Peran Perempuan di Ruang Publik Nonformal Harus Dibawa ke Ruang Formal
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Perempuan mendominasi ruang-ruang publik nonformal. Namun, masyarakat masih mempermasalahkan keterlibatan perempuan dalam politik praktis.
JAKARTA, KOMPAS — Perjuangan kesetaraan jender di segala bidang kehidupan masih memiliki jalan panjang dan terjal yang harus ditempuh. Partisipasi perempuan di ruang-ruang publik formal masih membutuhkan kolaborasi, strategi, dan kerja nyata dalam penerapannya. Selain itu, perlu ada akses dan pengakuan keberadaan perempuan dalam sistem politik secara umum.
Politik sering kali didefinisikan sebagai sektor yang formal dan maskulin. Cakupannya hanya berupa eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Padahal, sejatinya politik adalah pengelolaan kekuasaan pada kehidupan sehari-hari, yaitu pada ruang-ruang publik nonformal.
”Aspek ini (ruang publik nonformal) sebenarnya didominasi oleh perempuan,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu, Titiek Kartika Hendrastiti, saat peluncuran Jurnal Perempuan edisi ke-100 yang bertema ”Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia”, Rabu (27/3/2019), di Jakarta. Titiek merupakan salah satu penulis di Jurnal Perempuan edisi ke-100 tersebut.
Titiek melakukan penelitian di Sumba, Nusa Tenggara Timur, terkait penolakan perempuan terhadap tambang emas. Kasus ini bisa menjadi gambaran posisi perempuan dalam politik di ruang-ruang publik nonformal. Terdapat berbagai alasan penolakan tambang, tetapi dapat disimpulkan bahwa tujuan utamanya demi melestarikan kedaulatan pangan.
Penolakan perempuan terhadap tambang emas di Sumba bisa menjadi gambaran posisi perempuan dalam politik di ruang-ruang publik nonformal.
Dalam budaya Nusantara, pangan merupakan inti dari rumah tangga dan sektor ini ditentukan oleh perempuan. Keberadaan tambang mencemari air yang berarti akan mengakibatkan penyakit tidak hanya pada manusia, tetapi juga pada ternak dan tanaman pangan. Hal ini akan berujung pada ketergantungan masyarakat terhadap pangan dari wilayah luar yang harus dibeli. Artinya, keuangan rumah tangga terancam.
”Dalam satu misi itu terdapat berbagai faktor, mulai dari sektor ekologi, finansial, hingga eksistensi budaya. Semuanya digerakkan oleh kaum perempuan lokal karena mereka yang bersentuhan langsung dengan akibat dari penambangan tersebut,” papar Titiek.
Demikian pula dalam aspek kekerabatan, perempuan memiliki kendali mendikte juru runding terkait mas kawin atau belis yang diharapkan dari keluarga calon pengantin laki-laki.
Titiek mengatakan, perempuan memiliki kekuasaan dalam politik adat meskipun di dalam posisi itu tidak diberikan titel ataupun jabatan dan masyarakat tidak mempermasalahkannya. Namun, masyarakat mempermasalahkan keterlibatan perempuan dalam politik praktis. Padahal, politik praktis dapat mewujudkan berbagai kebijakan yang tidak hanya memajukan perempuan, tetapi juga berbagai kelompok marjinal.
Perempuan memiliki kekuasaan dalam politik adat. Namun, masyarakat masih mempermasalahkan keterlibatan perempuan dalam politik praktis.
Tidak egosentris
Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro mengatakan, gerakan kesetaraan jender penting karena gerakan ini tidak bersifat egosentris. Dalam gerakan feminisme, tidak hanya perempuan yang diberi akses kesetaraan, tetapi juga anak, kelompok miskin kota, dan kelompok-kelompok lain yang tidak terwakili dalam sistem arus utama. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang melindungi perempuan, anak, dan pekerja domestik.
”Sayangnya, pada situasi politik pasca-Reformasi, para elite politik menyadari, perempuan merupakan kantong suara yang besar, tetapi tidak pernah ada pembahasan serius mengenai isu kesetaraan dalam rencana strategi politik,” ujarnya.
Tema yang dikaitkan dengan perempuan berkisar pada penurunan harga barang yang justru menunjukkan ketimpangan narasi peran jender di masyarakat, bukan mengenai pemajuan perempuan sebagai bagian dari pembangunan bangsa.
Tema yang dikaitkan dengan perempuan berkisar pada penurunan harga barang yang justru menunjukkan ketimpangan narasi peran jender di masyarakat.
Hal tersebut tampak pada keterwakilan perempuan di partai politik masih belum memenuhi target 30 persen. Atnike mengatakan, para perempuan legislator masih digunakan sebagai alat pendulang suara, bukan dijadikan kandidat karena memang mumpuni dalam menyuarakan aspirasi rakyat dan memiliki persepsi kesetaraan jender.
Ia menjelaskan, gerakan kesetaraan jender perlu semakin kuat membahas narasi-narasi berlevel nasional ataupun narasi kecil pada lingkup lokal. Dengan demikian, bisa ada penyadaran di masyarakat bahwa prinsip kesetaraan bukan berarti perebutan ruang, melainkan bisa berkolaborasi dan berbagi peran.
Jurnal Perempuan merupakan publikasi feminis pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 2019 oleh Gadis Arivia, Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, Ratna Syafrida Dhanny, dan mendiang Asikin Arif. Publikasi ini merupakan jurnal feminis pertama di Indonesia dan sudah terakreditasi ilmiah.