Terapkan Pembangunan Rendah Karbon, Pelaku Usaha Butuh Insentif
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk menerapkan program pembangunan rendah karbon atau PRK dalam bisnisnya, pelaku usaha memilih untuk berorientasi pada program pemerintah yang sudah ada. Namun, agar penerapannya dapat lebih masif, pelaku usaha membutuhkan insentif dari pemerintah.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, untuk menerapkan PRK dalam proses bisnis, dibutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi. ”Kami membutuhkan modal lebih banyak untuk riset dan inovasi dalam rangka meningkatkan aspek lingkungan dan sosial dalam proses bisnis,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (28/3/2019).
Oleh karena itu, Hariyadi mengatakan, pelaku usaha membutuhkan insentif, baik fiskal maupun nonfiskal, bagi yang menerapkan PRK dalam proses bisnisnya. Pemerintah mesti menyiapkan skema insentif tersebut dalam regulasi yang komprehensif.
Pelaku usaha membutuhkan insentif, baik fiskal maupun nonfiskal, bagi yang menerapkan PRK dalam proses bisnisnya.
Terkait bentuk-bentuk penerapan PRK dalam proses bisnis, Hariyadi menyebutkan, sejumlah pelaku usaha sudah menjalankannya. Contohnya, mengolah kembali limbah produksi sehingga usaha tersebut dapat menekan limbah serta partisipasi dalam program pencampuran bahan bakar nabati (BBN) yang berasal dari minyak kelapa sawit mentah sebanyak 20 persen atau program B20.
Hariyadi berpendapat, salah satu yang patut menjadi fokus pemerintah adalah pelaksanaan pemberian insentif untuk program-program berorientasi lingkungan dan sosial yang sudah ada. Misalnya untuk program B20 yang akan ditingkatkan hingga B100. Menurut dia, pelaku usaha otomotif yang dapat memproduksi kendaraan yang mampu menggunakan BBN mesti mendapatkan insentif khusus.
Ke depan, Hariyadi mengatakan, sejumlah pelaku usaha akan memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT) dalam menjalankan bisnis dan industrinya. Akan tetapi, rencana ini membutuhkan insentif dari pemerintah agar dapat terwujud.
Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan bentuk insentif bagi pelaku usaha dan industri yang menerapkan PRK dalam proses bisnisnya. ”Kami memang mengarah ke sana (pemberian insentif). Saat ini sedang disiapkan skema dan mekanismenya,” ucap Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Arifin Rudiyanto saat dihubungi, Kamis.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, Indonesia dapat mencapai pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata sebesar 6 persen per tahun hingga 2045 dengan menerapkan PRK. Pada prinsipnya, PRK merupakan pendekatan pembangunan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Oleh karena itu, Bambang menyatakan, PRK akan diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 agar menjadi arus utama kerangka kerja pemerintah. Gagasan PRK dihasilkan oleh Bappenas melalui Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon/Low Carbon Development Initiatives (PRK/LCDI) dengan melibatkan para mitra pembangunan, institusi riset tingkat nasional ataupun internasional, dan kementerian/lembaga terkait.
Adapun contoh-contoh wujud PRK dapat terlihat dari program peningkatan bauran EBT sebesar 30 persen pada 2045, penurunan intensitas energi sebesar 3,5 persen pada 2030 dan 4,5 persen pasca-2030, peningkatan target reboisasi lebih dari tiga kali lipat, serta penegakan hukum terhadap moratorium hutan, kelapa sawit, pertambangan, dan lahan gambut. Dengan program-program kerja yang berorientasi PRK, Bappenas memproyeksikan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 75 persen pada 2045.
Pertanian
Di bidang pertanian, dokumen LCDI menargetkan peningkatan produktivitas lahan sebesar 4 persen per tahun sebagai bagian dari penerapan PRK. Harapannya, total nilai unit lahan menjadi 2,3 kali dari semula pada 2018-2045.
Dokumen LCDI juga menyoroti penegakan penuh moratorium hutan, kelapa sawit, pertambangan, dan lahan gambut. Targetnya, pada 2045 Indonesia memiliki hutan primer seluas 41,1 juta hektar.
Terkait PRK dalam perkelapasawitan, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro mengatakan, pihaknya berkomitmen menggencarkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Sertifikasi ISPO ini menunjukkan ketelusuran produk minyak kelapa sawit yang menerapkan prinsip keberlanjutan.
Hingga saat ini, Sekretariat Komisi ISPO telah menerbitkan sebanyak 502 sertifikat ISPO. Jumlah sertifikat ini mencakup lahan kebun kelapa sawit seluas 4,11 juta hektar.
Selain itu, Kementerian Pertanian juga menggencarkan pertanian organik yang sudah dimulai sejak 10 tahun yang lalu. ”Parameter keberhasilannya bukan pada kuantitas, melainkan peningkatan daya saing produk,” ujar Syukur.