, dengan teknik yang baik, atlet bisa melakukan gerakan lebih efisien sehingga bisa memacu waktu lebih cepat.
Di luar itu, atlet perlu menjaga ketekunan dan kedisiplinan dalam berlatih. Mereka harus menunjukkan niat belajar yang sungguh-sungguh, motivasi untuk selalu menjadi lebih baik, dan mencintai apa yang mereka lakukan. ”Siapa pun bisa menjadi yang tercepat. Tidak peduli dia dari negara mana. Yang paling penting, kamu ada niat untuk belajar dengan lebih baik. Dan, saya rasa atlet-atlet Indonesia juga bisa melakukan itu. Indonesia punya potensi. Apalagi, negara ini punya sumber daya manusia yang besar,” ujar mantan atlet bertinggi 193 sentimeter itu.
Perkataan Lezak boleh jadi benar. Paling tidak, perenang asal Singapura, Joseph Schooling, bisa membuktikan bahwa perenang asal Asia Tenggara bisa mencapai prestasi terbaik di Olimpiade. Pada Olimpiade Rio 2016, Schooling mengalahkan Phelps dan merebut emas 100 meter gaya kupu-kupu putra. Bahkan, ia mencatat rekor tercepat di nomor itu dengan 50,39 detik dan belum terpecahkan hingga kini. Padahal, tinggi Schooling hanya 184 cm, sedangkan Phelps 193 cm.
Pemilik klub renang JAQ, Wisnu Wardhana, mengatakan, pihaknya berinisiatif mengundang Lezak guna memberikan pengalaman berharga untuk para perenang cilik dan orangtua. Adapun pembinaan olahraga, terutama renang, harus dilakukan sejak dini. Kalau fondasi latihannya kurang baik saat usia dini, hal itu akan membuat perkembangan atlet tidak optimal.
Untuk itu, dengan adanya Lezak, diharapkan para perenang cilik itu bisa belajar teknik yang lebih baik dan terus mengaplikasikannya. Selain itu, Lezak yang berada di Jakarta selama sepekan, yakni dari Senin (25/3/2019) hingga Minggu (31/3/2019), juga akan memberikan masukan untuk para orangtua perenang. Peran orangtua sangat penting untuk menunjang perkembangan atlet.
Selain untuk memastikan perenang cilik mendapatkan asupan nutrisi dan vitamin yang baik sejak dini, orangtua juga harus selalu hadir untuk memberikan dukungan kepada anak-anaknya yang ingin menjadi atlet. Sebab, ada kalanya atlet mengalami kemunduran mental dan perlu terus didukung untuk bangkit. ”Para pelatih juga bisa belajar banyak dari cara Lezak memberikan program latihan kepada perenang cilik dan orangtua,” ujar mantan perenang nasional itu.
Ibu dari salah satu peserta asal Jakarta Utara, Myra Widiasana, menyatakan sadar banyak pengalaman berharga yang bisa didapat anaknya, Andrew Dariasan (8). Ia pun tak segan membayar mahal guna mengikuti program pelatihan dari Lezak. Adapun tarif ikut program latihan itu berkisar 250 dollar AS-500 dollar AS (Rp 3,5 juta-Rp 7 juta) per peserta.
”Andrew memang sangat mengidolakan perenang-perenang asal AS, termasuk Lezak. Jadi, dengan latihan ini, saya harap Andrew bisa semakin termotivasi untuk berlatih dengan baik. Selain itu, saya sebagai orangtua juga bisa tahu bagaimana resep untuk membimbing anak agar bisa menjadi atlet yang baik,” ujar Myra.